Hadits Ke-47 dari Jamiul Ulum wal Hikam Ibnu Rajab

الحَدِيْثُ السَّابِعُ وَالأَرْبَعُوْنَ

عَنِ المِقْدَامِ بْنِ مَعْدِيْكَرِبَ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ:

مَا مَلَأَ آدَمِيٌّ وِعَاءً شَرًّا مِنْ بَطْنٍ بِحَسْبِ ابْنِ آدَمَ أُكُلَاتٌ يُقِمْنَ صُلْبَهُ فَإِنْ كَانَ لَا مَحَالَةَ فَثُلُثٌ لِطَعَامِهِ وَثُلُثٌ لِشَرَابِهِ وَثُلُثٌ لِنَفَسِهِ

رَوَاهُ الإِمَامُ أَحْمَدُ وَالتِّرْمِذِيُّ وَالنَّسَائِيُّ وَابْنُ مَاجَهْ وَقَالَ التِّرْمِذِيُّ:حَدِيْثٌ حَسَنٌ

 

Hadits ke-47

Dari Al-Miqdam bin Ma’dikarib radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada tempat yang lebih jelek daripada memenuhi perut keturunan Adam. Cukup keturunan Adam mengonsumsi yang dapat menegakkan tulangnya. Kalau memang menjadi suatu keharusan untuk diisi, maka sepertiga untuk makannya, sepertiga untuk minumannya, dan sepertiga untuk nafasnya.” (HR. Imam Ahmad, Tirmidzi, An-Nasai, Ibnu Majah. Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan) [HR. Ahmad, 4:132; Tirmidzi, no. 2380; Ibnu Majah, no. 3349. Syaikh Syuaib Al-Arnauth mengatakan bahwa perawi hadits ini tsiqqah, terpercaya].

Faedah hadits

  1. Hadits ini dijadikan landasan untuk memahami kiat hidup sehat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 2:468)
  2. Ada seorang dokter di masa silam bernama Ibnu Masawaih ketika ia membaca hadits ini di dalam kitab Abu Khaitsamah, ia berkata, “Andai kaum muslimin mengamalkan isi hadits ini, niscaya mereka akan selamat dari berbagai penyakit. Kalau demikian, rumah sakit dan farmasi akan jadi kosong.” Beliau mengatakan demikian dikarenakan berbagai penyakit disebabkan oleh perut yang terbiasa terisi penuh. Sebagian pakar juga mengatakan, “Asal dari berbagai penyakit adalah perut yang selalu terisi penuh.” (Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 2:468)
  3. Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Sedikit makan itu lebih baik daripada banyak makan. Ini lebih manfaat bagi sehatnya badan.” (Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 2:468)
  4. Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, “Manfaat dari sedikit makan bagi baiknya hati adalah hati akan semakin lembut, pemahaman semakin mantap, jiwa semakin tenang, hawa nafsu jelek tertahan, dan marah semakin terkendali. Hal ini berbeda dengan kondisi seseorang yang banyak makan.” (Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 2:469)
  5. Imam Syafii rahimahullah berkata, “Aku tidaklah pernah kenyang selama 16 tahun kecuali satu kali saja yang aku berusaha untuk mengeluarkannya. Kekenyangan itu membuat badan menjadi sulit bergerak, kecerdasan semakin berkurang, jadi sering tidur, dan melemahkan seseorang dari beribadah.” (Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 2:474)
  6. Hadits ini menerangkan adab syari bahwa kita ketika makan hendaklah sesuai kadar kebutuhan.
  7. Hadits ini mengingatkan agar tidak membuat perut kekenyangan karena dampaknya adalah mudah datang penyakit, dan mudah malas.
  8. Secukupnya dalam mengisi perut lebih memanjangkan umur.
  9. Jika memang mau makan lebih dari cukup, jadikanlah jangan sampai lebih dari sepertiga untuk perut.

Referensi:

  1. Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam. Cetakan kesepuluh, Tahun 1432 H. Penerbit Muassasah Ar-Risalah.
  2. Fath Al-Qawi Al-Matin fii Syarh Al-Arba’in wa Tatimmah Al-Khamsiin li An-Nawawi wa Ibnu Rajab rahimahumallah. Cetakan kedua, Tahun 1436 H. Syaikh ‘Abdul Muhsin bin Muhammad Al-‘Abbad Al-Badr.

Dari Amirul Mukminin, Abu Hafsh ‘Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إنَّمَا الأعمَال بالنِّيَّاتِ وإِنَّما لِكُلِّ امريءٍ ما نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إلى اللهِ ورَسُولِهِ فهِجْرَتُهُ إلى اللهِ ورَسُوْلِهِ ومَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُها أو امرأةٍ يَنْكِحُهَا فهِجْرَتُهُ إلى ما هَاجَرَ إليهِ

Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya. Setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya. Siapa yang hijrahnya karena mencari dunia atau karena wanita yang dinikahinya, maka hijrahnya kepada yang ia tuju.” (HR. Bukhari dan Muslim) [HR. Bukhari, no. 1 dan Muslim, no. 1907]

Penjelasan

Hadits ini menjelaskan bahwa setiap amalan benar-benar tergantung pada niat. Dan setiap orang akan mendapatkan balasan dari apa yang ia niatkan. Balasannya sangat mulia ketika seseorang berniat ikhlas karena Allah, berbeda dengan seseorang yang berniat beramal hanya karena mengejar dunia seperti karena mengejar wanita. Dalam hadits disebutkan contoh amalannya yaitu hijrah, ada yang berhijrah karena Allah dan ada yang berhijrah karena mengejar dunia.

Niat secara bahasa berarti al-qashd (keinginan). Sedangkan niat secara istilah syar’i, yang dimaksud adalah berazam (bertedak) mengerjakan suatu ibadah ikhlas karena Allah, letak niat dalam batin (hati).

Kalimat “Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya”, ini dilihat dari sudut pandang al-manwi, yaitu amalan. Sedangkan kalimat “Setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan”, ini dilihat dari sudut pandang al-manwi lahu, yaitu kepada siapakah amalan tersebut ditujukan, ikhlas lillah ataukah ditujukan kepada selainnya.

Faedah Hadits

1- Dalam Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam (1:61) Hadits ini dikatakan oleh Imam Ahmad sebagai salah satu hadits pokok dalam agama kita (disebut ushul al-islam). Imam Ibnu Daqiq Al-‘Ied dalam syarhnya (hlm. 27) menyatakan bahwa Imam Syafi’i mengatakan kalau hadits ini bisa masuk dalam 70 bab fikih. Ulama lainnya menyatakan bahwa hadits ini sebagai tsulutsul Islam (sepertiganya Islam).

2- Tidak mungkin suatu amalan itu ada kecuali sudah didahului niat. Adapun jika ada amalan yang tanpa niat, maka tidak disebut amalan seperti amalan dari orang yang tertidur dan gila. Sedangkan orang yang berakal tidaklah demikian, setiap beramal pasti sudah memiliki niat. Para ulama mengatakan, “Seandainya Allah membebani suatu amalan tanpa niat, maka itu sama halnya membebani sesuatu yang tidak dimampui.”

3- “Setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan”, maksud hadits ini adalah setiap orang akan memperoleh pahala yang ia niatkan.

Coba perhatikan dua hadits berikut ini.

Dari Abu Yazid Ma’an bin Yazid bin Al Akhnas radhiyallahu ‘anhum, -ia, ayah dan kakeknya termasuk sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam-, di mana Ma’an berkata bahwa ayahnya yaitu Yazid pernah mengeluarkan beberapa dinar untuk niatan sedekah. Ayahnya meletakkan uang tersebut di sisi seseorang yang ada di masjid (maksudnya: ayahnya mewakilkan sedekah tadi para orang yang ada di masjid, -pen). Lantas Ma’an pun mengambil uang tadi, lalu ia menemui ayahnya dengan membawa uang dinar tersebut. Kemudian ayah Ma’an (Yazid) berkata, “Sedekah itu sebenarnya bukan kutujukan padamu.” Ma’an pun mengadukan masalah tersebut kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَكَ مَا نَوَيْتَ يَا يَزِيدُ ، وَلَكَ مَا أَخَذْتَ يَا مَعْنُ

Engkau dapati apa yang engkau niatkan wahai Yazid. Sedangkan, wahai Ma’an, engkau boleh mengambil apa yang engkau dapati.” (HR. Bukhari, no. 1422).

Hadits di atas menunjukkan bahwa Setiap orang akan diganjar sesuai yang ia niatkan walaupun realita yang terjadi ternyata menyelisihi yang ia maksudkan. Termasuk dalam sedekah, meskipun yang menerima sedekah adalah bukan orang yang berhak.

Hadits kedua, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

« يَغْزُو جَيْشٌ الْكَعْبَةَ ، فَإِذَا كَانُوا بِبَيْدَاءَ مِنَ الأَرْضِ يُخْسَفُ بِأَوَّلِهِمْ وَآخِرِهِمْ » . قَالَتْ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَيْفَ يُخْسَفُ بِأَوَّلِهِمْ وَآخِرِهِمْ ، وَفِيهِمْ أَسْوَاقُهُمْ وَمَنْ لَيْسَ مِنْهُمْ . قَالَ « يُخْسَفُ بِأَوَّلِهِمْ وَآخِرِهِمْ ، ثُمَّ يُبْعَثُونَ عَلَى نِيَّاتِهِمْ »

“Akan ada satu kelompok pasukan yang hendak menyerang Ka’bah, kemudian setelah mereka berada di suatu tanah lapang, mereka semuanya dibenamkan ke dalam perut bumi dari orang yang pertama hingga orang yang terakhir.” ‘Aisyah berkata, saya pun bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimanakah semuanya dibenamkan dari yang pertama sampai yang terakhir, sedangkan di tengah-tengah mereka terdapat para pedagang serta orang-orang yang bukan termasuk golongan mereka (yakni tidak berniat ikut menyerang Ka’bah)?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Mereka semuanya akan dibenamkan dari yang pertama sampai yang terakhir, kemudian nantinya mereka akan dibangkitkan sesuai dengan niat mereka.” (HR. Bukhari, no. 2118 dan Muslim, no. 2884, dengan lafal dari Bukhari).

4- Niat itu berarti bermaksud dan berkehendak. Letak niat adalah di dalam hati. Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan,

وَالنِّيَّةُ مَحَلُّهَا الْقَلْبُ بِاتِّفَاقِ الْعُلَمَاءِ ؛ فَإِنْ نَوَى بِقَلْبِهِ وَلَمْ يَتَكَلَّمْ بِلِسَانِهِ أَجْزَأَتْهُ النِّيَّةُ بِاتِّفَاقِهِمْ

“Niat itu letaknya di hati berdasarkan kesepakatan ulama. Jika seseorang berniat di hatinya tanpa ia lafazhkan dengan lisannya, maka niatnya sudah dianggap sah berdasarkan kesepakatan para ulama.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 18:262)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan, “Siapa saja yang menginginkan melakukan sesuatu, maka secara pasti ia telah berniat. Semisal di hadapannya disodorkan makanan, lalu ia punya keinginan untuk menyantapnya, maka ketika itu pasti ia telah berniat. Demikian ketika ia ingin berkendaraan atau melakukan perbuatan lainnya. Bahkan jika seseorang dibebani suatu amalan lantas dikatakan tidak berniat, maka sungguh ini adalah pembebanan yang mustahil dilakukan. Karena setiap orang yang hendak melakukan suatu amalan yang disyariatkan atau tidak disyariatkan pasti ilmunya telah mendahuluinya dalam hatinya, inilah yang namanya niat.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 18:262)

5- Niat ada dua macam: (1) niat pada siapakah ditujukan amalan tersebut (al-ma’mul lahu), (2) niat amalan.

Niat jenis pertama adalah niat yang ditujukan untuk mengharap wajah Allah dan kehidupan akhirat. Inilah yang dimaksud dengan niat yang ikhlas.

Sedangkan niat amalan itu ada dua fungsi:

Fungsi pertama adalah untuk membedakan manakah adat (kebiasaan), manakah ibadah. Misalnya adalah puasa. Puasa berarti meninggalkan makan, minum dan pembatal lainnya. Namun terkadang seseorang meninggalkan makan dan minum karena kebiasaan, tanpa ada niat mendekatkan diri pada Allah. Terkadang pula maksudnya adalah ibadah. Oleh karena itu, kedua hal ini perlu dibedakan dengan niat.

Fungsi kedua adalah untuk membedakan satu ibadah dan ibadah lainnya. Ada ibadah yang hukumnya fardhu ‘ain, ada yang fardhu kifayah, ada yang termasuk rawatib, ada yang niatnya witir, ada yang niatnya sekedar shalat sunnah saja (shalat sunnah mutlak). Semuanya ini dibedakan dengan niat.

6- Hijrah itu berarti meninggalkan. Secara istilah, hijrah adalah berpindah dari negeri kafir ke negeri Islam. Hijrah itu hukumnya wajib bagi muslim ketika ia tidak mampu menampakkan lagi syiar agamanya di negeri kafir. Hijrah juga bisa berarti berpindah dari maksiat kepada ketaatan.

7- Dalam beramal butuh niat ikhlas. Karena dalam hadits disebutkan amalan hijrah yang ikhlas dan amalan hijrah yang tujuannya untuk mengejar dunia. Hijrah pertama terpuji, hijrah kedua tercela.

Ibnu Mas’ud menceritakan bahwa ada seseorang yang ingin melamar seorang wanita. Wanita itu bernama Ummu Qais. Wanita itu enggan untuk menikah dengan pria tersebut, sampai laki-laki itu berhijrah dan akhirnya menikahi Ummu Qais. Maka orang-orang pun menyebutnya Muhajir Ummu Qais. Lantas Ibnu Mas’ud mengatakan, “Siapa yang berhijrah karena sesuatu, fahuwa lahu (maka ia akan mendapatkannya, pen.).” (Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 1:74-75. Perawinya tsiqah sebagaimana disebutkan dalam Tharh At-Tatsrib, 2:25. Namun Ibnu Rajab tidak menyetujui kalau cerita Ummu Qais jadi landasan asal cerita dari hadits innamal a’malu bin niyyat yang dibahas). Namun tentu hijrah bukan karena lillah, cari ridha-Nya, maka tidak dibalas oleh Allah.

Amalan lainnya sama dengan hijrah, benar dan rusaknya amal tersebut tergantung pada niat. Demikian kata Ibnu Rajab dalam Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 1:75.

Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata,

مَنْ طَلَبَ الْعِلْمَ لِيُجَارِىَ بِهِ الْعُلَمَاءَ أَوْ لِيُمَارِىَ بِهِ السُّفَهَاءَ أَوْ يَصْرِفَ بِهِ وُجُوهَ النَّاسِ إِلَيْهِ أَدْخَلَهُ اللَّهُ النَّارَ

Barangsiapa menuntut ilmu hanya ingin digelari ulama, untuk berdebat dengan orang bodoh, supaya dipandang manusia, Allah akan memasukkannya dalam neraka.” (HR. Tirmidzi, no. 2654 dan Ibnu Majah, no. 253. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan.)

Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, di mana ia berkata,

خَرَجَ عَلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَنَحْنُ نَتَذَاكَرُ الْمَسِيحَ الدَّجَّالَ فَقَالَ « أَلاَ أُخْبِرُكُمْ بِمَا هُوَ أَخْوَفُ عَلَيْكُمْ عِنْدِى مِنَ الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ ». قَالَ قُلْنَا بَلَى. فَقَالَ « الشِّرْكُ الْخَفِىُّ أَنْ يَقُومَ الرَّجُلُ يُصَلِّى فَيُزَيِّنُ صَلاَتَهُ لِمَا يَرَى مِنْ نَظَرِ رَجُلٍ »

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah keluar menemui kami dan kami sedang mengingatkan akan (bahaya) Al-Masih Ad Dajjal. Lantas beliau bersabda, “Maukah kukabarkan pada kalian apa yang lebih samar bagi kalian menurutku dibanding dari fitnah Al-Masih Ad-Dajjal?” “Iya”, para sahabat berujar demikian kata Abu Sa’id l- Khudri. Beliau pun bersabda, “Syirik khafi (syirik yang samar) di mana seseorang shalat lalu ia perbagus shalatnya agar dilihat orang lain.” (HR. Ibnu Majah, no. 4204. Al-Hafiz Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini hasan.)

Bagaimana jika amalan tercampur riya’?

  • Jika riya’ ada dalam semua ibadah, riya’ seperti ini hanya ditemukan pada orang munafik dan orang kafir.
  • Jika ibadah dari awalnya tidak ikhlas, maka ibadahnya tidak sah dan tidak diterima.
  • Niat awal dalam ibadahnya ikhlas, namun di pertengahan ia tujukan ibadahnya pada makhluk, maka pada saat ini ibadahnya juga batal.
  • Niat awal dalam ibadahnya ikhlas, namun di pertengahan ia tambahkan dari amalan awalnya tadi kepada selain Allah –misalnya dengan ia perpanjang bacaan qur’annya dari biasanya karena ada temannya-, maka tambahannya ini yang dinilai batal. Namun niat awalnya tetap ada dan tidak batal. Inilah amalan yang tercampur riya.
  • Jika niat awalnya sudah ikhas, namun setelah ia lakukan ibadah muncul pujian dari orang lain tanpa ia cari-cari, maka ini adalah berita gembira berupa kebaikan yang disegerakan bagi orang beriman (tilka ‘aajil busyra lil mu’min, HR. Muslim, no. 2642 dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu) (Lihat Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyah karya Syaikh Shalih Alu Syaikh hlm. 25-27.)

8- Manusia diganjar bertingkat-tingkat sesuai dengan tingkatan niatnya. Ada yang sama-sama shalat, namun ganjarannya jauh berbeda. Ada yang sama-sama sedekah, namun pahalanya jauh berbeda karena dilihat dari niatnya. Makanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan tentang para sahabat yang hidup bersamanya,

لاَ تَسُبُّوا أَصْحَابِى ، فَلَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلاَ نَصِيفَهُ

Janganlah kalian mencela sahabatku. Seandainya salah seorang di antara kalian menginfakkan emas semisal gunung Uhud, maka itu tidak bisa menandingi satu mud infak sahabat, bahkan tidak pula separuhnya.” (HR. Bukhari, no. 3673 dan Muslim, no. 2540)

Sebagian ulama menyatakan, “Niat itu bertingkat-tingkat. Bertingkat-tingkatnya ganjaran dilihat dari niatnya, bukan dilihat dari puasa atau shalatnya.” (Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 1:72)

9- Orang yang berniat melakukan amalan shalih namun terhalang melakukannya bisa dibagi menjadi dua:

a- Amalan yang dilakukan sudah menjadi kebiasaan atau rutinitas (rajin untuk dijaga). Lalu amalan ini ditinggalkan karena ada uzur, maka orang seperti ini dicatat mendapat pahala amalan tersebut secara sempurna. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ ، كُتِبَ لَهُ مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيمًا صَحِيحًا

Jika salah seorang sakit atau bersafar, maka ia dicatat mendapat pahala seperti ketika ia dalam keadaan mukim (tidak bersafar) atau ketika sehat.” (HR. Bukhari,no. 2996).

Juga kesimpulan dari hadits berikut.

Dari Jabir, ia berkata, dalam suatu peperangan (perang tabuk) kami pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau bersabda, “Sesungguhnya di Madinah ada beberapa orang yang tidak ikut melakukan perjalanan perang, juga tidak menyeberangi suatu lembah, namun mereka bersama kalian (dalam pahala). Padahal mereka tidak ikut berperang karena kedapatan uzur sakit.” (HR. Muslim, no. 1911).

Dalam lafazh lain disebutkan,

إِلاَّ شَرِكُوكُمْ فِى الأَجْرِ

Melainkan mereka yang terhalang sakit akan dicatat ikut serta bersama kalian dalam pahala.”

Juga ada hadits,

عَنْ أَنَسٍ – رضى الله عنه – أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ فِى غَزَاةٍ فَقَالَ « إِنَّ أَقْوَامًا بِالْمَدِينَةِ خَلْفَنَا ، مَا سَلَكْنَا شِعْبًا وَلاَ وَادِيًا إِلاَّ وَهُمْ مَعَنَا فِيهِ ، حَبَسَهُمُ الْعُذْرُ »

Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam suatu peperangan berkata, “Sesungguhnya ada beberapa orang di Madinah yang ditinggalkan tidak ikut peperangan. Namun mereka bersama kita ketika melewati suatu lereng dan lembah. Padahal mereka terhalang uzur sakit ketika itu.” (HR. Bukhari, no. 2839).

Contoh dalam hal ini adalah orang yang sudah punya kebiasaan shalat jama’ah di masjid akan tetapi ia memiliki uzur atau halangan seperti karena tertidur atau sakit, maka ia dicatat mendapatkan pahala shalat berjama’ah secara sempurna dan tidak berkurang.

b- Jika amalan tersebut bukan menjadi kebiasaan, maka jika sudah berniat mengamalkannya namun terhalang, akan diperoleh pahala niatnya (saja). Dalilnya adalah seperti hadits yang kita bahas kali ini. Begitu pula hadits  mengenai seseorang yang  diberikan harta lantas ia gunakan dalam hal kebaikan, di mana ada seorang miskin yang berkeinginan yang sama jika ia diberi harta. Orang miskin ini berkata bahwa jika ia diberi harta seperti si fulan, maka ia akan beramal baik semisal dia. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

فَهُوَ بِنِيَّتِهِ فَأَجْرُهُمَا سَوَاءٌ

Ia sesuai niatannya dan akan sama dalam pahala niatnya.” (HR. Tirmidzi no. 2325. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).  (Lihat pembahasan Syaikh Muhammad bin Sholih Al-‘Utsaimin dalam Syarh Riyadh Ash-Shalihin, 1:36-37).

Tidak Cukup Niat Ikhlas, Namun Juga Harus Ittiba’

Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah mengatakan,

إن العمل إذا كان خالصا ولم يكن صوابا لم يقبل وإذا كان صوابا ولم يكن خالصا لم يقبل حتى يكون خالصا وصوابا فالخالص أن يكون لله والصواب أن يكون على السنة

Yang namanya amalan jika niatannya ikhlas namun tidak benar, maka tidak diterima. Sama halnya jika amalan tersebut benar namun tidak ikhlas, juga tidak diterima. Amalan tersebut barulah diterima jika ikhlas dan benar. Yang namanya ikhlas, berarti niatannya untuk menggapai ridha Allah saja. Sedangkan disebut benar jika sesuai dengan petunjuk Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 1:72)

Kaedah Menggabungkan Niat Ibadah

Dalam kitab Qawa’id Muhimmah wa Fawaid Jammah, Syaikh As-Sa’di rahimahullah mengatakan dalam kaedah ketujuh:

Jika ada dua ibadah yang (1) jenisnya sama, (2) cara pengerjaannya sama, maka sudah mencukupi bila hanya mengerjakan salah satunya.

Kasus ini ada dua macam:

Pertama:

Cukup mengerjakan salah satu dari dua macam ibadah tadi dan menurut pendapat yang masyhur dalam madzhab Hambali disyaratkan meniatkan keduanya bersama-sama.

Contoh:

– Siapa yang memiliki hadats besar dan kecil sekaligus, dalam madzhab Hambali cukup bersuci hadats besar saja untuk mensucikan kedua hadats tersebut.

– Jama’ah haji yang mengambil manasik qiran yang berniat haji dan umrah sekaligus, cukup baginya mengerjakan satu thawaf dan satu sa’i. Demikian menurut pendapat yang masyhur dalam madzhab Hambali.

Kedua:

Cukup dengan mengerjakan satu ibadah, maka ibadah yang lain gugur (tanpa diniatkan).

Contoh:

– Jika seseorang masuk masjid saat iqamah sudah dikumandangkan, maka gugur baginya tahiyyatul masjid jika ia mengerjakan shalat jama’ah.

– Jika orang yang berumrah masuk Makkah, maka ia langsung melaksanakan thawaf umrah dan gugur baginya thawaf qudum.

– Jika seseorang mendapati imam sedang ruku’, lalu ia bertakbir untuk takbiratul ihram dan ia gugur takbir ruku’ menurut pendapat yang masyhur dalam madzhab Hambali.

– Jika Idul Adha bertepatan dengan hari Jum’at, maka cukup menghadiri salah satunya.

Ada penjelasan yang bagus dari Syaikh Prof. Dr. ‘Abdussalam Asy-Syuwai’ir (Dosen di Ma’had ‘Ali lil Qadha’ Riyadh KSA) hafizahullah, ketika menjelaskan kaedah Syaikh As-Sa’di di atas, beliau simpulkan kaedah sebagai berikut:

Jika ada dua ibadah, keduanya sama dalam (1) jenis dan (2) tata cara pelaksanaan, maka asalnya keduanya bisa cukup dengan satu niat KECUALI pada dua keadaan:

1- Ibadah yang bisa diqadha’ (memiliki qadha’). Contoh: Shalat Zhuhur dan shalat Ashar sama-sama shalat wajib dan jumlah raka’atnya empat, tidak bisa dengan satu shalat saja lalu mencukupi yang lain. Sedangkan, aqiqah dan qurban bisa cukup dengan satu niat karena keduanya tidak ada kewajiban qadha’, menurut jumhur ulama keduanya adalah sunnah.

2- Ia mengikuti ibadah yang lainnya. Contoh: Puasa Syawal dan puasa sunnah yang lain yang sama-sama sunnah. Keduanya tidak bisa cukup dengan satu niat untuk kedua ibadah karena puasa Syawal adalah ikutan dari puasa Ramadhan (ikutan dari ibadah yang lain). Karena dalam hadits disebutkan, “Barangsiapa berpuasa Ramadhan kemudian ia ikutkan dengan puasa enam hari di bulan Syawal ….” Adapun shalat rawatib dan shalat sunnah tahiyatul masjid, keduanya bisa cukup dengan satu niat karena shalat tahiyatul masjid tidak ada kaitan dengan shalat yang lain.

Syaikh ‘Abdussalam Asy-Syuwai’ir juga menyampaikan bahwa ulama Hanafiyah membawa kaidah:

Jika suatu ibadah yang dimaksudkan adalah zatnya, maka ia tidak bisa masuk dalam ibadah lainnya, ia mesti dikerjakan untuk maksud itu. Namun jika suatu ibadah yang dimaksudkan adalah yang penting ibadah itu dilaksanakan, bukan secara zat yang dimaksud, maka ia bisa dimaksudkan dalam ibadah lainnya.

Contoh:

Shalat rawatib dan tahiyyatul masjid. Shalat tahiyyatul masjid bisa dimasukkan di dalam shalat rawatib. Cukup dengan niatan shalat rawatib, maka shalat tahiyyatul masjid sudah termasuk. Karena perintah untuk shalat tahiyyatul masjid yang penting ibadah itu dilaksanakan, yaitu ketika masuk masjid sebelum duduk, lakukanlah shalat sunnah dua raka’at. Jika kita masuk masjid dengan niatan langsung shalat rawatib, berarti telah melaksanakan maksud tersebut.

Referensi:

  1. Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah. Cetakan Tahun 1420 H. Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di. Penerbit Dar Al-Haramain.
  2. At-Ta’liqat ‘ala ‘Umdah Al-Ahkam. Cetakan pertama, Tahun 1431 H. Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di. Penerbit Dar ‘Alam Al-Fawaid.
  3. Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam. Cetakan kesepuluh, Tahun 1432 H. Ibnu Rajab Al-Hambali. Penerbit Muassasah Ar-Risalah.
  4. Majmu’ah Al-Fatawa. Cetakan keempat, Tahun 1432 H. Syaikhul Islam Ahmad bin Taimiyah Al-Harrani. Penerbit Dar Al-Wafa’.
  5. Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyah fi Al-Ahadits Ash-Shahihah An-Nabawiyyah. Cetakan kedua, Tahun 1423 H. Al-Imam Ibnu Daqiq Al-‘Ied. Penerbit Dar Ibnu Hazm.
  6. Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyah. Cetakan ketiga, Tahun 1425 H. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin. Penerbit Dar Ats-Tsuraya.
  7. Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyah. Cetakan kedua, Tahun 1433 H. Syaikh Shalih bin ‘Abdul ‘Aziz bin Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh. Penerbit Dar Al-‘Ashimah.

Hadits Al-Arbain An-Nawawiyah #35

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ: «لاَ تَحَاسَدُوا، وَلاَتَنَاجَشُوا، وَلاَ تَبَاغَضُوا، وَلاَ تَدَابَرُوا، وَلاَ يَبِعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ، وَكُوْنُوا عِبَادَ اللهِ إِخوَاناً. المُسْلِمُ أَخُو المُسْلِمِ، لاَ يَظْلِمُهُ، وَلاَ يَخذُلُهُ، وَلَا يَكْذِبُهُ، وَلَايَحْقِرُهُ. التَّقْوَى هَاهُنَا -وَيُشِيْرُ إِلَى صَدْرِهِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ- بِحَسْبِ امْرِىءٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ المُسْلِمَ. كُلُّ المُسْلِمِ عَلَى المُسْلِمِ حَرَامٌ: دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ» رَوَاهُ مُسْلِمٌ.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian saling mendengki, janganlah saling tanajusy (menyakiti dalam jual beli), janganlah saling benci, janganlah saling membelakangi (mendiamkan), dan janganlah menjual di atas jualan saudaranya. Jadilah hamba Allah yang bersaudara. Seorang muslim adalah saudara untuk muslim lainnya. Karenanya, ia tidak boleh berbuat zalim, menelantarkan, berdusta, dan menghina yang lain. Takwa itu di sini–beliau memberi isyarat ke dadanya tiga kali–. Cukuplah seseorang berdosa jika ia menghina saudaranya yang muslim. Setiap muslim atas muslim lainnya itu haram darahnya, hartanya, dan kehormatannya.’” (HR. Muslim) [HR. Muslim no. 2564]

Keterangan hadits

– Hasad menurut Ibnu Taimiyah adalah,

الْحَسَدَ هُوَ الْبُغْضُ وَالْكَرَاهَةُ لِمَا يَرَاهُ مِنْ حُسْنِ حَالِ الْمَحْسُودِ

Hasad adalah membenci dan tidak suka terhadap keadaan baik yang ada pada orang yang dihasad.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 10:111).

Sedangkan menurut jumhur ulama, hasad adalah berharap hilangnya nikmat Allah pada orang lain. Nikmat ini bisa berupa nikmat harta, kedudukan, ilmu, dan lainnya. Demikian penjelasan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dalam Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah, hlm. 368.

– Laa tanaaja-syuu: janganlah melakukan najsy, yaitu sengaja membuat harga barang naik, padahal ia tidak bermaksud membelinya. Najsy ini ingin memberikan mudarat pada pembeli, atau memberi manfaat pada penjual, atau bisa kedua-duanya sekaligus.

– Laa tabaa-ghoduu: janganlah saling benci, yaitu jangan sampai membuat sebab-sebab benci itu muncul.

– Laa tadaa-baruu: janganlah saling membelakangi, ada yang memandang ke arah yang satu, dan yang lain memandang ke arah lainnya. Maksudnya, jangan saling membelakangi (memboikot atau mendiamkan) bisa dengan hati, bisa dengan badan.

Dari Abu Ayyub radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَا يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يَهْجُرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلَاثِ لَيَالٍ يَلْتَقِيَانِ, فَيُعْرِضُ هَذَا, وَيُعْرِضُ هَذَا, وَخَيْرُهُمَا اَلَّذِي يَبْدَأُ بِالسَّلَامِ

Tidak halal bagi muslim memutuskan persahabatan dengan saudaranya lebih dari tiga malam. Mereka bertemu, lalu seseorang berpaling dan lainnya juga berpaling. Yang paling baik di antara keduanya adalah yang memulai mengucapkan salam.” (HR. Bukhari, no. 6077 dan Muslim, no. 2560)

– Laa yabi’ ba’dhukum ‘ala bay’i ba’din: janganlah menjual di atas jualan saudaranya. Misalnya ada yang membeli suatu barang pada penjual pertama dengan harga seratus ribu rupiah. Lalu ada penjual kedua yang datang dan menawarkan lagi, “Saya bisa beri dengan barang yang sama hanya tujuh puluh ribu rupiah.” Ini namanya menjual di atas jualan saudaranya.

– Wa kuunu ‘ibadallahi ikhwaanaa: jadilah hamba Allah yang bersaudara. Syaikh Ibnu ‘Utsaimin berkata, “Sudah dimaklumi bersama bahwa namanya saudara itu, ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.”

– Laa yazh-limuhu: janganlah berbuat zalim dalam hal harta, darah, kehormatan, dan lainnya.

– Laa yakh-dzuluhu: janganlah membiarkan tanpa ditolong (diterlantarkan). Misalnya, seseorang melihat ada yang dizalimi sedang berdebat dengan orang yang menzaliminya. Jika ada yang mendukung orang yang menzalimi tanpa membela orang yang dizalimi seperti itu, itu namanya diterlantarkan. Yang wajib dilakukan adalah menolong orang yang dizalimi tadi.

– Laa yak-dzibuhu: janganlah berbuat dusta, dengan ucapan ataupun perbuatan.

– Laa yahqiruhu: janganlah merendahkan muslim yang lain.

Baca Juga: Ya Allah, Satukanlah Hati Kami

Faedah hadits

  1. Islam mengajarkan untuk menjalin ukhuwah (persaudaraan).
  2. Islam melarang hasad (walaupun hanya dari satu pihak saja), najsy (menaikkan harga barang lalu memudaratkan penjual atau memberikan manfaat pada pembeli), saling benci, saling membelakangi (mendiamkan), menjual di atas jualan saudaranya, menzalimi, enggan menolong (menelantarkan), merendahkan, mengabarkan berita bohong, merampas harta, darah, hingga kehormatan orang lain.
  3. Hadits ini menganjurkan kaum muslimin untuk saling mencintai. Hadits menyebutkan larangan saling membenci, itulah mantuqnya (tekstualnya). Sebaliknya (secara mafhum), kita dianjurkan untuk saling mencintai.
  4. Larangan menjual di atas jualan saudaranya berlaku saat khiyar dan bakda khiyar. Khiyar adalah memilih untuk melanjutkan atau membatalkan jual beli.
  5. Wajib mewujudkan persaudaraan seiman. Bentuk mewujudkan persaudaraan adalah dengan saling memberi hadiah, berkumpul dalam ibadah secara berjemaah seperti dalam shalat lima waktu, shalat Jumat, dan shalat id.
  6. Setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa sesama muslim itu bersaudara, beliau menjelaskan pula bagaimana seharusnya seorang muslim pada saudaranya.
  7. Ajaran Islam datang untuk menjaga atau menyelamatkan darah, harta, dan kehormatan.
  8. Tidak boleh menjatuhkan kehormatan seorang muslim. Kita tidak boleh mengghibah yang lainnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menafsirkan tentang ghibah dengan membicarakan aib suadara kita di saat ia gaib. Bila ia hadir, membicarakan kejelekannya disebut dengan mencela, bukan lagi ghibah.
  9. Tidak boleh menelantarkan sesama muslim, berarti kita diperintahkan untuk menolong mereka. Bahkan kita diperintahkan menolong orang yang dizalimi dan juga menolong orang yang berbuat zalim. Dalam hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

انْصُرْ أخاكَ ظالِمًا أوْ مَظْلُومًا فقالَ رَجُلٌ: يا رَسولَ اللَّهِ، أنْصُرُهُ إذا كانَ مَظْلُومًا، أفَرَأَيْتَ إذا كانَ ظالِمًا كيفَ أنْصُرُهُ؟ قالَ: تَحْجُزُهُ، أوْ تَمْنَعُهُ، مِنَ الظُّلْمِ فإنَّ ذلكَ نَصْرُهُ.

Tolonglah saudaramu yang berbuat zalim atau yang dizalimi.” Ada seseorang yang berkata, “Wahai Rasulullah, aku tolong menolongnya jika ia dizalimi. Terus pendapatmu jika ia adalah orang zalim, bagaimana aku bisa menolongnya?” Beliau bersabda, “Engkau mencegah atau menghalanginya dari tindakan zalim, berarti engkau telah menolongnya.” (HR. Bukhari, no. 2444, 6952)

  1. Kita wajib bersikap jujur, tidak boleh berdusta. Berdusta itu haram walaupun pada orang kafir.
  2. Tidak boleh merendahkan muslim yang lain walau dia itu fakir dan miskin. Kita harus memuliakan dan menghormati muslim lainnya.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

رُبَّ أشْعَثَ مَدْفُوعٍ بالأبْوابِ، لو أقْسَمَ علَى اللهِ لأَبَرَّهُ.

Betapa banyak orang yang rambutnya semrawut dan dia diusir ketika berada di pintu rumah orang lain, tetapi jika ia bersumpah/ berdoa, Allah akan mengabulkan permintaannya.” (HR. Muslim, no. 2622, 2854)

  1. Takwa letaknya di hati.
  2. Memberi contoh dengan mempraktikkan lebih mengena dari sekadar perkataan saat bicara. Karenanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berisyarat pada dadanya, bukan hanya berkata-kata.
  3. Hadits ini adalah sanggahan untuk orang yang mengerjakan maksiat dengan anggota badannya, lalu ia katakan, yang penting ketakwaan kita di sini. Jawabnya, jika hati bertakwa, anggota badan juga turut bertakwa karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَلَا وَإِنَّ فِي الجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلُحَتْ صَلُحَ الجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الجَسَدُ كُلُّهُ أَلَا وَهِيَ القَلْبُ

Ingatlah di dalam jasad itu ada segumpal daging. Jika ia baik, seluruh jasad akan ikut baik. Jika ia rusak, seluruh jasad akan ikut rusak. Ingatlah, segumpal daging itu adalah hati (jantung).” (HR. Bukhari, no. 2051 dan Muslim, no. 1599)

  1. Bagusnya pengajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan ucapan dan praktik.

Kaedah dari hadits

  1. Kaedah bersaudara:

الأُخُوَّةُ مَبْنِيَّةٌ عَلَى المُتَطَلِّبَاتِ لاَ عَلَى الِإدْعَاءَاتِ

“Persaudaraan itu dibangun di atas apa yang orang lain suka, bukan atas tuntutan hak.”

  1. Kaedah fikih:

الأَصْلُ فِي دَمِّ المُسْلِمِ وَعِرْضِهِ وَمَالِهِ الحُرْمَةُ

“Hukum asal darah muslim, hartanya, dan kehormatannya adalah terjaga (dilarang dirampas).”

  1. Kaedah hati:

اِتِّقَاءُ القَلْبِ يَثْمُرُ اِتِّقَاءَ الجَوَارِحِ

“Hati yang terjaga baik berbuah pada anggota badan yang terjaga.”

Sifat Manusia Saat Hasad 

Hasad itu sifatnya manusiawi. Setiap orang pasti punya rasa tidak suka jika ada orang yang setipe dengannya melebihi dirinya dari sisi keutamaan.

Manusia dalam hal ini ada empat sifat hasad.

Pertama: Ada yang berusaha menghilangkan nikmat pada orang yang ia hasad. Ia berbuat melampaui batas dengan perkataan ataupun perbuatan. Inilah hasad yang tercela.

Kedua: Ada yang hasad pada orang lain. Namun, ia tidak jalankan konsekuensi dari hasad tersebut di mana ia tidak bersikap melampaui batas dengan ucapan dan perbuatannya. Al-Hasan Al-Bashri berpandangan bahwa hal ini tidaklah berdosa.

Ketiga: Ada yang hasad dan tidak menginginkan nikmat orang lain hilang. Bahkan ia berusaha agar memperoleh kemuliaan semisal. Ia berharap bisa sama dengan yang punya nikmat tersebut. Jika kemuliaan yang dimaksud hanyalah urusan dunia, tidak ada kebaikan di dalamnya. Contohnya adalah keadaan seseorang yang ingin seperti Qarun.

يَا لَيْتَ لَنَا مِثْلَ مَا أُوتِيَ قَارُونُ

Moga-moga kiranya kita mempunyai seperti apa yang telah diberikan kepada Qarun.” (QS. Al-Qasas: 79)

Jika kemuliaan yang dimaksud adalah urusan agama, inilah yang baik.  Inilah yang disebut ghib-thah.

Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لا حَسَدَ إلَّا على اثنتَينِ: رجُلٌ آتاهُ اللهُ مالًا، فهو يُنْفِقُ مِنهُ آناءَ اللَّيلِ وآناءَ النَّهارِ، ورجُلٌ آتاهُ اللهُ القُرآنَ، فهو يَقومُ به آناءَ اللَّيلِ وآناءَ النَّهارِ.

Tidak boleh ada hasad kecuali pada dua perkara: ada seseorang yang dianugerahi harta lalu ia gunakan untuk berinfak pada malam dan siang, juga ada orang yang dianugerahi Alquran, lantas ia berdiri dengan membacanya malam dan siang.” (HR. Bukhari, no. 5025, 7529 dan Muslim, no. 815)

Keempat: Jika dapati diri hasad, ia berusaha untuk menghapusnya. Bahkan ia ingin berbuat baik pada orang yang ia hasad. Ia mendoakan kebaikan untuknya. Ia pun menyebarkan kebaikan-kebaikannya. Ia ganti sifat hasad itu dengan rasa cinta. Ia katakan bahwa saudaranya itu lebih baik dan lebih mulia. Bentuk keempat inilah tingkatan paling tinggi dalam iman. Yang memilikinya itulah yang memiliki iman yang sempurna di mana ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.

Lihat Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 2:260-263.

Semoga bermanfaat.

Baca pembahasan selanjutnya: Hadits Arbain #36: coming soon

Referensi:

  1. Fath Al-Qawi Al-Matin fi Syarh Al-Arba’in wa Tatimmat Al-Khamsin li An-Nawawi wa Ibnu Rajab rahimahumallah. Cetakan kedua, Tahun 1436 H. Syaikh ‘Abdul Muhsin bin Hamad Al-‘Abbad Al-Badr.
  2. Jaami’Al-‘Ulum wa Al-Hikam. Cetakan kesepuluh, Tahun 1432 H. Penerbit Muassasah Ar-Risalah.
  3. Khulashah Al-Fawaid wa Al-Qawa’id min Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah. Syaikh ‘Abdullah Al-Farih.
  4. Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah. Cetakan ketiga, Tahun 1425 H. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin. Penerbit Dar Ats-Tsuraya.

Hadits Arbain #40

عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا، قَالَ: أَخَذَ رَسُولُ اللهِ ﷺ بِمَنْكِبَيَّ، فَقَالَ: «كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيْبٌ أَوْ عَابِرُ سَبِيْلٍ»

وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا يَقُوْلُ: إِذَا أَمْسَيْتَ فَلَا تَنْتَظِرِ الصَّبَاحَ، وَإِذَا أَصْبَحْتَ فَلَا تَنْتَظِرِ المَسَاءَ. وَخُذْ مِنْ صِحَّتِكَ لِمَرَضِكَ، وَمِنْ حَيَاتِكَ لِمَوْتِكَ. رَوَاهُ البُخَارِيُّ.

Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memegang kedua pundakku, lalu bersabda, “Jadilah engkau di dunia seperti orang asing atau seorang musafir.”

Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Jika kamu memasuki sore hari, maka jangan menunggu pagi hari. Jika kamu memasuki pagi hari, maka jangan menunggu sore hari. Manfaatkanlah sehatmu sebelum sakitmu, dan hidupmu sebelum matimu.” (HR. Bukhari, no. 6416)

Keterangan hadits

Gharib: orang asing dari negerinya, ada waktu berdiam, namun hanya sebentar.

Abiru sabiil: musafir, sama sekali tidak menetap, terus berjalan.

Penjelasan hadits

Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Hadits ini jadi dasar agar kita tidak panjang angan-angan. Dunia ini hendaknya tidak dijadikan negeri dan tempat tinggal, sehingga kita jadi merasa tenang ketika berada di dalamnya. Hendaklah dunia hanya dijadikan tempat persiapan peralatan untuk perjalanan. Wasiat para nabi dan pengikutnya telah sama dalam hal ini. Allah Ta’ala telah menceritakan tentang orang beriman dari keluarga Fir’aun,

يَٰقَوْمِ إِنَّمَا هَٰذِهِ ٱلْحَيَوٰةُ ٱلدُّنْيَا مَتَٰعٌ وَإِنَّ ٱلْءَاخِرَةَ هِىَ دَارُ ٱلْقَرَارِ

Hai kaumku, sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah kesenangan (sementara) dan sesungguhnya akhirat itulah negeri yang kekal.” (QS. Ghafir: 39).” (Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 2:377)

Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Dunia bagi seorang mukmin bukanlah negeri untuk menetap, bukan sebagai tempat tinggal. Hendaklah seorang mukmin berada dalam salah satu keadaan: (1) menjadi seorang gharib (orang asing), tinggal di negeri asing, ia semangat mempersiapkan bekal untuk kembali ke negeri tempat tinggal sebenarnya; (2) menjadi seorang musafir, tidak tinggal sama sekali, bahkan malam dan siangnya ia terus berjalan ke negeri tempat tinggalnya. Makanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mewasiatkan Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma agar hidup di dunia dengan salah satu dari dua keadaan ini.” (Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 2:378)

Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Jika seseorang semangat dalam mempersiapkan bekal safarnya, tentu semangatnya bukan memperbanyak kesenangan dunia.” (Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 2:381)

Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menasehati seseorang,

اِغْتَنِمْ خَمْسًا قَبْلَ خَمْسٍ : شَبَابَكَ قَبْلَ هَرَمِكَ وَ صِحَّتَكَ قَبْلَ سَقَمِكَ وَ غِنَاكَ قَبْلَ فَقْرِكَ وَ فَرَاغَكَ قَبْلَ شَغْلِكَ وَ حَيَاتَكَ قَبْلَ مَوْتِكَ

“Manfaatkanlah lima perkara sebelum lima perkara:

(1) Waktu mudamu sebelum datang waktu tuamu,

(2) Waktu sehatmu sebelum datang waktu sakitmu,

(3) Masa kayamu sebelum datang masa kefakiranmu,

(4) Masa luangmu sebelum datang masa sibukmu,

(5) Hidupmu sebelum datang matimu.”

(HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadraknya, 4:341. Al-Hakim mengatakan bahwa hadits ini sahih sesuai syarat Bukhari Muslim namun keduanya tidak mengeluarkannya. Dikatakan oleh Adz-Dzahabiy dalam At-Talkhish berdasarkan syarat Bukhari-Muslim. Syaikh Al-Albani dalam Shahih At-Targhib wa At-Tarhib mengatakan bahwa hadits ini sahih).

Baca juga: Manfaatkanlah Lima Perkara Sebelum Menyesal

Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Wajib bagi setiap mukmin bersegera beramal saleh sebelum tidak mampu dan terhalang melakukannya, bisa jadi terhalang karena sakit, meninggal dunia, atau mendapati hal-hal yang membuat amal kita sudah tidak lagi diterima.” (Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 2:390)

Faedah hadits

  1. Kita dimotivasi untuk meninggalkan dunia dan zuhud pada dunia.
  2. Bagusnya pengajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan memberi contoh yang memuaskan.
  3. Hendaklah kita bersegera memanfaatkan umur, memanfaatkan waktu kuat yaitu masa sehat dan masa hidup.
  4. Keutamaan Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma karena perkataannya terpengaruh dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
  5. Bersegera beramal saleh pada waktu kita saat ini, tidak menunda-nundanya, karena kita tidak tahu keadaan setelah itu.
  6. Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Hendaklah setiap mukmin benar-benar memanfaatkan kesempatan dengan sisa umur yang ada.” (Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 2:391)

Baca juga: Belajar Hidup Zuhud

Kaedah dari hadits

Kaedah istitsmar: hendaklah kita sibuk dengan sesuatu yang akan kekal, bukan sesuatu yang akan fana. Artinya, banyaklah sibuk dengan akhirat, sedangkan dunia kita diajak untuk zuhud (ambil sekadarnya saja dari yang halal).

Baca Juga:

Surat Seorang Kakak untuk Adik Tercinta, Hidup di Dunia Hanyalah Sementara

Referensi:

  1. Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam. Cetakan kesepuluh, Tahun 1432 H. Penerbit Muassasah Ar-Risalah.
  2. Khulashah Al-Fawaid wa Al-Qawa’id min Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah. Syaikh ‘Abdullah Al-Farih.
  3. Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah. Cetakan ketiga, Tahun 1425 H. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin. Penerbit Dar Ats-Tsuraya.

Mengikuti Al-Qur’an dan As-Sunnah

Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى ٱللَّهُ وَرَسُولُهُۥٓ أَمْرًا أَن يَكُونَ لَهُمُ ٱلْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ ۗ وَمَن يَعْصِ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَٰلًا مُّبِينًا

Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (QS. Al-Ahzab: 36)

Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

تَرَكْتُ فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا : كِتَابَ اللهِ وَ سُنَّةَ رَسُوْلِهِ

Aku telah tinggalkan kepada kamu dua perkara. Kamu tidak akan sesat selama berpegang kepada keduanya, (yaitu) Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya.” (HR. Malik; Al-Hakim, Al-Baihaqi, Ibnu Nashr, Ibnu Hazm. Hadits ini disahihkan oleh Syaikh Salim Al-Hilali di dalam At-Ta’zhim wa Al-Minnah fi Al-Intishar As-Sunnah, hlm. 12-13).

Pengertian As-Sunnah

Pertama: Sunnah bisa maksudnya adalah petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam secara umum dalam segala urusan beliau.

Menurut ulama hadits, sunnah adalah ucapan, perbuatan, persetujuan, hingga sifat fisik, dan akhlak Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sedangkan menurut ulama Ushul, sunnah adalah ucapan, perbuatan, dan persetujuan yang dinukil dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Kedua: Sunnah digunakan untuk lawan kata dari bid’ah.

Orang yang berpegang teguh dengan sunnah disebut ahli sunnah.

Al-Hafizh Abu ‘Amr bin Ash-Shalah rahimahullah pernah ditanya, sebagian orang bertanya tentang Imam Malik bahwa ia menggabungkan sunnah dan hadits. Lalu apa perbedaan antara As-Sunnah dan Al-Hadits?

Ibnu Ash-Shalah rahimahullah menjawab, “As-Sunnah di sini adalah lawan kata dari bid’ah. Bisa saja seorang menjadi ahli hadits, tetapi ia adalah seorang ahli bid’ah (mubtadi’). Imam Malik—semoga Allah meridhai beliau—menggabungkan dua sunnah. Beliau itu paham masalah sunnah (hadits) dan keyakinan beliau adalah berpegang pada kebenaran (bukan berpegang pada bid’ah). Wallahu a’lam.” (Fatawa Ibnu Ash-Shalah, 1:139-140)

Ketiga: Sunnah berarti dianjurkan, yaitu lawan dari wajib. Istilah ini digunakan oleh para fuqaha (pakar fikih).

Keempat: Istilah As-Sunnah bisa dimaksud juga adalah akidah. Akidah disebut dengan sunnah karena tidak ada ruang bagi akal untuk masuk dalam masalah akidah.

Baca juga: Pengertian Istilah As-Sunnah

Al-Qur’an adalah Sebab Hidayah

Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata, “Bulan Ramadan terdapat karunia yang besar. Karunia tersebut adalah dengan diturunkannya karunia Al-Qur’an yang mulia. Di dalamnya terdapat hidayah untuk maslahat dunia dan akhirat. Al-Qur’an juga menjelaskan kebenaran dengan penjelasan yang sejelas-jelasnya. Al-Qur’an juga menerangkan manakah yang benar dan batil, manakah petunjuk dan manakah kesesatan, manakah orang yang akan bahagia dan akan sengsara.” (Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hlm. 86).

  • Al-Qur’an itu sebagai petunjuk pada manusia baik yang beriman maupun kafir. Al-Qur’an menunjukkan manakah syirik, manakah tauhid, manakah kesesatan, manakah hidayah, manakah kejahilan, manakah ilmu. Al-Qur’an itu hidayah dan petunjuk, di mana Al-Qur’an menunjukkan pada hal yang manfaat dalam agama dan dunia. Al-Qur’an juga jadi jalan hidayah ‘ilmiyyah dan ‘amaliyyah.
  • Al-Qur’an juga adalah bayyinaat, yaitu penjelas dari petunjuk, sebagai hujjah, ayat yang jelas. Al-Qur’an itu berisi hidayah dan irsyad (pembimbingan).
  • Al-Qur’an juga adalah Al-Furqan, yaitu pembeda antara yang benar dan yang batil, yang halal dan haram, yang baik dan yang buruk.

Kita Terus Menerus Meminta Hidayah

Surah dan bagian ayat ini dari surah Al-Fatihah terus menerus kita baca dalam shalat kita karena merupakan rukun shalat,

اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ

Tunjukilah kami jalan yang lurus.” (QS. Al-Fatihah: 6)

Meminta hidayah yang dimaksud di sini adalah irsyad wa taufiq (pembimbingan dan taufik). Ibnu Katsir berkata,

والهداية هاهنا: الإرشاد والتوفيق

“Hidayah yang dimaksud (dalam ayat ihdinash shiroothol mustaqiim) adalah hidayah irsyad dan taufiq.” (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 1:209)

Hidayah sendiri menurut para ulama ada dua macam –sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Ibnu ‘Utsaimin–yaitu:

1- Hidayah ilmi wa irsyad, yaitu hanya sekadar memberikan penjelasan.

2- Hidayah taufiq wa ‘amal, yaitu menerima dan menjalankan syariat.

Ibnu Katsir menyatakan berbagai pengertian shirothol mustaqim yaitu :

1. Jalan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

2. Jalan para sahabat radhiyallahu ‘anhum.

3. Kebenaran.

4. Islam.

5. Al-Qur’an.

Setelah menyebutkan pendapat-pendapat ini, Ibnu Katsir rahimahullah menyampaikan,

وكل هذه الأقوال صحيحة، وهي متلازمة، فإن من اتبع النبي صلى الله عليه وسلم، واقتدى باللذين من بعده أبي بكر وعمر، فقد اتبع الحق، ومن اتبع الحق فقد اتبع الإسلام، ومن اتبع الإسلام فقد اتبع القرآن، وهو كتاب الله وحبله المتين، وصراطه المستقيم، فكلها صحيحة يصدق بعضها بعضا، ولله الحمد.

“Semua pengertian di atas itu benar dan semua makna di atas itu saling terkait. Siapa yang mengikuti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengikuti sahabat sesudahnya yaitu Abu Bakar dan Umar, maka ia telah mengikuti kebenaran. Siapa yang mengikuti kebenaran, berarti ia telah mengikuti Islam. Siapa yang mengikuti Islam, berarti ia telah mengikuti Al-Qur’an (Kitabullah), itulah tali Allah yang kokoh. Itulah semua ash-shirothol mustaqim (jalan yang lurus). Semua pengertian di atas itu benar saling mendukung satu dan lainnya. Walillahil hamd.” (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 1:213)

Baca juga: Meminta Petunjuk Jalan yang Lurus

Bagaimana Al-Qur’an Bisa Lebih Bermanfaat?

Ibnul Qayyim rahimahullah menyatakan, “Apabila engkau ingin memetik manfaat dari Al-Qur’an, maka fokuskan hatimu saat membaca dan mendengarkannya. Pasang baik-baik telingamu dan posisikanlah diri seperti posisi orang yang diajak bicara langsung oleh Dzat yang memfirmankannya. Al-Qur’an ini makin sempurna pengaruhnya bergantung pada faktor pemberi pengaruh yang efektif, tempat yang kondusif, terpenuhinya syarat, terwujudnya pengaruh, dan ketiadaan faktor yang menghalanginya. Semua ini telah terkandung dalam firman Allah,

إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَذِكْرَىٰ لِمَنْ كَانَ لَهُ قَلْبٌ أَوْ أَلْقَى السَّمْعَ وَهُوَ شَهِيدٌ

Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai hati atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya.” (QS. Qaaf: 37).

Ringkasnya, langkah untuk tadabbur Al-Qur’an ada empat:

1. Ada ayat yang dibaca.

2. Hati kita hidup.

3. Mendengarkan dengan seksama.

4. Tidak lalai dan memahami maksud ucapan.

Contoh Tadabur Ayat Zakat

Allah Ta’ala berfirman,

وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ يَوْمَ يُحْمَى عَلَيْهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ فَتُكْوَى بِهَا جِبَاهُهُمْ وَجُنُوبُهُمْ وَظُهُورُهُمْ هَذَا مَا كَنَزْتُمْ لِأَنْفُسِكُمْ فَذُوقُوا مَا كُنْتُمْ تَكْنِزُونَ

“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih, pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: “Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu.” (QS. At Taubah: 34-35).

Kita sudah bayar zakat apa belum?

Ayat lainnya membicarakan tentang siapa yang berhak menerima zakat,

إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ

“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk (1) orang-orang fakir, (2) orang-orang miskin, (3) amil zakat, (4) para mu’allaf yang dibujuk hatinya, (5) untuk (memerdekakan) budak, (6) orang-orang yang terlilit utang, (7) untuk jalan Allah (fii sabilillah), dan (8) untuk mereka yang sedang dalam perjalanan (ibnu sabil), sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. At-Taubah: 60).

Apakah kita sudah benar dalam menyalurkan zakat?

Cara Menafsirkan Al Qur’an yang Benar

Ibnu Katsir menunjukkan bagaimana cara terbaik menafsirkan Al Qur’an sebagai berikut:

1- Menafsirkan Al Qur’an dengan Al Qur’an. Jika ada ayat yang mujmal (global), maka bisa ditemukan tafsirannya dalam ayat lainnya.

2- Jika tidak didapati, maka Al Qur’an ditafsirkan dengan sunnah atau hadits.

3- Jika tidak didapati, maka Al Qur’an ditafsirkan dengan perkataan sahabat karena mereka lebih tahu maksud ayat, lebih-lebih ulama sahabat dan para senior dari sahabat Nabi seperti khulafaur rosyidin yang empat, juga termasuk Ibnu Mas’ud dan Ibnu ‘Umar.

4- Jika tidak didapati, barulah beralih pada perkataan tabi’in seperti Mujahid bin Jabr, Sa’id bin Jubair, ‘Ikrimah (bekas budak Ibnu ‘Abbas), ‘Atho’ bin Abi Robbah, Al Hasan Al Bashri, Masruq bin Al Ajda’, Sa’id bin Al Musayyib, Abul ‘Aliyah, Ar Robi’ bin Anas, Qotadah, dan Adh Dhohak bin Muzahim. (Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim karya Ibnu Katsir, 1: 5-16)

Baca juga: Cara Menafsirkan Al-Qur’an dengan Benar

Untuk mendapat pelajaran dari Al-Qur’an dengan mudah adalah:

1. Pahami bahasa Arab terutama, ilmu nahwu, sharf, dan balaghah.

2. Menguasai ilmu alat lainnya seperti ushul tafsir dan ushul fikih untuk memahami teks ayat dengan baik.

3. Pahami Al-Qur’an dari kitab tafsir yang sahih, seperti dari Tafsir Al-Jalalain, Tafsir As-Sa’di, dan Tafsir Ibnu Katsir.

4. Rajin membaca Al-Qur’an dengan tadabur.

Baca juga: Langkah untuk Tadabur Al-Qur’an

Mengikuti Sunnah Nabi

Dari Abu Najih Al-‘Irbadh bin Sariyah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan nasihat kepada kami dengan nasihat yang membuat hati menjadi bergetar dan mata menangis, maka kami berkata, ‘Wahai Rasulullah! Sepertinya ini adalah wasiat dari orang yang akan berpisah, maka berikanlah wasiat kepada kami.’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ عَزَّ وَ جَلَّ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ تَأَمَّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَي اخْتِلاَفًا كَثِيْرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ المَهْدِيِّيْنَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

Aku berwasiat kepada kalian agar bertakwa kepada Allah, mendengar dan taat meskipun kalian dipimpin seorang budak. Sungguh, orang yang hidup di antara kalian sepeninggalku, ia akan melihat perselisihan yang banyak. Oleh karena itu, wajib atas kalian berpegang teguh pada sunnahku dan Sunnah khulafaur rosyidin al-mahdiyyin (yang mendapatkan petunjuk dalam ilmu dan amal). Gigitlah sunnah tersebut dengan gigi geraham kalian, serta jauhilah setiap perkara yang diada-adakan, karena setiap bidah adalah sesat.” (HR. Abu Daud, no. 4607 dan Tirmidzi, no. 2676. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini sahih).

Baca juga: Ikutilah Sunnah Nabi, Tinggalkan Bid’ah

Dari Abu Muhammad Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash radhiyallahu ‘anhuma berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَيُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يَكُونَ هَوَاهُ تَبَعاً لِمَا جِئْتُ بِهِ

Tidak beriman seorang dari kalian hingga hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa.” (Hadits hasan sahih, kami meriwayatkannya dari kitab Al-Hujjah dengan sanad shahih).

Baca juga: Mengikuti Sunnah Nabi, Tundukkan Hawa Nafsu

Jangan Lupakan Ulama

Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An-Nisa’: 59)

Syaikh As-Sa’di rahimahullah dalam kitab tafsirnya berkata: “Yang dimaksud ulil amri di sini adalah yang mengatur urusan umat. Ulil amri di sini adalah penguasa, penegak hukum dan pemberi fatwa (para ulama). Urusan agama dan urusan dunia dari setiap orang bisa berjalan lancar dengan menaati mereka-mereka tadi. Ketaatan pada mereka adalah sebagai bentuk ketaatan pada Allah dan bentuk mengharap pahala di sisi-Nya. Namun dengan catatan ketaatan tersebut bukanlah dalam perkara maksiat pada Allah. Kalau mereka memerintah pada maksiat, maka tidaklah ada ketaatan pada makhluk dalam bermaksiat pada Allah.”

Ulil amri dalam ayat di atas ada empat tafsiran dari para ulama, yaitu ada ulama yang berpendapat bahwa mereka adalah penguasa. Ada juga pendapat lainnya yang menyatakan bahwa ulil amri adalah para ulama. Dua pendapat lainnya menyatakan bahwa ulil amri adalah sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, juga ada yang menyebut secara spesifik bahwa ulil amri adalah Abu Bakr dan Umar sebagaimana pendapat dari ‘Ikrimah.

Baca juga: Taat pada Ulil Amri

Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ ۗ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ

Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS. Fathir: 28)

Allah Ta’ala berfirman,

فَسْـَٔلُوْٓا اَهْلَ الذِّكْرِ اِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَۙ

Bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (QS. An-Nahl: 43)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

شِفَاءُ الْعِىِّ السُّؤَالُ

Obat dari kebodohan adalah dengan bertanya.” (HR. Abu Daud, no. 336; Ibnu Majah, no. 572 dan Ahmad, 1:330. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini sahih. Lihat Shahih Al-Jaami’, no. 4363)

Ulama itu pewaris para nabi sebagaimana disebutkan dalam hadits,

وَإِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الأَنْبِيَاءِ وَإِنَّ الأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلاَ دِرْهَمًا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ

Sesungguhnya ulama adalah pewaris para Nabi. Sesungguhnya Nabi tidaklah mewariskan dinar dan tidak pula dirham. Barangsiapa yang mewariskan ilmu, maka sungguh ia telah mendapatkan keberuntungan yang besar.” (HR. Abu Daud, no. 3641. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini sahih).

Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Siapa yang mencintai para ulama, boleh baginya mengikuti pendapatnya selama pendapat tersebut sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Seperti itu disebut muhsin (orang yang baik). Bahkan keadaan ini lebih baik daripada yang lainnya.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 22:249)

Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Yang bisa kita katakan pada orang awam, hendaklah ia taklid (ikut saja pendapat) dari satu orang, tanpa kita tentukan harus ikut Zaid atau ‘Amr. Sedangkan jika kita katakan, “Wajib bagi orang awam untuk taklid pada si A atau si B (dengan menunjuk orang tertentu, lalu dilarang ikuti yang lain)”, seperti itu bukanlah prinsip orang muslim yang sebenarnya.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 22:249)

Hadits 1

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam urusan kami ini (urusan agama) yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak” (HR. Bukhari no. 2697 dan Muslim no. 1718)

Hadits 2

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan berasal dari kami, maka amalan tersebut tertolak” (HR. Muslim no. 1718)

Hadits 3

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam setiap memulai khutbah biasanya beliau mengucapkan,

أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

“Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sejelek-jelek perkara adalah (perkara agama) yang diada-adakan, setiap (perkara agama) yang diada-adakan itu adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah kesesatan (HR. Muslim no. 867)

Dalam riwayat An Nasa’i,

مَنْ يَهْدِ اللَّهُ فَلا مُضِلَّ لَهُ ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلا هَادِيَ لَهُ ، إِنَّ أَصَدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ ، وَأَحْسَنَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا ، وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلالَةٌ ، وَكُلَّ ضَلالَةٍ فِي النَّارِ

“Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah maka tidak ada yang bisa menyesatkannya. Dan yang disesatkan oleh Allah tidak ada yang bisa memberi petunjuk padanya. Sesungguhnya sebenar-benar perkataan adalah Kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sejelek-jelek perkara adalah (perkara agama) yang diada-adakan, setiap (perkara agama) yang diada-adakan itu adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah kesesatan dan setiap kesesatan tempatnya di neraka (HR. An Nasa’i no. 1578, dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan An Nasa’i)

Hadits 4

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِى فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

“Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah, tetap mendengar dan ta’at kepada pemimpin walaupun yang memimpin kalian adalah seorang budak dari Habasyah. Karena barangsiapa di antara kalian yang hidup sepeninggalku nanti, dia akan melihat perselisihan yang banyak. Maka wajib bagi kalian untuk berpegang pada sunnah-ku dan sunnah Khulafa’ur Rasyidin yang mereka itu telah diberi petunjuk. Berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah ia dengan gigi geraham kalian. Jauhilah dengan perkara (agama) yang diada-adakan karena setiap perkara (agama) yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah kesesatan (HR. At Tirmidzi no. 2676. ia berkata: “hadits ini hasan shahih”)

Hadits 5

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَ اللهَ حَجَبَ التَّوْبَةَ عَنْ كُلِّ صَاحِبِ بِدْعَةٍ حَتَّى يَدَعْ بِدْعَتَهُ

“Sungguh Allah menghalangi taubat dari setiap pelaku bid’ah sampai ia meninggalkan bid’ahnya”  (HR. Ath Thabrani dalam Al Ausath no.4334. Dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih At Targhib wa At Tarhib no. 54)

Hadits 6

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

أَنَا فَرَطُكُمْ عَلَى الْحَوْضِ ، لَيُرْفَعَنَّ إِلَىَّ رِجَالٌ مِنْكُمْ حَتَّى إِذَا أَهْوَيْتُ لأُنَاوِلَهُمُ اخْتُلِجُوا دُونِى فَأَقُولُ أَىْ رَبِّ أَصْحَابِى . يَقُولُ لاَ تَدْرِى مَا أَحْدَثُوا بَعْدَكَ

“Aku akan mendahului kalian di al haudh (telaga). Lalu ditampakkan di hadapanku beberapa orang di antara kalian. Ketika aku akan mengambilkan (minuman) untuk mereka dari al haudh, mereka dijauhkan dariku. Aku lantas berkata, ‘Wahai Rabbku, ini adalah umatku’. Allah berfirman, ‘Engkau tidak tahu (bid’ah) yang mereka ada-adakan sepeninggalmu’ “ (HR. Bukhari no. 6576, 7049).

Dalam riwayat lain dikatakan,

إِنَّهُمْ مِنِّى . فَيُقَالُ إِنَّكَ لاَ تَدْرِى مَا بَدَّلُوا بَعْدَكَ فَأَقُولُ سُحْقًا سُحْقًا لِمَنْ بَدَّلَ بَعْدِى

“(Wahai Rabb), sungguh mereka bagian dari pengikutku. Lalu Allah berfirman, ‘Sungguh engkau tidak tahu bahwa sepeninggalmu mereka telah mengganti ajaranmu”. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Celaka, celaka bagi orang yang telah mengganti ajaranku sesudahku”(HR. Bukhari no. 7050).

Al’Aini ketika menjelaskan hadits ini beliau berkata: “Hadits-hadits yang menjelaskan orang-orang yang demikian yaitu yang dikenal oleh Nabi sebagai umatnya namun ada penghalang antara mereka dan Nabi, dikarenakan yang mereka ada-adakan setelah Nabi wafat. Ini menunjukkan setiap orang mengada-adakan suatu perkara dalam agama yang tidak diridhai Allah itu tidak termasuk jama’ah kaum muslimin.

Seluruh ahlul bid’ah itu adalah orang-orang yang gemar mengganti (ajaran agama) dan mengada-ada, juga orang-orang zhalim dan ahli maksiat, mereka bertentangan dengan al haq.

Orang-orang yang melakukan itu semua yaitu mengganti (ajaran agama) dan mengada-ada apa yang tidak ada ajarannya dalam Islam termasuk dalam bahasan hadits ini” (Umdatul Qari, 6/10)

Hadits 7

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

انَّهُ سَيَلِي أَمْرَكُمْ مِنْ بَعْدِي رِجَالٌ يُطْفِئُونَ السُّنَّةَ ، وَيُحْدِثُونَ بِدْعَةً ، وَيُؤَخِّرُونَ الصَّلَاةَ عَنْ مَوَاقِيتِهَا ” ، قَالَ ابْنُ مَسْعُودٍ : يَا رَسُولَ اللَّهِ ، كَيْفَ بِي إِذَا أَدْرَكْتُهُمْ ؟ قَالَ : ” لَيْسَ يَا ابْنَ أُمِّ عَبْدٍ طَاعَةٌ لِمَنْ عَصَى اللَّهَ ” ، قَالَهَا ثَلَاثَ مَرَّاتٍ

Sungguh diantara perkara yang akan datang pada kalian sepeninggalku nanti, yaitu akan ada orang (pemimpin) yang mematikan sunnah dan membuat bid’ah. Mereka juga mengakhirkan shalat dari waktu sebenarnya’. Ibnu Mas’ud lalu bertanya: ‘apa yang mesti kami perbuat jika kami menemui mereka?’. Nabi bersabda: ‘Wahai anak Adam, tidak ada ketaatan pada orang yang bermaksiat pada Allah’”. Beliau mengatakannya 3 kali. (HR. Ahmad no.3659, Ibnu Majah no.2860. Dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ahadits Shahihah, 2864)

Hadits 8

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّهُ مَنْ أَحْيَا سُنَّةً مِنْ سُنَّتِي قَدْ أُمِيتَتْ بَعْدِي فَإِنَّ لَهُ مِنَ الْأَجْرِ مِثْلَ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا ، وَمَنِ ابْتَدَعَ بِدْعَةَ ضَلَالَةٍ لَا يَرْضَاهَا اللَّهَ وَرَسُولَهُ كَانَ عَلَيْهِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ عَمِلَ بِهَا لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أَوْزَارِ النَّاسِ شَيْئًا

“Barangsiapa yang sepeninggalku menghidupkan sebuah sunnah yang aku ajarkan, maka ia akan mendapatkan pahala semisal dengan pahala orang-orang yang melakukannya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Barangsiapa yang membuat sebuah bid’ah dhalalah yang tidak diridhai oleh Allah dan Rasul-Nya, maka ia akan mendapatkan dosa semisal dengan dosa orang-orang yang melakukannya tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun” (HR. Tirmidzi no.2677, ia berkata: “Hadits ini hasan”)

Hadits 9

Hadits dari Hudzaifah Ibnul Yaman, ia berkata:

يا رسولَ اللهِ ! إنا كنا بشرٌ . فجاء اللهُ بخيرٍ . فنحن فيه . فهل من وراءِ هذا الخيرِ شرٌّ ؟ قال ( نعم ) قلتُ : هل من وراءِ ذلك الشرِّ خيرٌ ؟ قال ( نعم ) قلتُ : فهل من وراءِ ذلك الخيرِ شرٌّ ؟ قال ( نعم ) قلتُ : كيف ؟ قال ( يكون بعدي أئمةٌ لا يهتدون بهدايَ ، ولا يستنُّون بسُنَّتي . وسيقوم فيهم رجالٌ قلوبُهم قلوبُ الشياطينِ في جُثمانِ إنسٍ ) قال قلتُ : كيف أصنعُ ؟ يا رسولَ اللهِ ! إن أدركت ُذلك ؟ قال ( تسمعُ وتطيع للأميرِ . وإن ضَرَب ظهرَك . وأخذ مالَك . فاسمعْ وأطعْ )

Wahai Rasulullah, dulu kami orang biasa. Lalu Allah mendatangkan kami kebaikan (berupa Islam), dan kami sekarang berada dalam keislaman. Apakah setelah semua ini akan datang kejelekan? Nabi bersabda: ‘Ya’. Apakah setelah itu akan datang kebaikan? Nabi bersabda: ‘Ya’. Apakah setelah itu akan datang kejelekan? Nabi bersabda: ‘Ya’. Aku bertanya: ‘Apa itu?’. Nabi bersabda: ‘akan datang para pemimpin yang tidak berpegang pada petunjukku dan tidak berpegang pada sunnahku. Akan hidup diantara mereka orang-orang yang hatinya adalah hati setan namun berjasad manusia’. Aku bertanya: ‘Apa yang mesti kami perbuat wahai Rasulullah jika mendapati mereka?’. Nabi bersabda: ‘Tetaplah mendengar dan taat kepada penguasa, walau mereka memukul punggungmu atau mengambil hartamu, tetaplah mendengar dan taat’” (HR. Muslim no.1847)

Tidak berpegang pada sunnah Nabi dalam beragama artinya ia berpegang pada sunnah-sunnah yang berasal dari selain Allah dan Rasul-Nya, yang merupakan kebid’ahan.

Hadits 10

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَوَّلُ مَنْ يُغَيِّرُ سُنَّتِي رَجُلٌ مِنْ بَنِي أُمَيَّةَ

Orang yang akan pertama kali mengubah-ubah sunnahku berasal dari Bani Umayyah” (HR. Ibnu Abi Ashim dalam Al Awa’il, no.61, dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah 1749)

Dalam hadits ini Nabi mengabarkan bahwa akan ada orang yang mengubah-ubah sunnah beliau. Sunnah Nabi yang diubah-ubah ini adalah kebid’ahan.

Hadits 11

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

جَاءَ ثَلَاثَةُ رَهْطٍ إِلَى بُيُوتِ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْأَلُونَ عَنْ عِبَادَةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَلَمَّا أُخْبِرُوا كَأَنَّهُمْ تَقَالُّوهَا ، فَقَالُوا : وَأَيْنَ نَحْنُ مِنَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ ؟ قَالَ أَحَدُهُمْ : أَمَّا أَنَا ، فَإِنِّي أُصَلِّي اللَّيْلَ أَبَدًا ، وَقَالَ آخَرُ : أَنَا أَصُومُ الدَّهْرَ وَلَا أُفْطِرُ ، وَقَالَ آخَرُ : أَنَا أَعْتَزِلُ النِّسَاءَ فَلَا أَتَزَوَّجُ أَبَدًا ، فَجَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَيْهِمْ ، فَقَالَ : ” أَنْتُمُ الَّذِينَ قُلْتُمْ كَذَا وَكَذَا ، أَمَا وَاللَّهِ إِنِّي لَأَخْشَاكُمْ لِلَّهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ لَكِنِّي أَصُومُ وَأُفْطِرُ ، وَأُصَلِّي وَأَرْقُدُ ، وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ ، فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي

Ada tiga orang mendatangi rumah istri-istri Nabi shallallahu’alaihi wasallam dan bertanya tentang ibadah Nabi shallallahu’alaihi wasallam. ٍSetelah diberitakan kepada mereka, sepertinya mereka merasa hal itu masih sedikit bagi mereka. Mereka berkata, “Ibadah kita tak ada apa-apanya dibanding Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam, bukankah beliau sudah diampuni dosa-dosanya yang telah lalu dan juga yang akan datang?” Salah seorang dari mereka berkata, “Sungguh, aku akan shalat malam selama-lamanya” (tanpa tidur). Kemudian yang lain berkata, “Kalau aku, sungguh aku akan berpuasa Dahr (setahun penuh) dan aku tidak akan berbuka”. Dan yang lain lagi berkata, “Aku akan menjauhi wanita dan tidak akan menikah selama-lamanya”. Kemudian datanglah Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam kepada mereka seraya bertanya: “Kalian berkata begini dan begitu. Ada pun aku, demi Allah, adalah orang yang paling takut kepada Allah di antara kalian, dan juga paling bertakwa. Aku berpuasa dan juga berbuka, aku shalat dan juga tidur serta menikahi wanita. Barangsiapa yang benci sunnahku, maka bukanlah dari golonganku” (HR. Bukhari no.5063)

Dalam hadits di atas, ketiga orang tersebut berniat melakukan kebid’ahan, karena ketiganya tidak pernah diajarkan oleh Nabi. Yaitu puasa setahun penuh, shalat semalam suntuk setiap hari, kedua hal ini adalah bentuk ibadah yang bid’ah. Dan berkeyakinan bahwa dengan tidak menikah selamanya itu bisa mendatangkan pahala dan keutamaan adalah keyakinan yang bid’ah. Oleh karena itu Nabi bersabda “Barangsiapa yang benci sunnahku, maka bukanlah dari golonganku“.

Dan masih banyak lagi hadits-hadits yang membicarakan dan mencela bid’ah, namun apa yang kami nukilkan di atas sudah cukup mewakili betapa bahaya dan betapa pentingnya kita untuk waspada dari bid’ah.

KAJIAN TENTANG HADITS-HADITS HUKUM MENDENGARKAN MUSIK – TUNTUNAN PRAKTIS FIQIH WANITA

Setelah pada kajian sebelumnya disebutkan tentang ayat-ayat Al-Qur’an yang mengharamkan nyanyian, sekarang kita menyebutkan hadits-hadits yang shahih yang mengharamkan nyanyian.

Hadits Pertama, hadits riwayat Bukhari. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَـيَـكُوْنَـنَّ مِنْ أُمَّـتِـيْ أَقْوَامٌ يَـسْتَحِلُّوْنَ الْـحِرَ ، وَالْـحَرِيْرَ ، وَالْـخَمْرَ ، وَالْـمَعَازِفَ.

Sungguh, benar-benar akan ada di kalangan ummatku sekelompok orang yang menghalalkan perzinahan, sutera, khamr (minuman keras), dan alat-alat musik.” (HR. Bukhari no. 5590)

Sisi pendalilan dari hadits ini tentang haramnya musik adalah bahwa alat-alat musik digandengkan dengan kata perzinahan, sutera bagi laki-laki dan minuman keras. Hal ini menunjukkan bahwa musik bisa menghantarkan seseorang kepada dosa besar. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan يَـسْتَحِلُّوْنَ “akan ada yang menghalalkan” berarti pada asalnya diharamkan.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu ta’ala berkata mengenai hadits tentang musik bahwa alat-alat yang melalaikan telah sah haditsnya didalam riwayat Bukhari secara mu’allaq (yaitu hanya sampai kepada sahabat Nabi radhiyallahu ‘anhu). Tetapi dengan bahasa penekanan. Yaitu bahasa yang memberikan isyarat bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam mengharamkan khamr, sutra bagi laki-laki, perzinahan dan juga alat-alat musik. Dan hadist tersebut shahih.

Syaikh Bin Baz mengomentari hadits di atas bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa akan datang diakhir zaman suatu kaum yang menghalalkan sebagaimana mereka menghalalkan minuman keras, zina dan sutra bagi laki-laki. Dan ini adalah tanda dari kenabian Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sesungguhnya hal itu telah terjadi seluruhnya. Yaitu orang-orang yang meminum minuman keras, orang yang bermudah-mudah untuk berzina, laki-laki yang bermudah-mudah mengenakan sutra. Barangsiapa yang mengira bahwa Allah memubahkan nyanyian dan alat-alat musik, maka sungguh dia telah berdusta. Dan dia telah mendatangkan kemungkaran yang besar.

Ada perkataan menarik dari Imam Al-Albani rahimahullah didalam kitab beliau Hukmul Ma’azif (Hukum Alat-Alat Musik). Beliau mengatakan, “Kalau seandainya belum ada riwayat tentang alat-alat musik, satu ayat atau satu haditspun kecuali hadits di atas, maka itu sungguh sangat sudah mencukupi didalam pengharaman alat-alat musik. Terkhusus lagi didalam jenis nyanyian yang dikelan oleh manusia dizaman sekarang. Maka nyanyian-nyanyian ini adalah perkataan-perkataan yang keji dan kotor. Dan yang menegakkan nyanyian-nyanyian ini adalah alat-alat musik yang membuat nyaman nyanyian-nyanyian tersebut.”

Hadits Kedua, hadits riwayat Imam Tirmidzi dari Abu Laila dari Atha’ dari Jabir. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إني لم أنه عن البكاء ولكني نهيت عن صوتين أحمقين فاجرين : صوت عند نغمة لهو ولعب ومزامير الشيطان وصوت عند مصيبة لطم وجوه وشق جيوب ورنة شيطان

Aku tidak melarang kalian menangis. Namun, yang aku larang adalah dua suara yang bodoh dan maksiat; suara di saat nyanyian hiburan/kesenangan, permainan dan lagu-lagu setan, serta suara ketika terjadi musibah, menampar wajah, merobek baju, dan jeritan setan.” (HR. Tirmidzi)

1. Hadis tentang Menuntut Ilmu

Ada dua pilihan hadis pendek tentang menuntut ilmu, yaitu:

أُطْلُبُوا الْعِلْمَ مِنَ الْمَهْدِ اِلىَ اللَّهْدِ

Utlubul ilma minal mahdi ilal lahdi.

Artinya: “Tuntutlah ilmu dari buaian sampai ke liang lahat,” (Ibnu Abdil Barr).

dan,

Tolabul ilmi faridhotun ala kulli muslimin wa Muslimah.

Artinya: “Menuntut ilmu wajib bagi tiap muslim dan Muslimah,” (HR. Ibnu Majah).

2. Hadis Pendek tentang Keutamaan Mempelajari Al-Qur’an

خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ اْلقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ

Khoirukum man ta’allamal qur’aana wa allamah.

Artinya: “Sebaik-baik kalian adalah orang yang mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya,” (HR. Bukhari no. 5027).

3. Hadis Pendek tentang Niat

إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ

Innamal a’malu binniyat.

Artinya: “Sesungguhnya amal itu tergantung niatnya,” (HR. Bukhari, no. 1 dan Muslim, no. 1907).

4. Hadis Pendek tentang Kasih Sayang

مَنْ لَا يَرْحَمْ لَا يُرْحَمْ

Man laa yarham laa yurham.

Artinya: “Barang siapa tidak menyayangi, tidak akan disayangi,” (HR Muslim).

5. Hadis Pendek tentang Kebersihan

الطُّهُورُ شَطْرُ الإِيْمَانِ

Atthohuru syatrul iman.

Artinya: “Kebersihan itu sebagian dari iman,” (HR Muslim).

6. Hadis Pendek tentang Berbuat Baik

كُلُّ مَعْرُوْفٍ صَدَقَةٌ

“Kullu ma’rufin sodaqoh.”

Artinya: “Setiap kebaikan adalah sedekah,” (HR Al Bukhari dan Muslim).

7. Hadis Pendek tentang Salat

الصلاة عماد الدين

Assholatu imaduddin.

Artinya: “Sholat adalah tiang agama,” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah).

8. Hadis tentang Nasihat

لدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ

Addinu nashihah.

Artinya: “Agama adalah nasihat,” (HR. Muslim).

9. Hadis tentang Keutamaan Membaca Al-Qur’an

الماهر بالقران مع السفرة الكرام البررة

Al mahiru bil qur’ani ma’as safarotil qiromil baroroh.

Artinya: “Orang yang pintar membaca Al-Qur’an akan tinggal bersama Jibril,” (HR. Bukhari Muslim).

10. Hadis tentang Surga di Bawah Telapak Kaki Ibu

أَلْجَنَّةُ تَحْتَ أَقْدَامِ الْأُمَّهَاتِ

Al jannatu tahta aqdamil ummahat.

Artinya: “Surga itu ada dibawah telapak kaki Ibu,” (diriwayatkan oleh An-Nasa’i, Ibnu Majah, Ahmad, dan disahihkan oleh Al-Hakim).

11. Hadis tentang Senyum

تَبَسُّمُكَ فِى وَجْهِ أَخِيْكَ صَدَقَةٌ

Tabassumuka fi wajhi akhika sodaqoh.

Artinya: “Senyum engkau dihadapan saudaramu adalah sedekah,” (HR at-Tirmidzi (no. 1956), Ibnu Hibban (no. 474 dan 529) dll, dinyatakan shahih oleh Ibnu Hibban, dan dinyatakan hasan oleh at-Tirmidzi dan syaikh al-Albani dalam “ash-Shahihah” (no. 572).

12. Hadis Pendek tentang Meninggalkan Hal yang Tidak Berguna

مِنْ حُسْنِ الْإِسلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيْهِ

Min husnil islamil mar’i tarquhu maa laa ya’ nih.

Artinya: “Sebagian dari kebaikan Islam, seseorang meninggalkan sesuatu yang tidak berguna,” (HR. Tirmidzi).

13. Hadis Pendek tentang Mencintai Sesama Muslim

لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ

Laa yu’minu ahadukum hatta yuhibba liakhihi maa yuhibba linafsih.

Artinya: “Tidak sempurna iman seseorang, sehingga dia mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri,” (HR. Bukhari, no. 13 dan Muslim, no. 45).

14. Hadis tentang Silaturahmi

إِتَّقُوْااللهَ وَصِلُوْا أَرْحَامَكُمْ

Ittaqulla hawashilu arhamakaum.

Artinya: “Bertakwalah kepada Allah dan bersilaturrahimlah,” (Hadis Hasan, Riwayat Ibnu ‘Asakir. Lihat Shahiihul jaami’ no.108).

15. Hadis tentang Larangan Memutuskan Tali Silaturahmi

لايدخل الجنّة قاطع رحم

Laa yadkhulul jannatu qoo tiurrahim.

Artinya: “Tidak masuk surga pemutus silaturrahim,” (HR. Imam Bukhari).

16. Hadis tentang Anjuran Berkata yang Baik

من كان يؤمن بالله واليوم الاخر فليقل خيراً أو ليصمت

Man kaa na yu’minu billahi wal yaumil akhiri falyaqul khoiron auliyasmut.

Artinya: “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka berkatalah yang baik atau diam,” (HR Bukhari, Muslim dan Ahmad).

17. Hadis tentang Memuliakan Tamu

من كان ىءمن بالله واليوم الاخر فليكرم ضيفه

Man kaa na yu’minu billahi wal yaumil akhiri falyukrim dhoifah.

Artinya: “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhirat maka hendaklah memuliakan tamu,” (HR. Bukhari).

18. Hadis tentang Sesama Muslim Bersaudara

الْمُسْلِمُ أَخُوا الْمُسْلِمِ

Al muslimu akhul muslim.

Artinya: “Muslim itu saudara bagi muslim lainnya,” (Hadis Sahih Riwayat al-Bukhari: 2262).

19. Hadis tentang Sabar dan Pemaaf

افضل الايمان الصبر والسماحة

Afdlotul iimaanisshobru wassamaahaah.

Artinya: “Iman yang utama adalah sabar dan pemaaf,” (HR Bukhari dan Ad Dailami).

20. Hadis Pendek tentang Dosa Lisan

أَكْثَرُ خَطَايَا ابْنِ آدَمَ فىِ لِسَانِهِ

Aktsaru khotoyabni aadama fii lisanih.

Artinya: “Kebanyakan dosa anak-anak Adam itu ada pada lisannya,” (HR ath-Thabraniy, Abu asy-Syaikh dan Ibnu Asakir. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan, lihat Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 1201, Silsilah al-Ahadis ash-Shahihah: 534 dan al-Adab: 396).

21. Hadis tentang Orang yang Mulia

اكرم الناس اتقاهم

Akromunnaasi atqohum.

Artinya: “Orang yang paling mulia di antara kamu adalah yang paling bertakwa,” (Tafsir Ath Thobari, 21:386).

22. Hadis tentang Hartamu Milik Ayahmu

أنتَ ومالُكَ لابيك

Anta wa maaluka li abiika.

Artinya: “Kamu dan hartamu milik ayahmu,” (HR. Ibnu Majah, no. 2292, dinilai sahih oleh Al-Albani).

23. Hadis tentang Menunjukkan Jalan kebaikan

الدال على الخير كفاعله

Addaalu ‘alal khoiri kafaa ‘ilih.

Artinya: “Orang yang menunjukkan jalan kebaikan, mendapat pahala seperti yang melakukannya,” (H.R. Muslim no. 1893).

24. Hadis tentang Kedudukan Agama Islam

الإسلام يعلو ولا يعلى

Al islaamu ya’lu wa la yu’la.

Artinya: “Islam itu tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi darinya,” (HR. Ad-Daruquthni (III/ 181 no. 3564), tahqiq Syaikh ‘Adil Ahmad ‘Abdul Maujud dan Syaikh ‘Ali Mu’awwadh, Darul Ma’rifah, th. 1422 H) dan al-Baihaqy (VI/205) dari Shahabat ‘Aidh bin ‘Amr al-Muzany Radhiyallahu anhu. Lihat Irwaa-ul Ghalil (V/106 no. 1268) oleh Syaikh al-Albany rahimahullah).

25. Hadis Pendek tentang Saling Memberi Hadiah

تَهَادُوْا تَحَابُّوْا

Tahaadu tahabbu.

Artinya: “Saling memberi hadiahlah maka kalian akan saling mencintai,” (HR Al-Bukhari).

26. Hadis tentang Dunia Bagi Mu’min dan Kafir

الدنيا سجن لمؤمن وجنة لكافر

Ad dunya sijnul mukmin wa jannatul kafir.

Artinya: “Dunia adalah penjara bagi mu’min dan surga bagi orang kafir,” (HR. Muslim).

27. Hadis tentang Berterima Kasih Kepada Manusia

مَنْ لَا يَشْكُرُ النَّاسَ لَا يَشْكُرُ اللَّهَ

Manla yasykurinnasa laa yasykurillah.

Artinya: “Barang siapa yang tidak bersyukur kepada manusia, berarti tidak bersyukur kepada Allah,” (H.R Ahmad dan Baihaqi).

28. Hadis tentang Menjaga Kehormatan Mukmin

المؤمن مرآة المؤمن

Al mu’minu mir’a tul mu’min.

Artinya “Mu’min itu cermin bagi mu’min lainnya,” (HR. Abu Dawud, dihasankan oleh Al-Albani).

29. Hadis tentang Masjid adalah Rumah Orang Beriman

لمسجد بيت كل مءمن

Al masjidu baitu kulli mu’min.

Artinya: “Masjid adalah rumah tiap mu’min,” (Hadis Hasan, Riwayat Abu Nu’aim dalam kitab al-Hilyah, Lihat Shahiihul jaami’ no. 6702).

30. Hadis Pendek tentang Malu

ان خلق الإسلام الحياء

An khulaqol islaama haya.

Artinya: “Sesungguhnya sebagian akhlak Islam adalah rasa malu,” (Hadis dari Anas Bin Malik radiyallahu’anhu).

31. Hadis tentang Malu Sebagian dari Iman

اَلْحَيَاءُ مِنَ الْإِيْمَانِ

Al haya’u minal iiman.

Artinya: “Malu adalah sebagian dari iman,” (HR. Bukhari dan Muslim).

32. Hadis tentang Iman dan Akhlak

اكمل المؤمنين ايمانا احسنهم خلقا

Akmalul mu’miniina iimaanan ahsanuhum khuluqoo.

Artinya: “Orang yang sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya,” (HR. Muslim).

33. Hadis tentang Pencela

لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةُ نَمَّامٌ

Laa yadkhulul jannatu nammam.

Artinya: “Tidak masuk surga orang yang suka mencela,” (HR Muslim).

34. Hadis tentang Allah SWT Suka Hal yang Indah

إِنَّ اللَّهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ

Innallaha jamiilun yuhibbuljamaal.

Artinya: “Sesungguhnya Allah itu indah dan mencintai keindahan,” (HSR Muslim (no. 91).

35. Hadis tentang Tobat

الندم توبة

An nadamu taubah.

Artinya: “Menyesal itu adalah tobat,” (HR Abu Dawud & Hakim).

36. Hadis tentang Duduk Dekat Rasulullah di Surga

اقربكم منى مجلسا يوم القيامة احسنكم خلقا

Aqrobukum minni majlisan yaumal qiyamati ahsanukum khuluqoo.

Artinya: “Orang yang paling dekat denganku di surga adalah yang paling baik akhlaknya,” (HR. Tirmidzi no. 1941. Dinilai hasan oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jaami’ no. 2201).

37. Hadis tentang Larangan Menyakiti Mukmin

سِبَابُ الْمُسْلِمِ فُسُوقٌ وَقِتَالُهُ كُفْرٌ

Sibaabul muslimi fusuuqun wa qitaaluhu kufr.

Artinya: “Mencaci seorang muslim adalah kefasikan dan membunuhnya adalah kekufuran,” (diriwayatkan oleh Imam Bukhari (6044) dan Imam Muslim (64) dari jalur Zubaid bin al-Hāriṡ al-Yāmi al-Kūfi, dari Abu al-Wa`il al-Kūfi, dari Abdullah bin Mas’ud, dari Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wasallam).

38. Hadis tentang Tobat Membersihkan Dosa

التثاؤب من الذنب كمن لا ذنب له

Attaaibu minadz dzanbi kaman laa dzanba lahu.

Artinya: “Siapa bertaubat dari dosanya, seperti orang tak berdosa,” (Hadis diriwayatkan oleh Ibnu Majah, dan Thabrani dan keduanya dari riwayat Abi Ubaidah bin Abdullah bin Mas’ud dari bapaknya. Dan ia tidak mendengar darinya. Dan para perawi Thabrani adalah sahih).

39. Hadis tentang Kalimat Thoyyibah

الكلمة الطيبة صدقة

Al kalimatut thoyyibatu sodaqoh.

Artinya: “Berkata-kata baik adalah sedekah,” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

40. Hadis tentang Jangan Suka Marah

لا تغضب ولك الجنة

Laa taghdob walakal Jannah.

Artinya: “Janganlah kamu suka marah, maka bagimu surga,” (HR Ath-Thabrani).

41. Hadis tentang Rasa Ragu

دَعْ مَا يَرِيْبُكَ إِلَى مَا لَا يَرِيْبُكَ

Da’maa yariibuka ila maa yariibuka.

Artinya: “Tinggalkan apa yang engkau ragukan dan kerjakan apa yang engkau tidak ragu,” (HR. Tirmidzi dan An Nasa’i, dan Tirmidzi mengatakan: hadis hasan shahih).

42. Hadis tentang Memilih Teman

الرَّجُلُ عَلَى دِيْنِ خَلِيلِهِ، فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ

Arrajulu ‘ala diini khalilii fal yandzhur ahadukum man yukhalil.

Artinya: “Seseorang itu tergantung pada agama temannya. Oleh karena itu, salah satu di antara kalian hendaknya memperhatikan siapa yang dia jadikan teman,” (Hadis hasan, diriwayatkan oleh Tirmiżi).

43. Hadis tentang Berharap

اِنَّ لَكَ مَا احْتَسَبْتَ

Innalaka mah-tasabta!

Artinya: “Sungguh bagimu apa yang engkau harapkan!” (Shahih: Muslim 663).

44. Hadis tentang Ilmu

قيِّدُوا العِلمَ بالكِتابِ

Qayyidul ‘ilmaa bil kitabi.

Artinya: “Jagalah ilmu dengan menulis,” (Shahih Al-Jami’, no.4434. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadis ini sahih).

45. Hadis tentang Silaturahmi dan Rezeki

مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ وَأَنْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَليَصِلْ رَحِمَهُ

Man ahabba ayyubsatha lahu firrizqihi, wa anyunsa’ a lahu fii atsrihi fal yashil rahimahu.

Artinya: “Barang siapa yang ingin diluaskan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaklah ia menyambung silaturahim,” (Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Bukhori).

46. Hadis tentang Tuntutan Belajar dan Mengajar

تَعَلَّمُوْاوَعَلِّمُوْاوَتَوَاضَعُوْالِمُعَلِّمِيْكُمْ وَلَيَلَوْا لِمُعَلِّمِيْكُمْ ( رَواهُ الطَّبْرَانِيْ)

Ta’allamuu wa’allimuu wa tawaadhu’u li mu’allimiikum wa layalaw li mu’allimiikum.

Artinya: “Belajarlah kamu semua, dan mengajarlah kamu semua, dan hormatilah guru-gurumu, serta berlaku baiklah terhadap orang yang mengajarkanmu.” (HR Tabrani)

47. Hadis tentang Mengingat Kematian

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :أَكْثِرُوا ذِكْرَ هَاذِمِ اللَّذَّاتِ يَعْنِي المَوْتَ

An Abi Hurairah radhiallahu ‘anhu qala: Qala rasulullah sallallahu ‘alayhi wa sallam: ‘Akthiru dzikra haadzimi al-ladzaat, ya’ni al-maut.’

Artinya: “Dari Abu Hurairah RA berkata bahwa Rasulullah bersabda, ‘Perbanyaklah kalian mengingat kepada sesuatu yang melenyapkan semua kelezatan, yaitu maut.'” (HR. At-Tirmidzi)

48. Hadis tentang Anak Yatim

عَنْ سَهْلٍ بْنِ سَعْدٍ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ” أَنَا وَكَافِلُ الْيَتِيمِ فِي الْجَنَّةِ هَكَذَا ، وَأَشَارَ بِالسَّبَّابَةِ وَالْوُسْطَى وَفَرَّجَ بَيْنَهُمَا شَيْئًا

Artinya: “Rasulullah SAW bersabda: “Aku dan orang yang memelihara anak yatim itu akan masuk surga seperti ini,”.

Nabi memberi isyarat dengan jari telunjuk dan jari tengah dan merenggang keduanya.” (HR. Bukhari). 

49. Hadis Pendek tentang Dakwah

بَلِّغُوا عَنِّي وَلَوْ آيَةً

Artinya: Rasulullah SAW bersabda, “Sampaikanlah dariku walaupun hanya satu ayat.” (HR. Bukhari)

50. Hadis tentang Keutamaan Mengucap Salam

وعن أَبي أُمامة صُدَيِّ بن عجلان الباهِلِي قال: قال رسولُ الله إنَّ أَوْلَى النَّاس باللهِ مَنْ بَدَأهم بالسَّلام

Artinya: “Sesungguhnya orang yang paling utama di sisi Allah adalah mereka yang memulai salam.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi).

35 Hadits Pendek untuk Diamalkan Sehari-hari

1. Niat yang Ikhlas

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ

“Segala amal perbuatan tergantung pada niatnya.” (HR. Bukhari)

2. Senyum adalah Sedekah

تَبَسُّمُكَ فِي وَجْهِ أَخِيكَ لَكَ صَدَقَةٌ

“Senyum kepada saudaramu adalah sedekah.” (HR. Tirmidzi)

3. Mencintai Sesama Muslim

لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ

“Tidak beriman seseorang hingga ia mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri.” (HR. Bukhari dan Muslim)

4. Silaturahmi

مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ وَيُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ

“Barang siapa ingin dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, hendaklah ia menyambung tali silaturahmi.” (HR. Bukhari dan Muslim)

5. Berkata Baik atau Diam

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ 

Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim)

6. Memuliakan Tamu

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ 

Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia memuliakan tamunya.” (HR. Bukhari)

7. Menjaga Lisan

أَكْثَرُ خَطَايَا ابْنِ آدَمَ فِي لِسَانِهِ 

“Kebanyakan dosa anak Adam ada pada lisannya.” (HR. Ath-Thabraniy)

8. Sabar dan Pemaaf

أَفْضَلُ الإِيمَانِ الصَّبْرُ وَالسَّمَاحَةُ

“Iman yang utama adalah sabar dan pemaaf.” (HR. Bukhari dan Ad-Dailami)

9. Malu Sebagian dari Iman

إِنَّ الْحَيَاءَ مِنَ الإِيمَانِ 

“Malu itu sebagian dari iman.” (HR. Bukhari dan Muslim)

10. Berterima Kasih

مَنْ لَا يَشْكُرُ النَّاسَ لَا يَشْكُرُ اللَّهَ

“Barang siapa tidak berterima kasih kepada manusia, berarti tidak bersyukur kepada Allah.” (HR. Ahmad)

11. Kebersihan adalah Sebagian dari Iman

الطُّهُورُ شَطْرُ الإِيمَانِ

“Kebersihan adalah sebagian dari iman.” (HR. Muslim)

12. Pentingnya Menutup Aib Orang Lain

مَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ يَوْمَ القِيَامَةِ 

“Barang siapa menutup aib seorang Muslim, maka Allah akan menutup aibnya di hari kiamat.” (HR. Bukhari dan Muslim)

13. Allah Menolong Hamba-Nya

وَاللَّهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ 

“Allah menolong seorang hamba selama hamba itu menolong saudaranya.”(HR. Muslim)

14. Jujur dan Amanah

التَّاجِرُ الصَّدُوقُ الأَمِينُ مَعَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ 

“Pedagang yang jujur dan terpercaya akan bersama para nabi, orang-orang yang benar, dan para syuhada.” (HR. Tirmidzi)

15. Menghindari Ghibah

لَا تَبَاغَضُوا وَلَا تَحَاسَدُوا وَلَا تَدَابَرُوا 

“Janganlah kalian saling membenci, jangan saling mendengki, dan jangan saling membelakangi.” (HR. Muslim)

16. Jangan Marah

لَا تَغْضَبْ 

“Janganlah engkau marah.” (HR. Bukhari)

17. Kesederhanaan dalam Hidup

الاقْتِصَادُ فِي النَّفَقَةِ نِصْفُ الْمَعِيشَةِ 

“Kesederhanaan adalah bagian dari iman.” (HR. Muslim)

18. Doa untuk Kebaikan

الدُّعَاءُ سِلَاحُ المُؤْمِنِ 

“Doa adalah senjata orang beriman.” (HR. Hakim)

19. Makanan Halal

إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لَا يَقْبَلُ إِلَّا طَيِّبًا 

“Sesungguhnya Allah itu baik dan hanya menerima yang baik.” (HR. Muslim)

20. Taat kepada Orang Tua

رِضَا اللَّهِ فِي رِضَا الْوَالِدِ وَسَخَطُ اللَّهِ فِي سَخَطِ الْوَالِدِ

“Ridha Allah ada pada ridha orang tua, dan murka Allah ada pada murka orang tua.” (HR. Tirmidzi)

21. Menghormati Tetangga

لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ لَا يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ 

“Tidak akan masuk surga seseorang yang tetangganya tidak aman dari kejahatannya.” (HR. Muslim)

22. Cinta kepada Anak Yatim

أَنَا وَكَافِلُ الْيَتِيمِ فِي الْجَنَّةِ هَكَذَا 

“Aku dan orang yang memelihara anak yatim di surga seperti ini.” (HR. Bukhari)

23. Menjaga Waktu

نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ: الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ 

“Dua nikmat yang sering dilalaikan manusia: kesehatan dan waktu luang.” (HR. Bukhari)

24. Shalat Sebagai Tiang Agama

الصَّلَاةُ عِمَادُ الدِّينِ 

“Shalat adalah tiang agama, barang siapa menegakkannya berarti ia menegakkan agama.” (HR. Bukhari)

25. Zakat Menyucikan Harta

الزَّكَاةُ تُطَهِّرُ الْمَالَ 

“Zakat adalah pembersih bagi hartamu.” (HR. Bukhari)

26. Memulai dengan Salam

أَفْشُوا السَّلَامَ بَيْنَكُمْ 

“Sebarkanlah salam di antara kalian.” (HR. Muslim)

27. Memelihara Shalat Berjamaah

صَلَاةُ الْجَمَاعَةِ أَفْضَلُ مِنْ صَلَاةِ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً 

“Shalat berjamaah lebih utama daripada shalat sendirian sebanyak dua puluh tujuh derajat.” (HR. Bukhari dan Muslim)

28. Menghindari Riba

الرِّبَا ثَلَاثَةٌ وَسَبْعُونَ بَابًا، أَخَفُّهَا مِثْلُ أَنْ يَنْكِحَ الرَّجُلُ أُمَّهُ 

“Riba itu terdiri dari tujuh puluh tiga pintu, dan dosa yang paling ringan adalah seperti seseorang yang menzinai ibunya sendiri.” (HR. Ibnu Majah)

29. Memaafkan Kesalahan Orang Lain

لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرَعَةِ، إِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ 

“Orang yang kuat bukanlah yang dapat mengalahkan lawannya, tetapi orang yang kuat adalah yang mampu menahan dirinya saat marah.” (HR. Bukhari dan Muslim)

30. Menahan Pandangan

 

النَّظْرَةُ سَهْمٌ مِنْ سِهَامِ إِبْلِيسَ مَسْمُومٌ 

 

“Pandangan mata itu adalah panah beracun dari panah-panah Iblis.” (HR. Hakim)

31. Sedekah Jariyah

إِذَا مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثٍ: صَدَقَةٌ جَارِيَةٌ، أَوْ عِلْمٌ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٌ صَالِحٌ يَدْعُو لَهُ 

“Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali dari tiga hal: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak yang saleh yang mendoakannya.” (HR. Muslim)

32. Puasa sebagai Perisai

الصِّيَامُ جُنَّةٌ 

“Puasa itu perisai.” (HR. Bukhari dan Muslim)

33. Jangan Boros

إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ 

“Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang boros.” (HR. An-Nisa)

34. Adil dalam Segala Hal

ثَلَاثَةٌ لَا يُكَلِّمُهُمُ اللَّهُ يَوْمَ القِيَامَةِ وَلَا يُزَكِّيهِمْ وَلَا يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ: مَلِكٌ كَذَّابٌ، وَعَائِلٌ مُسْتَكْبِرٌ، وَشَيْخٌ زَانٍ 

“Tiga golongan yang Allah tidak akan ajak bicara pada hari kiamat: pemimpin yang zalim, orang tua yang berzina, dan orang miskin yang sombong.” (HR. Muslim)

35. Memperlakukan Binatang dengan Baik

مَنْ قَتَلَ عُصْفُورًا عَبَثًا عَذَّبَهُ اللَّهُ يَوْمَ القِيَامَةِ 

“Barang siapa menyiksa binatang hingga mati, maka Allah akan menyiksanya pada hari kiamat.” (HR. Muslim)

Hadis-hadis di atas adalah panduan yang sangat penting untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

HUKUM BERBURUK SANGKA DAN MENCARI-CARI KESALAHAN

Oleh
Syaikh Abdul Muhsin Bin Hamd Al-‘Abbad Al-Badr

Allah Ta’ala berfirman.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan berprasangka, karena sesungguhnya sebagian tindakan berprasangka adalah dosa dan janganlah kamu mencari-car kesalahan orang lain” [Al-Hujurat/49 : 12]

Dalam ayat ini terkandung perintah untuk menjauhi kebanyakan berprasangka, karena sebagian tindakan berprasangka ada yang merupakan perbuatan dosa. Dalam ayat ini juga terdapat larangan berbuat tajassus. Tajassus ialah mencari-cari kesalahan-kesalahan atau kejelekan-kejelekan orang lain, yang biasanya merupakan efek dari prasangka yang buruk.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

إِيَّا كُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيْثِ وَلاَ تَحَسَّسُوا وَلاَ تَجَسَّسُوا وَلاَ تَحَاسَدُوا وَلاَتَدَابَرُوا وَلاَتَبَاغَضُوا وَكُوْنُواعِبَادَاللَّهِ إحْوَانًا

“Berhati-hatilah kalian dari tindakan berprasangka buruk, karena prasangka buruk adalah sedusta-dusta ucapan. Janganlah kalian saling mencari berita kejelekan orang lain, saling memata-matai, saling mendengki, saling membelakangi, dan saling membenci. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara”[1]

Amirul Mukminin Umar bin Khathab berkata, “Janganlah engkau berprasangka terhadap perkataan yang keluar dari saudaramu yang mukmin kecuali dengan persangkaan yang baik. Dan hendaknya engkau selalu membawa perkataannya itu kepada prasangka-prasangka yang baik”

Ibnu Katsir menyebutkan perkataan Umar di atas ketika menafsirkan sebuah ayat dalam surat Al-Hujurat.

Bakar bin Abdullah Al-Muzani yang biografinya bisa kita dapatkan dalam kitab Tahdzib At-Tahdzib berkata : “Hati-hatilah kalian terhadap perkataan yang sekalipun benar kalian tidak diberi pahala, namun apabila kalian salah kalian berdosa. Perkataan tersebut adalah berprasangka buruk terhadap saudaramu”.

Disebutkan dalam kitab Al-Hilyah karya Abu Nu’aim (II/285) bahwa Abu Qilabah Abdullah bin Yazid Al-Jurmi berkata : “Apabila ada berita tentang tindakan saudaramu yang tidak kamu sukai, maka berusaha keraslah mancarikan alasan untuknya. Apabila kamu tidak mendapatkan alasan untuknya, maka katakanlah kepada dirimu sendiri, “Saya kira saudaraku itu mempunyai alasan yang tepat sehingga melakukan perbuatan tersebut”.

Sufyan bin Husain berkata, “Aku pernah menyebutkan kejelekan seseorang di hadapan Iyas bin Mu’awiyyah. Beliaupun memandangi wajahku seraya berkata, “Apakah kamu pernah ikut memerangi bangsa Romawi?” Aku menjawab, “Tidak”. Beliau bertanya lagi, “Kalau memerangi bangsa Sind[2], Hind (India) atau Turki?” Aku juga menjawab, “Tidak”. Beliau berkata, “Apakah layak, bangsa Romawi, Sind, Hind dan Turki selamat dari kejelekanmu sementara saudaramu yang muslim tidak selamat dari kejelekanmu?” Setelah kejadian itu, aku tidak pernah mengulangi lagi berbuat seperti itu”[3]

Komentar saya : “Alangkah baiknya jawaban dari Iyas bin Mu’awiyah yang terkenal cerdas itu. Dan jawaban di atas salah satu contoh dari kecerdasan beliau”.

Abu Hatim bin Hibban Al-Busti bekata dalam kitab Raudhah Al-‘Uqala (hal.131), ”Orang yang berakal wajib mencari keselamatan untuk dirinya dengan meninggalkan perbuatan tajassus dan senantiasa sibuk memikirkan kejelekan dirinya sendiri. Sesungguhnya orang yang sibuk memikirkan kejelekan dirinya sendiri dan melupakan kejelekan orang lain, maka hatinya akan tenteram dan tidak akan merasa capai. Setiap kali dia melihat kejelekan yang ada pada dirinya, maka dia akan merasa hina tatkala melihat kejelekan yang serupa ada pada saudaranya. Sementara orang yang senantiasa sibuk memperhatikan kejelekan orang lain dan melupakan kejelekannya sendiri, maka hatinya akan buta, badannya akan merasa letih dan akan sulit baginya meninggalkan kejelekan dirinya”.

Baca Juga  Lemah Lembut Sesama Ahlus Sunnah
Beliau juga berkata pad hal.133, “Tajassus adalah cabang dari kemunafikan, sebagaimana sebaliknya prasangka yang baik merupakan cabang dari keimanan. Orang yang berakal akan berprasangka baik kepada saudaranya, dan tidak mau membuatnya sedih dan berduka. Sedangkan orang yang bodoh akan selalu berprasangka buruk kepada saudaranya dan tidak segan-segan berbuat jahat dan membuatnya menderita”.

[Disalin dari buku Rifqon Ahlassunnah bi Ahlissunnah Penulis Abdul Muhsin bin Hamd Al Abbad Al Badr, Edisi Indonesia Rifqon Ahlassunnah bi Ahlissunnah Menyikapi Fenomena Tahdzir & Hajr.

Penerjemah Abu Shalih. Penerbit : Titian Hidayah Ilahi Bandung, Cetakan Pertama Januari 2004]
_______
Footnote
[1] Diriwayatkan oleh Al-Bukhari hadits no. 6064 dan Muslim hadits no. 2563
[2] Sind adalah negara yang berbatasan dengan India, -ed
[3] Lihat Kitab Bidayah wa Nihayah karya Ibnu Katsir (XIII/121)

BAHAYA MENGGUNJING

Oleh
Syaikh Shalih bin ‘Abdullah bin Humaid

Kami berwasiat kepada diri saya sendiri, dan juga kepada kaum Muslimin, bertakwalah kepada Allah Azza wa Jalla . Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, maka Allah akan mencukupinya. Dan barangsiapa yang takut kepada manusia, maka sesungguhnya, manusia tidak bisa memberikan manfaat sedikitpun di hadapan Allah Azza wa Jalla . Kita juga harus menyadari, bahwa tidak ada yang bisa mendapatkan rahmat kecuali orang-orang yang bertakwa. Tidaklah mendapatkan pahala, kecuali orang-orang yang berada di atas ketakwaan.

Nasihat untuk bertakwa ini sangatlah banyak. Akan tetapi, betapa disesalkan, karena yang melaksanakannya ternyata sangat sedikit. Semoga Allah menjadikan kita termasuk orang-orang yang bertakwa.

Sebagai agama yang sempurna, Islam mengajak bicara akal, hati, perasaan dan jiwa, akhlak dan pendidikan. Agama yang mulia ini menggariskan adanya peraturan-peraturan agar seorang muslim dapat memiliki hati yang selamat, perasaan yang bersih, menjaga kehormatan lisan, dan menjaga rahasia pribadinya, serta dapat berakhlak mulia terhadap Rabb-nya, dirinya dan seluruh manusia. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا

Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa, dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain. [al Hujurat/49 : 12].

Pesan al Qur`an ini, merupakan jawaban atas fenomena yang kita lihat saat ini. Yakni, agar kita terhindar dari perbuatan ghibah (menggunjing), mencari-cari kesalahan orang lain. Karena menggunjing ini dapat menyebabkan terlanggarnya kehormatan, keselamatan hati dan ketenangan di masyarakat. Perbuatan menggunjing, merupakan salah satu dosa besar yang membinasakan, merusak agama para pelakunya, baik sebagai pelaku ataupun orang yang rela ketika mendengarkannya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman di dalam al Qur`an :

وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ

Dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yaang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. [al Hujurat/49 : 12].

Menggunjing orang lain, tidak lepas dari salah satu dari tiga istilah, yang semuanya disebutkan al Qur`an. Yaitu : ghibah, ifku dan buhtan.

Apabila yang Anda sebutkan tentang saudara Anda itu ada padanya, maka inilah ghibah. Apabila Anda menyampaikan semua yang Anda dengar, maka ini adalah ifku. Dan apabila yang Anda sebutkan tidak ada pada diri saudaramu, maka ini adalah buhtan.

Ghibah (menggunjing) adalah, setiap yang dapat dipahami dengan maksud penghinaan, baik berupa perkataan, isyarat atau tulisan. Ghibah ini, juga bisa berupa penghinaan terhadap seseorang tentang agama, kondisi fisik, akhlak, harta dan keturunannya. Barangsiapa yang mencela ciptaan Allah, berarti ia telah mencela penciptanya.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyeru pelaku perbuatan ini dengan sabdanya:

يَا مَعْشَرَ مَنْ آمَنَ بِلِسَانِهِ وَلَمْ يَدْخُلِ الْإِيمَانُ قَلْبَهُ لَا تَغْتَابُوا الْمُسْلِمِينَ وَلَا تَتَّبِعُوا عَوْرَاتِهِمْ فَإِنَّهُ مَنِ اتَّبَعَ عَوْرَاتِهِمْ يَتَّبِعُ اللَّهُ عَوْرَتَهُ وَمَنْ يَتَّبِعِ اللَّهُ عَوْرَتَهُ يَفْضَحْهُ فِي بَيْتِهِ

Baca Juga  Keberanian
Wahai orang-orang yang beriman dengan lisannya, namun keimanan itu belum masuk ke dalam hatinya! Janganlah kalian mengghibah (menggunjing) kaum Muslimin. Jangan pula mencari-cari aib mereka. Barangsiapa yang mencari-cari aib mereka, (maka) Allah akan mencari-cari aibnya. Dan barangsiapa yang Allah mencari-cari aibnya, niscaya Allah akan membeberkan aibnya, meskipun dia di dalam rumahnya.

Tentang bahaya menggunjing ini, al Hasan berkata : “Ghibah, demi Allah, lebih cepat merusakkan agama seseorang daripada ulat yang memakan tubuh mayit”.

Maka sungguh aneh, jika ada orang yang mengaku sebagai ahlul haq dan ahlul iman, ternyata ia melakukan perbuatan ghibah (menggunjing), sedangkan dia mengetahui akibat buruk perbuatan tersebut. Firman Allah Ta’ala mengingatkan :

أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ

Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? [al Hujarat/49 : 12].

Seburuk-buruk ghibah, yaitu menggunjing para pemimpin, para ulama, orang-orang berkedudukan, orang-orang shalih, dan orang yang mengajak berbuat adil. Pelaku ghibah ini telah mencabik-cabik kehormatan orang-orang terpandang yang memiliki kedudukan. Pelaku ghibah ini juga merendahkan kedudukan mereka, menghilangkan kewibawaan mereka, menghilangkan kepercayaan terhadap mereka, mencela perbuatan dan usaha mereka, dan meragukan kemampuan mereka.

Bayangkan, tidak disebut seorang yang mulia di hadapannya, kecuali direndahkannya. Tidaklah muncul seorang yang mulia, kecuali dicelanya. Tidak pula orang shalih, kecuali dia akan menuduhnya. Pelaku ghibah ini, senang menuduh orang-orang terpercaya, menggunjing orang-orang shalih. Pelaku ghibah menanamkan permusuhan dan membingungkan orang-orang kebanyakan, memutuskan silaturahmi dan memecah persatuan.

Allahu Akbar! Apakah seorang muslim layak bersikap demikian kepada saudaranya?

Wahai pelaku ghibah! Setiap orang pasti dicintai dan dibenci, diridhai dan dimarahi, disukai dan dimusuhi.

Orang yang berakal, dalam mencintai kekasihnya, ia tidak akan berbuat secara berlebihan; sebab, mungkin suatu hari orang yang dikasihinya tersebut akan dibencinya. Sebaliknya, manakala seorang muslim harus membenci, maka dia pun bersikap sewajarnya; sebab, mungkin suatu hari orang yang dibencinya akan menjadi kekasihnya. Oleh karena itu, jadilah orang yang selalu menegakkan kebenaran dan bersikap adil. Jangan sampai ketidak-sukaan membuatmu bersikap zhalim. Allah berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ ۖ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَىٰ أَلَّا تَعْدِلُوا ۚ اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ

Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. [al Maidah/5 : 8].

Jika dikatakan kepada Anda : “Fulan telah meggunjingmu, sampai kami merasa kasihan kepadamu”. Maka jawablah dengan perkataan : “Seharusnya, dialah yang seharusnya engkau kasihani”.

Bertakwalah kita kepada Allah. Sungguh beruntung orang yang bisa menahan diri, tidak berlebihan dalam berbicara. Sungguh beruntung orang yang bisa menguasai lisannya. Sungguh beruntung orang yang terhindar dari menggunjing orang lain, karena ia mengetahui yang ada pada dirinya. Sungguh beruntung orang yang berpegang dengan petunjuk al Qur`an, kemudian menghadap Allah dengan hati yang khusyu’, lisan yang jujur, dan ikhlas mencintai saudaranya.

Baca Juga  Akhlak Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam
رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ

Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyanyang. [al Hasyr/59; 10].

Kami mengingatkan kembali, hendaklah kita jauhi perbuatan ghibah atau menggunjing orang lain. Ketahuilah, orang yang mendengarkan ghibah, ia mendapatkan dosa yang sama seperti pelakunya. Sehingga orang yang mendengarkan ghibah tidak selamat dari dosa, kecuali jika ia mengingkari dengan lisannya, atau dengan hatinya. Apabila bisa, hendaklah ia tinggalkan majelis atau tempat tersebut, atau memutusnya dengan mengalihkan kepada pembicaraan yang lain. Karena, orang yang diam ketika mendengar ghibah, maka ia termasuk bergabung dengan pelakunya. Sehingga Ibnu Mubarak mengingatkan: “Pergilah dari orang yang menggunjing, sebagaimana engkau lari dari kejaran singa”.

Setiap orang memiliki cacat dan aib, kesalahan dan kekeliruan. Oleh karena itu, kita jangan merasa mengetahui apa yang tidak diketahui orang lain. Daripada mengurusi aib orang lain, mengapa kita tidak menyibukkan diri dengan aib sendiri? Jagalah hak dan kehormatan saudaramu! Dalam sebuah hadits dinyatakan :

مَنْ ذَبَّ عَنْ لَحْمِ أَخِيهِ بِالْغِيبَةِ كَانَ حَقًّا عَلَى اللَّهِ أَنْ يُعْتِقَهُ مِنَ النَّارِ

Barangsiapa yang membela daging (kehormatan) saudaranya dari ghibah, maka menjadi hak Allah untuk membebaskannya dari api Neraka. [1]

وَمَنْ قَالَ فِي مُؤْمِنٍ مَا لَيْسَ فِيهِ أَسْكَنَهُ اللَّهُ رَدْغَةَ الْخَبَالِ حَتَّى يَخْرُجَ مِمَّا قَالَ

Barangsiapa yang berkata tentang seorang mu`min yang tidak ada padanya, (maka) Allah akan menempatkannya pada lumpur ahli Neraka, sampai dia keluar dari apa yang dia ucapkan.[2]

مَنْ كَانَتْ عِنْدَهُ مَظْلِمَةٌ لِأَخِيهِ فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهَا فَإِنَّهُ لَيْسَ ثَمَّ دِينَارٌ وَلَا دِرْهَمٌ مِنْ قَبْلِ أَنْ يُؤْخَذَ لِأَخِيهِ مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ أَخِيهِ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ

Barangsiapa berbuat kezhaliman terhadap saudaranya (orang lain), hendaklah dia meminta maaf atas kezhalimannya. Karena (pada hari Kiamat), di sana tidak ada dinar (dan) tidak pula dirham sebagai penebusnya, sebelum diambil kebaikan dari dirinya untuk saudaranya tersebut. Apabila dia tidak memiliki kebaikan, maka diambillah kejelekan saudaranya tersebut dan dilimpahkan kepadanya.

(Diangkat dari Khuthbah Jum’at Syaikh Shalih bin ‘Abdullah bin Humaid, di Masjid al Haram, Makkah al Mukarramah)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun X/1427/2006M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. HR Ahmad dengan sanad hasan dan dinilai Syaikh al Albani sebagai hadits shahih li ghairihi di dalam Shahih at Targhib wa at Tarhib, no. 2847.
[2]. HR Abu Dawud, dan dinilai shahih oleh Syaikh al Albani di dalam Shahih at Targhib wa at Tarhib, no. 2845.

NAMÎMAH MERUSAK HUBUNGAN SESAMA MUKMIN

Oleh
Ustadz Abu Isma’il Muslim al-Atsari

Di antara penyakit moral yang tersebar di kalangan manusia adalah namîmah. Banyak orang tidak menyadari bahwa namîmah merupakan perbuatan dosa besar yang akan mencelakakan pelakunya. Selain itu, dosa ini bisa merusak hubungan antara sesama manusia. Oleh karena itu, Islam melarang dengan tegas perbuatan namîmah dan menjelaskan siksaan yang akan dihadapi oleh pelakunya.

Makna Namîmah
Namîmah secara bahasa adalah menampakkan atau menceritakan sesuatu. Adapun secara istilah, para Ulama menjelaskan sebagai berikut:

Imam Nawawi dan Imam Adz-Dzahabi
Imam Nawawi rahimahullah (wafat 676 H) berkata, “Namîmah adalah menceritakan perkataan orang kepada yang lain dengan tujuan membuat kerusakan”. [Al-Adzkâr, hlm. 336, karya: Nawawi, tahqiq: Syu’ab al-Arnauth]

Ini juga dikatakan oleh imam adz-Dzahabi rahimahullah (wafat 676 H) dalam kitab al-Kabâ-ir, hlm. 160.

Abu Hamid al-Ghazali
Abu Hamid al-Ghazali rahimahullah (wafat 505 H) menerangkan lebih luas tentang makna dan hakekat namîmah. Beliau rahimahullah mengatakan, “Ketahuilah bahwa namîmah kebanyakan diperuntukkan kepada orang yang menceritakan perkataan seseorang kepada orang yang dibicarakan, seperti kamu berkata, ‘Si Fulan membicarakanmu begini dan bigitu”. Tetapi namîmah tidak khusus ini, bahkan batasannya adalah membuka sesuatu yang dibenci untuk dibuka, baik yang membenci adalah orang yang berbicara, atau orang yang dibicarakan, atau orang ketiga; Baik membuka itu dengan perkataan, atau tulisan, atau tanda, atau isyarat; Baik yang dibuka itu berupa perbuatan atau perkataan; Baik yang dibuka itu merupakan aib dan kekurangan pada orang yang berbicara, atau bukan. Bahkan hakekat namîmah adalah menyebarkan rahasia dan menyingkap tutup dari apa yang dibenci untuk dibuka. Tetapi apa yang dilihat oleh seseorang dari keadaan-keadaan manusia yang dia benci, sepantasnya dia diam, kecuali jika menceritakan itu terdapat manfaat untuk seorang muslim, atau menolak maksiat. Seperti orang melihat seseorang mengambil harta orang lain, maka dia wajib bersaksi untuk menjaga hak orang yang dipersaksikan tersebut. Namun jika dia melihat seseorang menyembunyikan harta untuk dirinya sendiri, lalu dia bercerita, maka itu namîmah dan membongkar rahasia. Jika yang dia ceritakan merupakan kekurangan dan aib pada diri orang yang diceritakan, maka dia telah menggabungkan dosa ghibah dan namîmah.”  [Ihya Ulumiddin, 3/156]

Syaikh Abdul Aziz bin Baz
Semakna dengan penjelasan Abu Hamid al-Ghazali di atas, syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata, “Termasuk perkara yang harus dijauhi dan diperingatkan adalah namîmah. Yaitu: menceritakan perkataan dari seseorang kepada orang lain, atau dari jama’ah kepada jama’ah lain, atau dari kabilah kepada kabilah lain, dengan tujuan membuat kerusakan dan celaan di antara mereka. Dan (hakekat) namîmah adalah membuka sesuatu yang dibenci untuk dibuka, baik yang membenci adalah orang yang berbicara, atau orang yang dibicarakan, atau orang ketiga; Baik membuka itu dengan perkataan, atau tulisan, atau tanda, atau isyarat; Baik yang dibuka itu berupa perbuatan atau perkataan; Baik yang dibuka itu merupakan aib dan kekurangan pada orang yang berbicara, atau bukan. Seseorang wajib diam dari apa yang dia lihat yang berupa keadaan-keadaan manusia, kecuali jika menceritakan itu terdapat manfaat untuk seorang Muslim, atau menolak keburukan”.

Baca Juga  Ghulûl, Dosa Besar
Namîmah Termasuk Kabair (Dosa Besar)
Para Ulama memasukkan perbuatan namîmah ke dalam deretan dosa-dosa besar, sebagaimana imam Nawawi di dalam kitab al-Adzkâr, imam adz-Dzahabi di dalam kitab al-Kabâ-ir dan Ibnu Hajar al-Haitami di dalam kitab az-Zawâjir.

Imam Nawawi rahimahullah (wafat 676 H) berkata, “Adapun hukum ghîbah dan namîmah, maka keduanya haram dengan ijma’ kaum Muslimin. Banyak dalil yang nyata dari al-Kitab (al-Qur’an), as-Sunnah, dan ijma’ umat (Islam) ”. [Al-Adzkâr, hlm. 336-337, karya: Nawawi, tahqiq: Syu’ab al-Arnauth]

Imam adz-Dzahabi rahimahullah (wafat 676 H) berkata, “Adapun hukum namîmah, maka haram dengan ijma’ kaum Muslimin. Dan banyak dalil syari’at dari al-Kitab (Al-Qur’an) dan as-Sunnah menunjukkan keharamannya”. [Kitab al-Kabâ-ir, hlm. 160]

Keburukan-Keburukan Namîmah
Banyak sekali keburukan namîmah, antara lain:

1. Pelakunya dicela oleh Allâh Azza wa Jalla
Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَلَا تُطِعْ كُلَّ حَلَّافٍ مَهِينٍ ﴿١٠﴾ هَمَّازٍ مَشَّاءٍ بِنَمِيمٍ

Dan janganlah kamu taat kepada orang-orang yang suka bersumpah dan hina. Yang suka mencela dan berjalan kian kemari untuk berbuat namîmah.” [Al-Qalam/68: 10-11]

Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah berkata, “Firman Allâh ‘Dan janganlah kamu taat kepada orang-orang yang suka bersumpah’, yaitu banyak bersumpah, karena dia tidak akan seperti itu kecuali karena dia adalah tukang dusta, dan  tidaklah dia menjadi tukang dusta kecuali karena dia hina, yaitu hina jiwanya, kurang semangatnya, dia tidak memiliki semangat di dalam kebaikan, bahkan keinginannya pada kesenangan-kesenangan jiwa yang hina. Hammâz, yaitu suka mencela, ghibah, memperolok-olok manusia. Dan berjalan kian kemari untuk berbuat namîmah, yaitu menceritakan perkataan sebagian orang kepada yang lain dengan tujuan membuat kerusakan di antara mereka dan menimbulkan permusuhan dan kebencian”. [Taisîr Karîmirrahmân, surat al-Qalam, ayat; 10-11]

2. Diancam dengan siksa kubur
Hadits Abdullah bin ’Abbas, dia berkata:

Baca Juga  Menzhalimi Budak, Dosa Besar
 مَرَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِقَبْرَيْنِ فَقَالَ إِنَّهُمَا لَيُعَذَّبَانِ وَمَا يُعَذَّبَانِ فِي كَبِيرٍ أَمَّا أَحَدُهُمَا فَكَانَ لَا يَسْتَتِرُ مِنْ الْبَوْلِ وَأَمَّا الْآخَرُ فَكَانَ يَمْشِي بِالنَّمِيمَةِ ثُمَّ أَخَذَ جَرِيدَةً رَطْبَةً فَشَقَّهَا نِصْفَيْنِ فَغَرَزَ فِي كُلِّ قَبْرٍ وَاحِدَةً قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ لِمَ فَعَلْتَ هَذَا قَالَ لَعَلَّهُ يُخَفِّفُ عَنْهُمَا مَا لَمْ يَيْبَسَا

Nabi  melewati dua kuburan, lalu Beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda, “Sesungguhnya keduanya ini disiksa, dan tidaklah keduanya disiksa dalam perkara yang berat (untuk ditinggalkan). Yang pertama, dia dahulu tidak menutupi dari buang air kecil. Adapun yang lain, dia dahulu berjalan melakukan namîmah (adu domba)”. Kemudian Beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam mengambil sebuah pelepah kurma yang basah, lalu membaginya menjadi dua, kemudian Beliau menancapkan satu pelepah pada setiap kubur itu. Para Sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah! Mengapa Anda melakukannya”. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam menjawab: “Semoga Allâh meringankan siksa keduanya selama (pelepah kurma ini) belum kering”. [HR. Al-Bukhâri, no. 218; Muslim, no. 292]

Dalam hadits ini, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam menjelaskan orang yang disiksa di dalam kuburnya karena berbuat namîmah. Namîmah dengan lisannya, yang mengakibatkan terjadinya permusuhan di antara manusia, bahkan mungkin terjadi pertumpahan darah. Namîmah itu haram sekalipun apa yang dikatakannya benar.

3. Diancam tidak masuk sorga

عَنْ هَمَّامِ بْنِ الْحَارِثِ، قَالَ: كَانَ رَجُلٌ يَنْقُلُ الْحَدِيثَ إِلَى الْأَمِيرِ، فَكُنَّا جُلُوسًا فِي الْمَسْجِدِ فَقَالَ الْقَوْمُ هَذَا مِمَّنْ يَنْقُلُ الْحَدِيثَ إِلَى الْأَمِيرِ، قَالَ: فَجَاءَ حَتَّى جَلَسَ إِلَيْنَا فَقَالَ حُذَيْفَةُ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: «لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَتَّاتٌ»

Dari Hammâm bin al-Hârits, dia berkata, “Dahulu ada seorang laki-laki yang menyampaikan berita kepada amir (gubernur). Kami sedang duduk di dalam masjid, orang-orang mengatakan, “Orang ini biasa menyampaikan berita kepada amir”. Dia datang dan duduk dekat kami, maka Hudzaifah berkata, “Aku telah mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda: “Tidak akan masuk surga orang yang melakukan namîmah.” [HR. Muslim, no. 105]

Dengan mengetahui bahaya-bahaya namîmah ini, maka kita harus mewaspadainya dan menjauhinya. Hanya Allâh Tempat memohon pertolongan.

Yang dimaksudkan dengan menyentuh kemaluan adalah menyentuhnya tanpa adanya pembatas. Sedangkan apabila seseorang menyentuh kemaluan dengan pembatas misalnya dengan kain atau pakaian, maka itu tidak membatalkan wudhu.

 

Dalam masalah menyentuh kemaluan apakah membatalkan wudhu atau tidak, ada empat pendapat di kalangan ulama. Dua pendapat merupakan hasil dari mengkompromikan dalil (menjama’) dan dua pendapat lain merupakan hasil dari mentarjih (memilih dalil yang lebih kuat).

Pendapat pertama: Menyentuh kemaluan tidak membatalkan wudhu sama sekali.

Pendapat ini adalah pendapat madzhab Abu Hanifah, salah satu pendapat Imam Malik dan merupakan pendapat beberapa sahabat.

Di antara dalil dari pendapat ini adalah hadits dari Tholq bin ‘Ali di mana ada seseorang yang mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu bertanya,

مَسِسْتُ ذَكَرِى أَوِ الرَّجُلُ يَمَسُّ ذَكَرَهُ فِى الصَّلاَةِ عَلَيْهِ الْوُضُوءُ قَالَ « لاَ إِنَّمَا هُوَ مِنْكَ

Aku pernah menyentuh kemaluanku atau seseorang ada pula yang menyentuh kemaluannya ketika shalat, apakah ia diharuskan untuk wudhu?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Kemaluanmu itu adalah bagian darimu.”  (HR. Ahmad 4/23. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan)

Dalam riwayat lain disebutkan bahwa ada seseorang yang mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lantas ia bertanya,

يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا تَرَى فِى رَجُلٍ مَسَّ ذَكَرَهُ فِى الصَّلاَةِ قَالَ « وَهَلْ هُوَ إِلاَّ مُضْغَةٌ مِنْكَ أَوْ بَضْعَةٌ مِنْكَ ».

Wahai Rasulullah, apa pendapatmu mengenai seseorang yang menyentuh kemaluannya ketika shalat?” Beliau bersabda, “Bukankah kemaluan tersebut hanya sekerat daging darimu atau bagian daging darimu?”  (HR. An Nasa-i no. 165. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Dan juga Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berhujah dengan hadits ini, maka itu pertanda beliau menshahihkannya. Lihat Majmu’ Al Fatawa, 21/241) 

Pendapat kedua: Menyentuh kemaluan membatalkan wudhu.

Pendapat ini adalah pendapat madzhab Imam Malik, Imam Asy Syafi’i -pendapat beliau yang masyhur-, Imam Ahmad, Ibnu Hazm dan diriwayatkan pula dari banyak sahabat.

Di antara dalil dari pendapat ini adalah hadits dari Buroh binti Shofwan,

مَنْ مَسَّ ذَكَرَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ

Barangsiapa yang menyentuh kemaluannya, hendaklah ia berwudhu.” (HR. Abu Daud no. 181, An Nasa-i no. 447, dan At Tirmidzi no. 82. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Terdapat pula hadits yang serupa dengan di atas dari Ummu Habibah, Abu Hurairah, Arwa binti Unais, ‘Aisyah, Jabir, Zaid bin Kholid, dan ‘Abdullah bin ‘Amr.

Menurut para ulama yang berpegang dengan pendapat kedua ini menyatakan bahwa hadits dari Busroh lebih rojih (lebih kuat) dari hadits Tholq yang disebutkan dalam pendapat pertama dengan alasan sebagai berikut:

  1. Hadits Tholq adalah hadits yang memiliki ‘illah (cacat) sebagaimana dikatakan oleh Abu Zur’ah dan Abu Hatim.
  2. Seandainya hadits tersebut adalah shahih, tetap hadits Abu Hurairah yang semakna dengan hadits Busroh (pada pendapat kedua) lebih didahulukan dari hadits Tholq. Alasannya, hadits Tholq dinaskh (dihapus) dengan hadits Abu Hurairah (yang semakna dengan hadits Busroh) disebabkan Tholq datang di Madinah lebih dulu daripada Abu Hurairah. Yang mengatakan adanya naskh adalah Ath Thobroni dalam Al Kabir (8/402), Ibnu Hibban (Ihsan, 3/405), Ibnu Hazm dalam Al Muhalla (1/239), Al Hazimi dalam Al I’tibar (77), Ibnul ‘Arobi dalamm Al ‘Aridhoh (1/117), dan Al Baihaqi dalam Al Khilafiyat (2/289).
  3. Yang meriwayatkan hadits bahwa menyentuh kemaluan membatalkan wudhu lebih banyak dan haditsnya telah masyhur.
  4. Ini adalah pendapat kebanyakan sahabat.
  5. Hadits Tholq dapat dipahami bahwa laki-laki yang menyentuh kemaluan tersebut bermaksud menyentuh pahanya, namun akhirnya kemaluannya (yang berada di balik pakaian) tersentuh, sebagaimana diceritakan dalam hadits bahwa laki-laki tersebut berada dalam shalat.

Ini adalah alasan ulama yang menyatakan bahwa menyentuh kemaluan termasuk pembatal wudhu. Pendapat pertama dan kedua ini lebih cenderung menggunakan metode tarjih (menguatkan salah satu dalil). Sedangkan pendapat selanjutnya menggunakan metode jama‘ (mengkompromikan dalil yang ada).

Pendapat ketiga: Menyentuh kemaluan membatalkan wudhu jika dengan syahwat, namun tidak membatalkan wudhu jika tanpa syahwat.

Pendapat ini adalah pendapat Imam Malik dan dipilih oleh Syaikh Al Albani –rahimahumallah-. Alasan yang mereka gunakan adalah mereka menyatakan bahwa hadits Busroh (yang menyatakan wudhunya batal) dimaksudkan bagi yang menyentuh kemaluan dengan syahwat. Sedangkan yang menyentuh kemaluan tanpa syahwat tidak membatalkan wudhu berdasarkan hadits Tholq. Dalil yang menunjukkan pendapat ini adalah pada sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

وَهَلْ هُوَ إِلاَّ مُضْغَةٌ مِنْكَ أَوْ بَضْعَةٌ مِنْكَ

Bukankah kemaluan tersebut hanya sekerat daging darimu?

Jadi, jika seseorang menyentuh kemaluan tanpa syahwat, maka itu sama saja seperti menyentuh anggota tubuh yang lain.

Pendapat keempat: Berwudhu ketika menyentuh kemaluan adalah sunnah (dianjurkan) secara mutlak dan bukan wajib.Pendapat ini adalah salah satu pendapat dari Imam Ahmad dan pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah -rahimahumallah-.

Pendapat ini menilai bahwa perintah dalam hadits Busroh adalah sunnah (dianjurkan). Sedangkan hadits Tholq adalah dalam konteks pertanyaan yang dikiranya menyentuh kemaluan itu wajib.

Alasan dari pendapat terakhir ini adalah dengan menempuh metode jama’ yaitu mengkompromikan dalil. Sedangkan argumen untuk pendapat lainnya adalah sebagai berikut:

  1. Menyatakan bahwa Tholq lebih dulu masuk Islam daripada Busroh tidaklah tepat dinyatakan sebagai alasan menyatakan naskh (bahwa hadits Tholq dihapus). Yang tepat, naskh dan mansukh dilihat di antara dua hadits tersebut manakah yang diucapkan lebih dulu dan manakah yang belakangan. Tanpa mengetahui tarikh (sejarah) semacam itu, maka sulit diklaim adanya naskh.
  2. Dalam hadits Tholq yang menyebutkan bahwa wudhu tidak batal karena menyentuh kemaluan, disebutkan ‘illah (sebab adanya hukum) yaitu kemaluan merupakan bagian dari tubuh kita. Dan hukum tersebut dikaitkan dengan ‘illah ini. ‘Illah bahwa kemaluan merupakan bagian dari tubuh sangat mustahil dihilangkan. Sehingga klaim naskh (bahwa hadits Tholq itu dihapus) tidaklah tepat.
  3. Naskh (menghapus salah satu dalil) lebih tepat digunakan jika ada udzur untuk menjama’ (mengkompromikan dalil). Lebih-lebih lagi jika klaim naskh tidaklah tepat sebagaimana telah kami kemukakan.
  4. Pendapat yang menyatakan bahwa menyentuh kemaluan membatalkan wudhu jika dengan syahwat dan tidak membatalkan jika tanpa syahwat adalah pendapat yang perlu dikritisi lagi. Sekarang, bagaimana seseorang dikatakan syahwat ataukah tidak? Artinya, sulit sekali kita menentukan patokan atau standar syahwat ataukah tidak.

Pendapat yang terkuat:

Jika memandang hadits Tholq, yang disimpulkan bahwa menyentuh kemaluan tidak membatalkan wudhu  adalah hadits yang shahih, maka pendapat keempat pantas untuk dijadikan hujjah, yaitu berwudhu ketika menyentuh kemaluan hanyalah sunnah (bukan wajib). Pendapat ini dinilai lebih tepat karena menempuh jalan pertengahan dengan mengkompromikan dalil, tanpa menghapus salah satu dalil.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan,

وَالْأَظْهَرُ أَيْضًا أَنَّ الْوُضُوءَ مِنْ مَسِّ الذَّكَرِ مُسْتَحَبٌّ لَا وَاجِبٌ وَهَكَذَا صَرَّحَ بِهِ الْإِمَامُ أَحْمَد فِي إحْدَى الرِّوَايَتَيْنِ عَنْهُ وَبِهَذَا تَجْتَمِعُ الْأَحَادِيثُ وَالْآثَارُ بِحَمْلِ الْأَمْرِ بِهِ عَلَى الِاسْتِحْبَابِ لَيْسَ فِيهِ نَسْخُ قَوْلِهِ : { وَهَلْ هُوَ إلَّا بَضْعَةٌ مِنْك ؟ }

“Pendapat yang lebih kuat, hukum berwudhu ketika menyentuh kemaluan adalah sunnah (dianjurkan) dan bukan wajib. Hal ini ditegaskan dari salah satu pendapat Imam Ahmad. Pendapat ini telah mengkompromikan berbagai dalil sehingga dalil yang menyatakan perintah dimaksudkan dengan sunnah (dianjurkan) dan tidak perlu adanya naskh pada hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Bukankah kemaluan tersebut adalah sekerat daging darimu?” (Majmu’ Al Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, 21/241, Darul Wafa’, cetakan ketiga, tahun 1426 H)

Namun bila ingin lebih hati-hati, ada pendapat dari Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin -rahimahullah- bahwa menyentuh kemaluan tanpa syahwat disunnahkan (dianjurkan) untuk berwudhu, sedangkan jika dilakukan dengan syahwat diharuskan (diwajibkan) untuk berwudhu. Inilah pendapat beliau dalam Syarhul Mumthi’ dalam rangka kehati-hatian, untuk melepaskan diri dari perselisihan ulama yang ada. Wallahu Ta’ala a’lam.

Permasalahan yang Berkaitan dengan Menyentuh Kemaluan

Pertama: Apakah jika suami menyentuh kemaluan istri batal wudhunya?

Jawabannya, tidak membatalkan wudhu karena tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa hal tersebut membatalkan wudhu, begitu pula sebagaimana telah dijelaskan bahwa menyentuh wanita tidak membatalkan wudhu menurut pendapat paling kuat. Kecuali jika yang keluar adalah madzi atau mani, maka wudhunya tersebut batal. Wudhunya batal bukan karena sebab menyentuh kemaluan ketika itu, namun karena keluarnya mani dan madzi. Sudah sangat jelas bahwa jika mani dan madzi keluar, maka akan membatalkan wudhu.

Kedua: Apakah menyentuh kemaluan anak kecil membatalkan wudhu?

Jawabannya, tidak membatalkan wudhu. Inilah yang menjadi pendapat Az Zuhri dan Al Auza’i.

Ketiga: Apakah menyentuh kemaluan tidak secara langsung (misalnya mengenai kain) membatalkan wudhu?

Jawabannya, tidak membatalkan wudhu. Hal ini didukung oleh dalil dari Abu Hurairah,

إذا أفضى أحدكم بيده إلى ذكره ليس بينه وبينه شيء فليتوضأ

Jika salah seorang di antara kalian menyentuh kemaluannya dengan tangan kanannya sedangkan di antara sentuhan dan kemaluannya tersebut tidak dihalangi sesuatu apa pun, maka hendaklah ia berwudhu.” (HR. Al Baihaqi dan Ad Daruquthni. Hadits ini dihasankan oleh Syaikh Abu Malik). Dipahami dari sini, sebaliknya jika ada penghalang ketika menyentuh, maka tidak perlu berwudhu, artinya tidak membatalkan wudhu.

Keempat: Apakah menyentuh dubur membatalkan wudhu?

Jawabannya, tidak membatalkan wudhu. Inilah yang menjadi pendapat Imam Malik, Ats Tsauri dan ulama Hanafiyah, berbeda halnya dengan pendapat Imam Asy Syafi’i. Dubur tidaklah tepat diqiyaskan (dianalogikan) dengan kemaluan karena ‘illah (sebab) adanya hukum di antara keduanya tidak bisa dikaitkan.

Menyentuh yang bukan mahram dalam islam hukumnya sudah dijelaskan sangat rinci. Agar lebih paham, mari kita simak penjelasannya di artikel berikut ini.

Islam melarang segala bentuk kerusakan dan keburukan

Allah Ta’ala berfirman:

{إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ}

“Sesungguhnya Allah memerintahkan (kepadamu) untuk berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu daoat mengambil pelajaran” (QS an-Nahl:90).

Ayat yang mulia ini menunjukkan bahwa semua perkara yang dilarang oleh Allah Ta’ala dalam Islam pasti membawa kepada keburukan dan kerusakan, sebagaimana semua perkara yang diperintahkan-Nya pasti membawa kepada kebaikan dan kemaslahatan [1. Lihat kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 447)].

Dalam ayat lain Allah Ta’ala berfirman tentang setan dan godaannya kepada manusia:

{إِنَّمَا يَأْمُرُكُمْ بِالسُّوءِ وَالْفَحْشَاءِ وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُون}

“Sesungguhnya setan itu hanya menyuruh kamu berbuat buruk (semua maksiat) dan keji, dan mengatakan tentang Allah apa yang tidak kamu ketahui” (QS al-Baqarah: 169).

Ayat yang agung ini menunjukkan bahwa semua perbuatan maksiat yang yang dilarang dalam agama adalah keburukan dan merupakan ajakan setan untuk memalingkan manusia dari jalan Allah [2. Lihat kitab “Tafsir Ibnu Katsir” (hal. 1/63)]

Besarnya fitnah perempuan bagi laki-laki

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam mengingatkan tentang besarnya kerusakan dan fitnah yang ditimbulkan oleh perempuan terhadap laki-laki dalam sabda beliau Shallallahu’alaihi Wasallam: “Aku tidak meninggalkan setelahku fitnah (keburukan/kerusakan) yang lebih berbahaya bagi kaum laki-laki melebihi (fitnah) kaum perempuan” [3. HSR al- Bukhari (no. 4808) dan Muslim (no. 2740)]

Oleh karena itulah, Islam melarang segala bentuk hubungan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram, kecuali dalam batasan-batasan yang sempit yang diperbolehkan dalam syariat Islam. Hal ini mengingat besarnya kerusakan dan fitnah yang akan timbul jika hubungan kedua jenis manusia tersebut dibebaskan tanpa ada batasan-batasan dari Allah Ta’ala yang Maha Menciptakan dan Maha Mengetahui keadaan makhluk-Nya. Allah Ta’ala berfirman:

{أَلا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ}

“Bukankah Allah yang menciptakan (alam semesta beserta isinya) maha mengetahui (segala sesuatu)? Dan Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui” (QS al-Mulk: 14).

Termasuk hubungan yang diharamkan dalam Islam karena besarnya kerusakan yang ditimbulkannya adalah apa yang disebut sebagai “pergaulan bebas” antara laki-laki dan perempuan tanpa ada ikatan yang dibenarkan dalam syariat. Perbuatan ini akan menimbulkan banyak keburukan dan kerusakan besar, seperti menyentuh yang bukan mahram, bertemunya laki-laki dan perempuan yang bukan mahram, berkenalan, berjabat tangan, berteman dekat dan berpacaran. Dan tentu saja semua hubungan yang tidak halal ini bisa mengantarkan kepada perbuatan zina dan penyimpangan akhlak lainnya, na’dzu billahi min dzaalik.

Oleh karena itulah, para ulama Ahlus sunnah melarang dan memperingatkan dengan keras tentang besarnya fitnah/kerusakan perbuatan ini, bahkan mereka menegaskan bahwa perbuatan ini merupakan biang segala keburukan dan kerusakan yang terjadi di masyarakat.

Imam Ibnul Qayyim berkata: “Tidak diragukan lagi bahwa membiarkan kaum perempuan bercampur (bergaul) bebas dengan kaum laki-laki adalah biang segala bencana dan kerusakan, bahkan ini termasuk penyebab (utama) terjadinya berbagai melapetaka yang merata. Sebagaimana ini juga termasuk penyebab (timbulnya) kerusakan dalam semua perkara yang umum maupun khusus. Pergaulan bebas merupakan sebab berkembangpesatnya perbuatan keji dan zina, yang ini termasuk sebab kebinasan massal (umat manusia) dan wabah penyakit-penyakit menular yang berkepanjangan [4. Seperti penyakit AIDS dan penyakit-penyakit kelamin berbahaya lainnya, na’uudzu billahi min dzaalik].

Ketika para pelacur bercampur (dengan bebas) bersama pasukan Nabi Musa ‘alaihissalam, sehingga tersebarlah perbuaan zina di antara mereka, maka Allah menimpakan kepada mereka wabah penyakit menular, yang berakibat matinya tujuh puluh ribu orang dalam satu hari. Dan kisah ini sangat populer (disebutkan) dalam kitab-kitab tafsir.

Oleh karena itu, termasuk penyebab besar (terjadinya bencana) kematian massal adalah banyaknya (terjadi) perbuatan zina karena membiarkan kaum perempuan bergaul bebas dengan kaum laki-laki dan berjalan dihadapan mereka dengan bersolek dan berdandan.

Seandainya para pihak yang berwenang mengetahui kerusakan (besar yang ditimbulkan) dari perbuatan ini dalam (urusan) dunia dan masyarakat -belum lagi urusan agama- maka mereka pasti akan melarang dengan sekeras-kerasnya perbuatan tersebut”.

Shahabat yang mulia, Abdullah bin Mas’ud radhiallahu’anhu, berkata: “Jika perbuatan zina telah nampak (tersebar) di suatu negeri maka Allah akan membinasakan negeri tersebut” [5. Kitab “ath-Thuruqul hukmiyyah” (hal. 407-408).].

Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz lebih menegaskan hal ini dalam ucapan beliau: “Dalil-dali (dari al-Qur’an dan hadits Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam) secara tegas menunjukkan haramnya (laki-laki yang) berduaan dengan perempuan yang tidak halal baginya, (demikian pula diharamkan) memandangnya, dan semua sarana yang menjerumuskan (manusia) ke dalam perkara yang dilarang oleh Allah. Dalil-dalil tersebut sangat banyak dan kuat (semuanya) menegaskan keharaman pergaulan bebas, karena membawa kepada perkara (kerusakan) yang sangat buruk akibatnya…

Maka seruan propaganda (yang menyerukan agar) perempuan ikut terjun di tempat-tempat kerja yang khusus bagi laki-laki adalah ajakan yang sangat berbahaya bagi (kebaikan) masyarakat Islam, yang termasuk dampak (negatif) terbesarnya adalah pergaulan bebas yang termasuk sarana terbesar (yang menjerumuskan kepada) perbuatan zina, yang ini (pada gilirannya) akan menghancurkan masyarakat dan merusak nilai-nilai luhur serta budi pekerti baik mereka” [6. Majallatul Buhuutsil Islaamiyyah (7/343)].

Islam mengharamkan semua sebab yang membawa kepada hubungan tidak halal antara laki-laki dan perempuan

Dalam rangka mencegah keburukan dan kerusakan besar akibat hubungan yang tidak halal ini, agama Islam mengharamkan semua sebab yang menjerumuskan ke dalam perbuatan buruk ini, di antaranya [7. Lihat kitab “Hiraasatul fadhiilah” (hal. 101-102), dengan tambahan dari penulis] :

  1. Diharamkannya menemui perempuan yang tidak halal dan berduaan dengannya, termasuk berduaan dengan sopir di mobil, dengan pembantu di rumah, dengan dokter di tempat prakteknya dan lain-lain. Banyak dalil yang menunjukkan hal ini, di antaranya sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam: “Tidaklah sekali-kali seorang laki-laki berduaan dengan seorang perempuan kecuali setan akan menjadi yang ketiga” [8. HR at-Tirmidzi (no. 2165) dan Ahmad (1/26), dinyatakan shahih oleh imam at-Tirmidzi dan Syaikh al-Albani].
  2. Diharamkannya bersafar (melakukan perjalanan jauh) bagi perempuan tanpa laki-laki yang menjadi mahramnya (suami, ayah, paman atau saudara laki-lakinya). Dalil yang menunjukkan hal ini juga banyak sekali, di antaranya sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam: “Janganlah sekali-kali seorang perempuan bersafar kecuali bersama dengan mahramnya” [9. HSR al-Bukhari (no. 2844) dan Muslim (no. 1341)].
  3. Diharamkannya memandang dengan sengaja kepada lawan jenis, berdasarkan firman Allah Ta’ala:

    {\قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ. وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا

    “Katakanlah kepada laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangan mereka, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat”. Dan katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangan mereka, dan memelihara kemaluan mereka, dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa) nampak dari mereka” (QS an-Nuur: 30-31).

  4. Diharamkannya menemui seorang perempuan tanpa mahram, meskipun dia saudara suami (ipar), berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam: “Waspadalah kalian (dari perbuatan) menemui perempuan (tanpa mahram)”. Ada yang bertanya: Wahai Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, bagaimana dengan al-hamwu (ipar dan kerabat suami lainnya)?

    Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda “al-Hamwu adalah kebinasaan” [10. HSR al-Bukhari (no. 4934) dan Muslim (no. 2172)]

    Artinya: fitnah yang ditimbulkannya lebih besar karena bisanya seorang perempuan menganggap biasa jika berduaan dengan kerabat suaminya[11. Lihat kitab “Fathul Baari” (9/332)].

  5. Diharamkannya laki-laki menyentuh perempuan, meskipun untuk berjabat tangan [12. Lihat keterangan syaikh al-Albani dalam “Silsilatul Ahaadiitsish Shahiihah” (1/395)]. Pembahasan ini akan kami uraikan dengan lebih rinci insya Allah. Berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam: “Sungguh jika kepala seorang laki-laki ditusuk dengan jarum dari besi lebih baik baginya dari pada dia menyentuh seorang perempuan yang tidak halal baginya” [13. HR ath-Thabarani dalam “al-Mu’jamul kabiir” (no. 486 dan 487) dan ar-Ruyani dalam “al-Musnad” (2/227), dinyatakan hasan oleh Syaikh al-Albani dalam “Silsilatul ahaadiitsish shahiihah” (no. 226).]
  6. Diharamkannya laki-laki yang menyerupai perempuan dan sebaliknya. Berdasarkan hadits berikut: Dari shahabat yang mulia, Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu’anhu, beliau berkata: “Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam melaknat laki-laki yang menyerupai perempuan dan melaknat perempuan yang menyerupai laki-laki” [14. HSR al-Bukhari (no. 5546)].
  7. Disyariatkan dan dianjurkannya bagi kaum perempuan untuk shalat di rumah dan itu lebih baik/utama daripada shalat mereka di masjid, dalam rangka menghindari fitnah yang timbul jika mereka sering keluar rumah. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Janganlah kalian melarang para wanita (untuk melaksanakan shalat) di masjid, meskipun (shalat mereka) di rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka”[15. HR Abu Dawud (no. 567), Ahmad (2/76) dan al-Hakim (no. 755), dinyatakan shahih oleh Imam al-Hakim, adz-Dzahabi dan Syaikh al-Albani].
  8. Diharamkannya perempuan sering keluar rumah tanpa ada keperluan yang dibenarkan dalam syariat dengan syarat tidak berdandan dan bersolek karena akan menimbulkan fitnah bagi laki-laki. Allah Ta’ala berfirman:

    {وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى، وَأَقِمْنَ الصَّلَاةَ وَآَتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ، إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا}

    “Dan hendaklah kalian (wahai istri-istri Nabi) menetap di rumah-rumah kalian dan janganlah kalian bertabarruj (sering keluar rumah dengan berhias dan bertingkah laku) seperti (kebiasaan) wanita-wanita Jahiliyah yang dahulu, dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait (istri-istri Nabi) dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya” (QS al-Ahzaab:33).

    Dan dalam hadits yang shahih Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Sesungguhnya wanita adalah aurat, maka jika dia keluar (rumah) setan akan mengikutinya (menghiasainya agar menjadi fitnah bagi laki-laki), dan keadaanya yang paling dekat dengan Rabbnya (Allah Ta’ala) adalah ketika dia berada di dalam rumahnya” [16. HR Ibnu Khuzaimah (no. 1685), Ibnu Hibban (no. 5599) dan at-Thabrani dalam “al-Mu’jamul Ausath” (no. 2890), dinyatakan shahih oleh Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, al-Mundziri dan Syaikh al-Albani dalam “Silsilatul ahaaditsish shahiihah” (no. 2688)].

  9. Diharamkannya perempuan keluar rumah dengan memakai wangi-wangian dalam bentuka apapun, karena akan menimbulkan fitnah yang besar. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam betrsabda: “Seorang wanita, siapapun dia, jika dia (keluar rumah dengan) memakai wangi-wangian, lalu melewati kaum laki-laki agar mereka mencium bau wanginya maka wanita adalah seorang pezina” [17. HR an-Nasa’i (no. 5126), Ahmad (4/413), Ibnu Hibban (no. 4424) dan al-Hakim (no. 3497), dinyatakan shahih oleh imam Ibnu Hibban, al-Hakim dan adz-Dzahabi, serta dinyatakan hasan oleh Syaikh al-Albani].

Larangan menyentuh perempuan yang bukan mahram

Mahram bagi perempuan adalah semua laki-laki yang diharamkan dalam Islam untuk menikahinya selamanya, karena hubungan nasab, misalnya ayah dan saudara laki-lakinya, sebab yang mubah (boleh) tentang keharamannya (pernikahan), misalnya suami, bapak mertua dan putra dari suami, atau karena hubungan persusuan, misalnya ayah dan saudara laki-laki sepersusuan [18. Lihat kitab “Fathul Baari” (4/77) dan “Majmu’u fata-wa wa maqaalaati asy-Syaikh Bin Baz” (15/241)].

Adapun perempuan yang termasuk mahram bagi laki-laki, di antaranya: ibunya, neneknya, saudara perempuannya, anak dan cucu perempuannya, ibu mertuanya, anak perempuan dari istri yang telah digaulinya, dan lain-lain.

Islam melarang dan mengharamkan bagi laki-laki untuk menyentuh yang bukan mahram, termasuk berjabat tangan untuk berkenalan, bermaaf-maafan, berterima kasih atau alasan-alasan lainnya, karena ini akan mengantarkan kepada dampak negatif dan keburukan besar, seperti yang kami uraikan di atas.

Banyak hadits yang shahih dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam yang menjelaskan larangan dan keharaman menyentuh yang bukan mahram, di antaranya:

  • Dari Aisyah radhiallahu’anha (istri Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam), beliau menceritakan tentang baiat kaum wanita (mukminah) kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, beliau berkata: Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam sama sekali tidak pernah menyentuh seorang wanitapun dengan tangan beliau, tapi beliau mengambil baiat wanita (dengan ucapan saja dan tanpa berjabat tangan), setelah membaiat wanita, beliau Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda kepadanya: “Pergilah, sungguh aku telah membaiatmu” [19. HSR Muslim (3/1489, no. 1866), bab: Bagaimana (Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam) membaiat wanita]. Imam abu Zakaria an-Nawawi (Imam besar dari madzhab asy-Syafi’i) menyebutkan beberapa faidah dari hadits ini, di antaranya:
    • Membaiat wanita (hanya) dengan ucapan tanpa berjabat tangan, adapun laki-laki maka dengan berjabat tangan dan ucapan.
    • Tidak boleh menyentuh kulit wanita yang bukan mahram tanpa (ada alasan) darurat, seperti berobat dan lain-lain[20. Lihat “Syarah shahih Muslim” (13/10)].
  • Dari Umaimah bintu Ruqaiqah radhiallahu’anha dia berkata: Aku pernah mendatangi Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersama para wanita (muslimah) untuk membaiat beliau Shallallahu’alaihi Wasallam, lalu beliau Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Sesuai dengan kemampuan dan kesanggupan kalian, sesungguhnya aku tidak berjabat tangan dengan kaum perempuan (yang bukan mahram)”. Lafazh ini terdapat dalam “Sunan Ibnu majah” [21. HR an-Nasa’i (7/149, no. 4181), at-Tirmidzi (4/151, no. 1597) dan Ibnu Majah (2/ 959, no. 2874), dinyatakan sebagai hadits yang hasan shahih oleh Imam at-Tirmidzi dan Ibnu Hajar (Fathul Bari 13/204)]. Hadits ini menguatkan penjelasan yang disebutkan oleh Imam an-Nawawi di atas.
  • Dari Ma’qil bin Yasar radhiallahu’anhu bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Sungguh jika kepala seorang laki-laki ditusuk dengan jarum dari besi lebih baik baginya daripada dia menyentuh seorang perempuan yang tidak halal baginya (bukan istri atau mahramnya)” [22. HR ath-Thabarani dalam “al-Mu’jamul kabiir” (no. 486 dan 487) dan ar-Ruyani dalam “al-Musnad” (2/227), dinyatakan shahih oleh Imam al-Haitsami (Majma’uz zawa-id 4/598), al-Mundziri dan al-Munawi (lihat kitab “Faidhul Qadiir” 5/258), dan dinyatakan hasan oleh Syaikh al-Albani dalam “Silsilatul ahaadiitsish shahiihah” (no. 226)].

    Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani berkata: “Dalam hadits ini terdapat ancaman yang sangat keras bagi seorang (laki-laki) yang menyentuh perempuan yang tidak halal baginya. Ini (juga) menunjukkan haramnya berjabat tangan dengan perempuan (selain istri atau mahram), karena ini termasuk menyentuh, tanpa diragukan lagi. Sungguh keburukan ini di jaman sekarang telah menimpa banyak dari kaum muslimin, yang di antara mereka ada orang-orang yang berilmu (paham agama Islam).

    Seandainya mereka mengingkari keburukan ini (meskipun) dalam hati mereka, maka paling tidak keburukan ini akan sedikit berkurang. Akan tetapi (parahnya) mereka (justru) menganggap halal keburukan tersebut, dengan berbagai macam cara dan pentakwilan. Sungguh telah sampai kepadaku (berita) bahwa seorang tokoh yang sangat diagungkan di (Universitas) al-Azhar (di Mesir) pernah disaksikan beberapa orang sedang berjabat tangan dengan beberapa orang perempuan (yang bukan mahramnya). Kita mengadukan kepada Allah tentang asingnya ajaran Islam”[23. Kitab “Silsilatul ahaadiitsish shahiihah” (1/225, no. 226)].