Kaedah fikih (al-qawa’id al-fiqhiyyah) menurut para ulama adalah kaedah aghlabiy (umum) yang bisa diterapkan dalam mayoritas masalah juziyyah (parsial) dan dapat diketahui hukumnya.
Kaedah fikih ini harus dibangun di atas dalil dari Al-Kitab, As-Sunnah, ijmak, atau qiyas, atau dibangun di atas ushul syari dan maqashidnya.
Misalnya kaedah yang berbunyi,
المشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيْرُ
“Kesulitan itu mendatangkan kemudahan.” Kaedah ini berdasarkan dalil,
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 185).
Juga kaedah,
اليَقِيْنُ لاَ يَزُوْلُ بِالشَّكِّ
“Yang yakin tidak bisa dihilangkan dengan ragu-ragu.” Dalilnya adalah hadits dari ‘Abdullah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu, di mana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,
لاَ يَنْصَرِفْ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحًا
“Janganlah berpaling hingga ia mendengar suara atau mendapati bau.” (HR. Bukhari, no. 177 dan Muslim, no. 361).
Ada juga kaedah fikih dibangun di atas dalil ijmak atau kata sepakat para ulama seperti kaedah,
لاَ اجْتِهَادَ مَعَ النَّصِّ
“Tidak ada ijtihad selama masih ada nash (dalil).” Para ulama sepakat bahwa harus mendahulukan dalil dari ijtihad.
Kedua: Kaedah fikih akan menolong para penuntut ilmu dalam menyelesaikan masalah fikih yang masih rancu.
Ketiga: Kaedah fikih dapat menyelesaikan berbagai masalah-masalah baru.
Keempat: Kaedah fikih sudah dapat dijadikan dalil karena kaedah ini sendiri diambil dari dalil syari.
Kelima: Cukup mempelajari kaedah fikih yang sifatnya umum, maka berbagai juz masalah fikih mudah dipahami.
Keenam: Kaedah fikih akan menolong para qadhi dan para hakim untuk menyelesaikan berbagai masalah terkini.
Ketujuh: Kaedah fikih akan membantu mengaitkan masalah-masalah antar madzhab dan sebab bisa terjadinya perbedaan pendapat.
Kedelapan: Kaedah fikih mengajarkan bagaimana baiknya agama ini karena mengajarkan kaedah umum, bukan hanya mengurus masalah parsial saja.
Ada lima kaedah fikih yang besar (al-qawa’id al-kulliyah al-kubra):
القَاعِدَةُ الأُوْلَى: الأُمُوْرُ بِمَقَاصِدِهَا
Kaedah pertama: setiap perkara tergantung niatnya.
القَاعِدَةُ الثَّانِيَّةُ: الضَّرَرُ يُزَالُ
Kaedah kedua: bahaya (mudarat) itu dihilangkan.
القَاعِدَةُ الثَّالِثَةُ: العَادَةُ مُحَكَّمَةٌ
Kaedah ketiga: Adat itu jadi sandaran hukum.
القَاعِدَةُ الرَّابِعَةُ: المشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيْرُ
Kaedah keempat: kesulitan mendatangkan kemudahan.
القَاعِدَةُ الخَامِسَةُ: اليَقِيْنُ لاَ يَزُوْلُ بِالشَّكِّ
Kaedah kelima: yakin tidak bisa dihilangkan dengan ragu-ragu.
Syarh Manzhumah Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah. Cetakan pertama, Tahun 1436. Syaikh Dr. Khalid bin ‘Ali Al-Musyaiqih. Penerbit Maktabah Imam Adz-Dzahabi.
Salah satu ilmu alat yang penting dipelajari adalah ilmu qowa’id fiqh (kaedah fikih). Ilmu ini amat membantu sekali untuk menyelesaikan permasalahan fikih. Dengan menguasai dan memahami kaedah, berbagai permasalahan bisa terjawab. Bahkan satu kaedah bisa berlaku untuk banyak bab. Di antara bahasan Qowa’id Fiqh yang menarik dipelajari adalah bait sya’ir yang disusun oleh Syaikh As Sa’di rahimahullah. Mudah-mudahan kami bisa menuntaskan pembahasan ini dan menggali-gali faedah berharga di dalamnya.
النِّيَةُ شَرْطٌ لِسَائِرِ العَمَلِ
بِهَا الصَّلاَحُ وَالفَسَادُ لِلْعَمَلِ
Niat syarat seluruh amal
Karena niat akan baik atau jeleknya suatu amal
Kaedah ini adalah kaedah yang amat bermanfaat dan paling mulia. Kaedah ini berlaku pada setiap cabang ilmu.
Baiknya amal badan dan amal maliyah (harta), begitu pula amal hati dan amal anggota badan, semuanya tergantung niat. Rusaknya amal-amal tersebut juga tergantung niat.
Jika niat seseorang baik, maka baik pula ucapan dan amalannya. Namun jika niat seseorang jelek, maka jelek pula ucapan dan amalan. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
“Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niat. Dan setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan.”[1]
Niat itu ada dua fungsi
Fungsi pertama adalah untuk membedakan manakah adat (kebiasaan), manakah ibadah. Misalnya adalah puasa. Puasa berarti meninggalkan makan, minum dan pembatal lainnya. Namun terkadang seseorang meninggalkan makan dan minum karena kebiasaan, tanpa ada niat mendekatkan diri pada Allah. Terkadang pula maksudnya adalah ibadah. Oleh karena itu, kedua hal ini perlu dibedakan dengan niat.
Fungsi kedua adalah untuk membedakan satu ibadah dan ibadah lainnya. Ada ibadah yang hukumnya fardhu ‘ain, ada yang fardhu kifayah, ada yang termasuk rawatib, ada yang niatnya witir, ada yang niatnya sekedar shalat sunnah saja (shalat sunnah muthlaq). Semuanya ini dibedakan dengan niat.
Yang termasuk dalam bahasan niat juga adalah ikhlas. Ikhlas yang dimaksudkan adalah kadar tambahan dari sekedar niat beramal semata. Dalam ikhlas ada tambahan selain niat beramal, ada pula niat kepada sasaran ibadah (al ma’mul lahu). Inilah yang disebut ikhlas. Ikhlas artinya seorang hamba memaksudkan amalnya untuk mengharapkan wajah Allah, tidak ingin mengharapkan yang lainnya.
Di antara contoh penerapan kaedah ini
Kaedah ini berlaku untuk seluruh ibadah seperti shalat yang wajib dan yang sunnah, zakat, puasa, i’tikaf, haji, ‘umroh, seluruh ibadah yang diwajibkan dan ibadah yang disunnahkan, udhiyah (qurban), hadyu (sembelihan di Makkah), nadzar dan kafarot, jihad, memerdekakan budak, dan membebaskan budak mudabbar.
Kaedah ini juga berlaku untuk perkara yang mubah. Jika perkara yang mubah diniatkan agar kuat dalam melakukan ketaatan pada Allah, atau perkara mubah sebagai sarana kepada ketaatan, contohnya adalah makan, minum, tidur, mencari nafkah, nikah, maka amalan ini pun bernilai pahala. Contoh lainnya adalah hubungan biologis dengan istri atau dengan budak wanitanya dengan maksud untuk menjaga diri dari zina, atau tujuannya untuk menghasilkan keturunan yang sholeh atau untuk memperbanyak umat, jika niatannya seperti ini, maka akan membuahkan pahala.
Hal yang perlu diperhatikan
Perkara yang ditujukan pada hamba ada dua macam, yaitu (1) perkara yang diperintahkan untuk dikerjakan dan (2) perkara yang diperintahkan untuk ditinggalkan.
Untuk perkara yang diperintahkan untuk dikerjakan, maka harus ada niat di dalamnya. Niat ini adalah syarat sahnya amalan tersebut dan juga syarat untuk memperoleh pahala. Contoh ibadah yang diperintahkan adalah shalat.
Untuk perkara yang diperintahkan untuk ditinggalkan, seperti menghilangkan najis pada pakaian, badan atau tempat, seperti pula melunasi utang yang wajib, maka untuk hal melepaskan kewajiban semacam ini tidak disyaratkan adanya niat. Tetap sah, walaupun tidak berniat.
Adapun agar amalan itu bernilai pahala, maka harus ada niat di dalamnya, yaitu niat mendekatkan diri pada Allah. Wallahu a’lam.
***
Alhamdulillahillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat, segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.
Diterjemahkan dari Al Qowa’idul Fiqhiyah, Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, terbitan Darul Haromain, 1420 H, hal. 15-17
Sebagian orang dalam mempelajari kitab fikih terlalu berlama-lama dalam menguasai suatu permasalahan, sampai terlalu menelusuri begitu jauh perselisihan para ulama dalam suatu masalah. Padahal bab fikih begitu banyak dan para ulama sudah menyusun bab per bab, mulai dari permasalahan ibadah, muamalah, keluarga, hukum jinayat, dll. Kiat yang paling bagus adalah kita menguasai seluruh bab fikih secara singkat bab per bab, namun sudah menyangkut permasalahan yang penting. Inilah cara yang banyak ditempuh oleh para ulama fikih dari berbagai madzhab.
Syaikh Dr. ‘Abdus Salam Asy Syuwai’ir berkata:
Mempelajari fikih atau ilmu secara umum bisa dengan menempuh dua jalan:
1. Menguasai per bab fikih secara sempurna.
2. Menguasai permasalah-permasalahan setiap bab, tanpa menguasai bab secara sempurna.
Namun yang lebih bagus adalah menguasai fikih dari bab per bab.
Abu Musa Al Madini berkata, “Jika engkau ingin mengetahui ilmu dan lebih paham permasalahan-permasalahan di dalamnya, mulailah dengan menguasai bab-bab fikih.”
Al Hasan Al Bashri berkata, “Aku menguasai beberapa bab dalam suatu ilmu lebih aku sukai dari melakukan beberapa amalan ketaatan.”
[Faedah dari Dauroh Syaikh ‘Abdus Salam Asy Syuwai’ir mengenai Masail wa Ahkam fil Janaiz, 27/5/1431 H
***
Syaikh Dr. ‘Abdus Salam bin Muhammad Asy Syuwai’ir adalah lulusan doktoral terbaik dari Ma’had Al ‘Ali lil Qodho’ (sekolah tinggi untuk para hakim) yang merupakan cabang Jami’atul Imam Muhammad bin Su’ud. Beliau adalah Ustadz (gelar pendidikan, yang dimaksud adalah professor) di Ma’had Al ‘Aali lilqodho’. Beliau adalah di antara murid Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah. Beliau adalah ulama yang fakih dan tidak diragukan lagi kecerdasan beliau dalam ilmu dan terlihat begitu tawadhu’. Kalau seseorang melihatnya, maka ia akan menyangka bahwa Syaikh masih berusia kisaran 30 tahunan. Begitu pula yang kami sangka.
Ada amalan yang lebih utama dari lainnya dilihat dari jenisnya.
Dari ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
يَا رَسُولَ اللَّهِ أَىُّ الْعَمَلِ أَفْضَلُ قَالَ « الصَّلاَةُ عَلَى مِيقَاتِهَا » . قُلْتُ ثُمَّ أَىٌّ . قَالَ « ثُمَّ بِرُّ الْوَالِدَيْنِ » . قُلْتُ ثُمَّ أَىٌّ قَالَ « الْجِهَادُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ » . فَسَكَتُّ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – وَلَوِ اسْتَزَدْتُهُ لَزَادَنِى
“Wahai Rasulullah, amalan apakah yang paling afdal?” Beliau menjawab, “Shalat pada waktunya.” “Kemudian apa lagi?”, tanya Ibnu Mas’ud. Beliau menjawab, “Kemudian berbakti kepada kedua orang tua.” “Kemudian apa lagi?”, tanya Ibnu Mas’ud. Beliau menjawab, “Jihad di jalan Allah.” Lalu aku diam dari bertanya pada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seandainya aku menambah pertanyaan lagi, tentu akan beliau jawab. (HR. Bukhari, no. 2782 dan Muslim, no. 85).
Imam Ibnu Rajab rahimahullah dalam Fath Al-Bari karya beliau menyimpulkan dari hadits Ibnu Mas’ud ini, beliau menyatakan bahwa seluruh hadits yang membicarakan tentang afdalnya amal menunjukkan bahwa yang paling afdal adalah kalimat syahadat, lalu rukun Islam lainnya, lalu di dalamnya terdapat shalat dan ikutannya di mana ini merupakan kewajiban kepada Allah, kemudian kewajiban terhadap hamba yaitu mulai dari berbakti kepada orang tua, lalu amalan sunnah yang merupakan bentuk taqarrub kepada Allah, yang paling afdal adalah jihad.
Syaikh Ibrahim bin ‘Amir Ar-Ruhaili menyatakan bahwa setelah yang wajib itu ada amalan sunnah. Yang paling afdal adalah talabul ilmi yang dihukumi sunnah, jihad, dan dzikir. Ini adalah tiga amalan yang utama setelah yang wajib.
Amalan wajib lebih utama daripada amalan sunnah.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ قَالَ مَنْ عَادَى لِى وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ ، وَمَا تَقَرَّبَ إِلَىَّ عَبْدِى بِشَىْءٍ أَحَبَّ إِلَىَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ ، وَمَا يَزَالُ عَبْدِى يَتَقَرَّبُ إِلَىَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ ، فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِى يَسْمَعُ بِهِ ، وَبَصَرَهُ الَّذِى يُبْصِرُ بِهِ ، وَيَدَهُ الَّتِى يَبْطُشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّتِى يَمْشِى بِهَا ، وَإِنْ سَأَلَنِى لأُعْطِيَنَّهُ ، وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِى لأُعِيذَنَّهُ
“Allah Ta’ala berfirman: Barangsiapa memerangi wali (kekasih)-Ku, maka Aku akan memeranginya. Tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Kucintai dari amalan wajib yang diwajibkan kepadanya. Hamba-Ku juga senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah sehingga Aku mencintainya. Jika Aku telah mencintainya, maka Aku akan memberi petunjuk pada pendengaran yang ia gunakan untuk mendengar, memberi petunjuk pada penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, memberi petunjuk pada tangannya yang ia gunakan untuk memegang, memberi petunjuk pada kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Jika ia memohon sesuatu kepada-Ku, pasti Aku mengabulkannya dan jika ia memohon perlindungan, pasti Aku akan melindunginya.” (HR. Bukhari, no. 2506)
Dari hadits ini Ibnu Hubairah menjelaskan bahwa diambil dari perkataan “Tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Kucintai dari amalan wajib yang diwajibkan kepadanya”, amalan nafilah (sunnah) tidak didahulukan dari amalan wajib. Karena amalan nafilah disebut demikian karena berarti tambahan dari yang wajib. Demikian disebutkan dalam Al-Ifshah ‘an Ma’ani Ash-Shihah, 7:303, dinukil dari Tajrid Al-Ittiba’, hlm. 35.
Abu Bakr pernah memberi wasiat kepada Umar, “Ketahuilah, Allah tidaklah menerima amalan sunnah sampai amalan wajib ditunaikan.” (Dikeluarkan oleh Abu Nu’aim dalam Hilyah Al-Auliya’, 1:36)
Dalam Majmu’ah Al-Fatawa (17:133), Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyatakan, “Wajib mendekatkan diri dengan amalan wajib sebelum amalan sunnah. Mendekatkan diri dengan amalan sunnah barulah ada setelah amalan wajib dilakukan.”
Hikmah amalan wajib lebih utama daripada amalan sunnah:
Namun patut diingat, walaupun demikian, amalan wajib tentu bertingkat-tingkat. Wajib ‘ain tentu lebih utama dari wajib kifayah. Lihat Tajrid Al-Ittiba’, hlm. 41.
Allah Ta’ala berfirman,
إِنْ تُبْدُوا الصَّدَقَاتِ فَنِعِمَّا هِيَ ۖوَإِنْ تُخْفُوهَا وَتُؤْتُوهَا الْفُقَرَاءَ فَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ ۚوَيُكَفِّرُ عَنْكُمْ مِنْ سَيِّئَاتِكُمْ ۗوَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
“Jika kamu menampakkan sedekah(mu), maka itu adalah baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu. Dan Allah akan menghapuskan dari kamu sebagian kesalahan-kesalahanmu; dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Baqarah: 271)
Juga hadits yang menunjukkan amalan yang ikhlas karena Allah lebih berpahala besar dapat dilihat dari hadits tentang tujuh golongan yang akan mendapatkan naungan Allah pada hari kiamat, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا حَتَّى لَا تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِيْنُهُ
“Seseorang yang bersedekah dengan satu sedekah lalu ia menyembunyikannya sehingga tangan kirinya tidak tahu apa yang diinfaqkan tangan kanannya.” (HR. Bukhari, no. 1423 dan Muslim, no. 1031)
Karena makin mengikuti tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam makin mudah diterima.
Dari Ummul Mukminin, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.” (HR. Bukhari, no. 20 dan Muslim, no. 1718)
Dalam riwayat Muslim, disebutkan,
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim, no. 1718)
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallampernah menemui ‘Aisyah dan di sisinya ada seorang wanita. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallampun bertanya, “Siapa ini?” ‘Aisyah menjawab, “Si fulanah yang terkenal luar biasa shalatnya.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallampun bersabda,
مَهْ ، عَلَيْكُمْ بِمَا تُطِيقُونَ ، فَوَاللَّهِ لاَ يَمَلُّ اللَّهُ حَتَّى تَمَلُّوا » . وَكَانَ أَحَبَّ الدِّينِ إِلَيْهِ مَا دَامَ عَلَيْهِ صَاحِبُهُ
“Jangan seperti itu. Hendaklah engkau beramal sesuai kemampuanmu. Demi Allah, Allah itu tidak bosan untuk menerima amalanmu hingga engkau sendiri yang bosan. Sesungguhnya amalan yang paling disukai oleh Allah adalah yang dikerjakan secara kontinu.” (HR. Bukhari, no. 43 dan Muslim, no. 485).
Dari Abu Juhaifah Wahb bin ‘Abdullah berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mempersaudarakan antara Salman dan Abu Darda’. Tatkala Salman bertandang (ziarah) ke rumah Abu Darda’, ia melihat Ummu Darda’ (istri Abu Darda’) dalam keadaan mengenakan pakaian yang serba kusut. Salman pun bertanya padanya, “Mengapa keadaan kamu seperti itu?” Wanita itu menjawab, “Saudaramu Abu Darda’ sudah tidak mempunyai hajat lagi pada keduniaan.”
Kemudian Abu Darda’ datang dan ia membuatkan makanan untuk Salman. Setelah selesai Abu Darda’ berkata kepada Salman, “Makanlah, karena saya sedang berpuasa.” Salman menjawab, “Saya tidak akan makan sebelum engkau pun makan.” Maka Abu Darda’ pun makan. Pada malam harinya, Abu Darda’ bangun untuk mengerjakan shalat malam. Salman pun berkata padanya, “Tidurlah.” Abu Darda’ pun tidur kembali.
Ketika Abu Darda’ bangun hendak mengerjakan shalat malam, Salman lagi berkata padanya, “Tidurlah!” Hingga pada akhir malam, Salman berkata, “Bangunlah.” Lalu mereka shalat bersama-sama. Setelah itu, Salman berkata kepadanya,
إِنَّ لِرَبِّكَ عَلَيْكَ حَقًّا ، وَلِنَفْسِكَ عَلَيْكَ حَقًّا ، وَلأَهْلِكَ عَلَيْكَ حَقًّا ، فَأَعْطِ كُلَّ ذِى حَقٍّ حَقَّهُ
“Sesungguhnya bagi Rabbmu ada hak, bagi dirimu ada hak, dan bagi keluargamu juga ada hak. Maka penuhilah masing-masing hak tersebut.“
Kemudian Abu Darda’ mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu menceritakan apa yang baru saja terjadi. Beliau lantas bersabda, “Salman itu benar.” (HR. Bukhari, no. 1968).
Hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah.
Tajrid Al-Ittiba’ fi Bayan Asbab Tafadhul Al-A’maal. Cetakan Tahun 1428 H. Syaikh Ibrahim bin ‘Amir Ar-Ruhaili. Penerbit Dar Al-Imam Ahmad.