يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ ۗ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ

 “Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa,” (QS. Al-Baqarah [2]: 276).

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemakan riba (rentenir atau pemberi hutang riba), penyetor riba (nasabah yang meminjam), penulis transaksi riba (pengajuan hutang riba) dan dua saksi yang menyaksikan transaksi riba.” Kata beliau, “Semuanya sama dalam dosa.” (HR. Muslim, no. 1598).

Kredit Syari’ah akad Murabahah atau Istisnha’ 

Kredit Syariah telah menjadi pilihan utama bagi banyak individu dan perusahaan yang ingin terlibat dalam kegiatan keuangan sesuai dengan prinsip-prinsip syari’at Islam. Prinsip-prinsip ini memberikan dasar yang kuat untuk menjalankan transaksi tanpa melibatkan riba (bunga), spekulasi berlebihan, atau ketidakpastian yang tidak diizinkan dalam Islam.

Prinsip-Prinsip Kredit Syariah

  1. Larangan Riba
    • Salah satu prinsip utama dalam Kredit Syariah adalah larangan riba (bunga). Dalam Islam, riba dianggap sebagai dosa besar. Oleh karena itu, Kredit Syariah beroperasi tanpa mengenakan bunga. Sebaliknya, kredit syariah menggunakan prinsip jual beli (murabahah) atau istishna (pesan bangun) dalam pembiayaan .
  2. Prinsip Jual Beli (Murabahah)
    • Dalam Kredit Syariah, Murabahah adalah salah satu bentuk transaksi pembiayaan syariah yang digunakan dalam perbankan syariah dan lembaga keuangan Islam. Transaksi Murabahah melibatkan penjualan barang atau komoditas kepada pihak yang membutuhkan dengan markup harga tertentu. Ini berarti bahwa penyedia pembiayaan membeli barang yang diminta oleh klien dan kemudian menjualnya kepada klien dengan harga yang lebih tinggi daripada harga beli, sehingga mendapatkan keuntungan.
  3. Prinsip Pesan Bangun (istishna)
    • Prinsip pesan bangun (istishna) adalah salah satu bentuk kontrak dalam hukum keuangan Islam, yang sering digunakan dalam pembiayaan proyek konstruksi dan pembuatan barang khusus. Istishna memungkinkan seseorang atau lembaga untuk memesan barang yang belum ada, biasanya dalam bentuk proyek konstruksi atau manufaktur, dengan persyaratan tertentu yang diatur dalam kontrak. Ini adalah cara yang digunakan dalam keuangan Islam untuk mendukung proyek-proyek pembangunan dan manufaktur dengan mematuhi prinsip-prinsip syariah.
  4. Transparansi dan Kejujuran
    • Kredit Syariah mendorong transparansi dan kejujuran dalam setiap transaksi. Semua pihak yang terlibat diharapkan untuk memberikan informasi yang jujur ​​dan lengkap tentang aset, pendapatan, dan risiko yang terkait dengan transaksi tersebut.
  5. Manfaat Sosial dan Ekonomi
    • Kredit Syariah juga berfokus pada memberikan manfaat sosial dan ekonomi yang lebih besar kepada masyarakat. Mereka mendukung proyek-proyek yang berkontribusi pada kesejahteraan umum dan menjaga keseimbangan ekonomi dalam masyarakat.
  6. Keselarasan dengan Nilai-Nilai Islam
    • Prinsip-prinsip Kredit Syariah dirancang untuk selaras dengan nilai-nilai Islam, seperti keadilan, kejujuran, dan keberdayaan ekonomi masyarakat. Ini membuatnya menjadi pilihan yang sesuai bagi individu dan bisnis yang ingin memenuhi prinsip-prinsip agama mereka dalam aktivitas keuangan.

Prinsip-prinsip Kredit Syariah menciptakan kerangka kerja yang adil dan berkelanjutan dalam dunia keuangan Islam. Dengan larangan riba, penerapan prinsip kemitraan, dan fokus pada manfaat sosial, Kredit Syariah menjadi alat yang kuat untuk mencapai tujuan ekonomi yang sejalan dengan nilai-nilai Islam. Semakin banyak individu dan perusahaan yang mengadopsi prinsip-prinsip ini, semakin besar kontribusi mereka terhadap perkembangan ekonomi yang berkelanjutan dan adil.

Dalam buku harta haram muamalah kontemporer yang ditulis oleh Ust.Dr,Erwandi Tarmizi, menjelaskan tentang kredit syari’ah akan terlepas dari riba jika memenuhi hal berikut ini;

  1. Akadnya tidak dimaksudkan untuk melegalkan riba, seperti dalam jual-beli ‘inah.
  2. Barang terlebih dahulu dimiliki penjual sebelum akad jual-beli kredit dilangsungkan. Pihak jasa kredit tidak boleh lebih dahulu melangsungkan akad jual-beli kredit motor dengan konsumennya, kemudian baru setelah ia melakukan akad jual-beli dengan dealer (memesan motor dan membayarnya), lalu menyerahkannya kepada pembeli.
  3. Pihak penjual kredit tidak boleh menjual barang yang “telah dibeli tetapi belum ada serah terima dan belum berada dalam genggaman tangannya.
  4. Barang yang dijual bukan merupakan emas, perak, atau mata uang. Tidak boleh menjual emas dengan kredit karena termasuk dalam riba jual beli (riba buyu’).
  5. Barang yang dijual secara kredit harus diterima pembeli secara langsung saat akad terjadi. Transaksi jual-beli kredit tidak boleh dilakukan dilakukan hari ini dan barang diterima pada keesokan harinya, karena nanti termasuk jual beli utang dengan utang yang diharamkan.
  6. Pada saat transaksi dibuat, beberapa hal harus ditetapkan dengan jelas: (1) satu harga yang akan digunakan, (2) besarnya angsuran, (3) serta jangka waktu pembayaran yang tidak boleh melebihi dari akad.
  7. Akad jual beli kredit harus tegas. Akad tidak boleh dibuat dengan cara beli sewa (leasing).
  8. Tidak boleh ada persyaratan kewajiban membayar denda atau harga barang menjadi bertambah walau dalam bentuk sedekah, jika pembeli terlambat membayar angsuran karena ini adalah bentuk riba yang dilakukan oleh orang-orang jahiliyah pada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Lihat Harta Haram Muamalat Kontemporer, hlm. 385-386; Masail Mu’ashirah mimma Ta’ummu bihi Al-Balwa, hlm. 83-84.)

Ingin Kredit Barang?

Anda bisa mengajukan kredit barang elektornik, furniture, HP, Laptop, motor, alat kebutuhan kantor, dan barang fisik lainnya yang halal.