Para ulama sering menjelaskan tiga prinsip akidah yang harus jadi pegangan setiap muslim. Jika prinsip ini dipegang, barulah ia disebut muslim sejati.
Para ulama mengatakan, Islam adalah:
الاستسلام لله بالتوحيد والانقياد له بالطاعة والبراءة من الشرك وأهله
“Berserah diri pada Allah dengan mentauhidkan-Nya, patuh kepada-Nya dengan melakukan ketaatan dan berlepas diri dari syirik dan pelaku syirik.”
Prinsip pertama: Berserah diri pada Allah dengan bertauhid
Maksud prinsip ini adalah beribadah murni kepada Allah semata, tidak pada yang lainnya. Siapa yang tidak berserah diri kepada Allah, maka ia termasuk orang-orang yang sombong. Begitu pula orang yang berserah diri pada Allah juga pada selain-Nya (artinya: Allah itu diduakan dalam ibadah), maka ia disebut musyrik. Yang berserah diri pada Allah semata, itulah yang disebut muwahhid (ahli tauhid).
Tauhid adalah mengesakan Allah dalam ibadah. Sesembahan itu beraneka ragam, orang yang bertauhid hanya menjadikan Allah sebagai satu-satunya sesembahan. Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا إِلَهًا وَاحِدًا لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ
“Padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (QS. At Taubah: 31).
Begitu pula Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ibadah kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (QS. Al Bayyinah: 5).
Dalam ayat lain, Allah menyebutkan mengenai Islam sebagai agama yang lurus,
إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ أَمَرَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
“Hukum itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Yusuf: 40). Inilah yang disebut Islam. Sedangkan yang berbuat syirik dan inginnya melestarikan syirik atas nama tradisi, tentu saja tidak berprinsip seperti ajaran Islam yang dituntunkan.
Prinsip kedua: Taat kepada Allah dengan melakukan ketaatan
Orang yang bertauhid berarti berprinsip pula menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Ketaatan berarti menjalankan perintah dan menjauhi larangan. Jadi tidak cukup menjadi seorang muwahhid (meyakini Allah itu diesakan dalam ibadah) tanpa ada amal.
Prinsip ketiga: Berlepas diri dari syirik dan pelaku syirik
Tidak cukup seseorang berprinsip dengan dua prinsip di atas. Tidak cukup ia hanya beribadah kepada Allah saja, ia juga harus berlepas diri dari syirik dan pelaku syirik. Jadi prinsip seorang muslim adalah ia meyakini batilnya kesyirikan dan ia pun mengkafirkan orang-orang musyrik. Seorang muslim harus membenci dan memusuhi mereka karena Allah. Karena prinsip seorang muslim adalah mencintai apa dan siapa yang Allah cintai dan membenci apa dan siapa yang Allah benci.
Demikianlah dicontohkan oleh Ibrahim ‘alaihis salam di mana beliau dan orang-orang yang bersama beliau[1] berlepas diri dari orang-orang musyrik. Saksikan pada ayat,
قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَآَءُ مِنْكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ
“Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: “Sesungguhnya kami berlepas diri daripada kamu dari daripada apa yang kamu sembah selain Allah.” (QS. Al Mumtahanah: 4). Ibrahim berlepas diri dari orang musyrik dan sesembahan mereka.
كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ
“Kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja.” (QS. Al Mumtahanah: 4).
Dalam ayat lain disebutkan pula,
لَا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آَبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ
“Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka.” (QS. Al Mujadilah: 22).
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا آَبَاءَكُمْ وَإِخْوَانَكُمْ أَوْلِيَاءَ إِنِ اسْتَحَبُّوا الْكُفْرَ عَلَى الْإِيمَانِ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“Hai orang-orang beriman, janganlah kamu jadikan bapak-bapak dan saudara-saudaramu menjadi wali(mu), jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan dan siapa di antara kamu yang menjadikan mereka wali, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. At Taubah: 23).
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia.” (QS. Al Mumtahanah: 1).
Demikianlah tiga prinsip agar disebut muslim sejati, yaitu bertauhid, melakukan ketaatan dan berlepas diri dari syirik dan pelaku syirik.
Semoga Allah memudahkan kita menjadi hamba-hambaNya yang bertauhid.
(*) Dikembangkan dari tulisan Syaikhuna -guru kami- Dr. Sholih bin Fauzan bin ‘Abdillah Al Fauzan –hafizhohullah– dalam kitab “Durus fii Syarh Nawaqidhil Islam”, terbitan Maktabah Ar Rusyd, tahun 1425 H, hal. 14-16.
@ Sakan Thullab Mabna 27 King Saud University, Riyadh, KSA, 15 Syawal 1433 H
Akidah yang dijelaskan oleh Imam Al-Muzani dalam Syarhus Sunnah adalah akidah generasi pertama dari umat ini. Mereka adalah sebaik-baik generasi. Sebagaimana disebutkan dalam hadits ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِى ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
“Sebaik-baik generasi adalah generasi pada zamanku (sahabat nabi), kemudian generasi setelahnya (tabiin).” (HR. Bukhari, no. 2652 dan Muslim, no. 2533)
Karena Allah memuji iman mereka sebagaimana membicarakan tentang ahli kitab,
فَاِنْ اٰمَنُوْا بِمِثْلِ مَآ اٰمَنْتُمْ بِهٖ فَقَدِ اهْتَدَوْا ۚ
“Maka jika mereka telah beriman sebagaimana yang kamu imani, sungguh, mereka telah mendapat petunjuk.” (QS. Al-Baqarah: 137). Artinya, jika mereka beriman sebagaimana para sahabat itu beriman, tentu mereka akan mendapatkan petunjuk.
Para tabiin juga mengikuti akidah ini dengan baik. Mereka mengikuti para sahabat yang telah mendapatkan petunjuk.
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata,
اتَّبِعُوا وَلاَ تَبْتَدِعُوا فَقَدْ كُفِيتُمْ
“Ikutilah nabi dan janganlah berbuat bidah. Ajaran nabi itu sudah mencukupimu.” (HR. Ad-Darimi dalam sunannya, 211 dan Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir, no. 8770). Bidah adalah amalan yang tidak ada tuntunan dan tidak ada dalil.
Kita disuruh mengikuti kebenaran. As-sadad dalam perkataan Imam Al-Muzani berarti mengikuti kebenaran. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan,
إنَّ الدِّينَ يُسْرٌ، ولَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أحَدٌ إلَّا غَلَبَهُ، فَسَدِّدُوا وقَارِبُوا، وأَبْشِرُوا، واسْتَعِينُوا بالغَدْوَةِ والرَّوْحَةِ وشيءٍ مِنَ الدُّلْجَةِ
“Sesungguhnya agama ini mudah, dan tidaklah seseorang berlebih-lebihan dalam urusan agama melainkan agama akan mengalahkannya. Ikutilah kebenaran. Jika tidak bisa, dekatilah idealnya. Bergembiralah, dan minta tolonglah kepada Allah pada pagi, sore, dan sebagian dari waktu malam.” (HR. Bukhari, no. 39 dan Muslim, no. 2818)
Imam Al-Muzani berkata,
لَمْ يَرْغَبُوْا عَنِ اْلاِتِّبَاعِ فَيُقَصِّرُوْا , وَلَمْ يُجَاوِزُوْهُ تَزَيُّدًا فَيَعْتَدُوا
“Mereka tidaklah membenci sikap ittiba’ (mengikuti Al-Qur’an dan ajaran Nabi), ini dianggap sebagai bentuk taqshir (menyepelekan). Mereka tidak pula menambah dari wahyu yang telah ada, ini dianggap melampaui batas (ghuluw).”
Kalimat ini adalah isyarat agar bersikap wasithiyyah (pertengahan), antara ghuluw (berlebih-lebihan) dan al-jafaa’ (meremehkan). Para salaf tidaklah membenci mengikuti Al-Qur’an dan As-Sunnah, ini disebut taqshir (menyepelekan). Mereka juga tidaklah berlebihan dalam beragama yang disebut ghuluw.
Anas bin Malik berkata,
جَاءَ ثَلاَثَةُ رَهْطٍ إِلَى بُيُوتِ أَزْوَاجِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – يَسْأَلُونَ عَنْ عِبَادَةِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – فَلَمَّا أُخْبِرُوا كَأَنَّهُمْ تَقَالُّوهَا فَقَالُوا وَأَيْنَ نَحْنُ مِنَ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – قَدْ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ . قَالَ أَحَدُهُمْ أَمَّا أَنَا فَإِنِّى أُصَلِّى اللَّيْلَ أَبَدًا . وَقَالَ آخَرُ أَنَا أَصُومُ الدَّهْرَ وَلاَ أُفْطِرُ . وَقَالَ آخَرُ أَنَا أَعْتَزِلُ النِّسَاءَ فَلاَ أَتَزَوَّجُ أَبَدًا . فَجَاءَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فَقَالَ « أَنْتُمُ الَّذِينَ قُلْتُمْ كَذَا وَكَذَا أَمَا وَاللَّهِ إِنِّى لأَخْشَاكُمْ لِلَّهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ ، لَكِنِّى أَصُومُ وَأُفْطِرُ ، وَأُصَلِّى وَأَرْقُدُ وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ ، فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِى فَلَيْسَ مِنِّى »
“Ada tiga orang yang pernah datang ke rumah istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka bertanya tentang ibadah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika mereka diberitahu, tanggapan mereka seakan-akan menganggap apa yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa-biasa saja.
Mereka berkata, “Di mana kita dibandingkan dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam? Padahal dosa beliau yang lalu dan akan datang telah diampuni.”
Salah satu dari mereka lantas berkata, “Adapun saya, saya akan shalat malam selamanya.”
Yang lain berkata, “Saya akan berpuasa terus menerus, tanpa ada hari untuk tidak berpuasa.”
Yang lain berkata pula, “Saya akan meninggalkan wanita dan tidak akan menikah selamanya.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas berkata, “Kaliankah yang berkata demikian dan demikian. Demi Allah, aku sendiri yang paling takut pada Allah dan paling bertakwa kepada-Nya. Aku sendiri tetap puasa, tetapi ada waktu untuk istirahat tidak berpuasa. Aku sendiri mengerjakan shalat malam, tetapi ada waktu untuk tidur. Aku sendiri menikahi wanita. Siapa yang membenci ajaranku, maka ia tidak termasuk golonganku.” (HR. Bukhari, no. 5063 dan Muslim, no. 1401)
Yang dimaksud hadits ‘siapa yang membenci ajaranku …’ sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Hajar,
مَنْ تَرَكَ طَرِيقَتِي وَأَخَذَ بِطَرِيقَةِ غَيْرِي فَلَيْسَ مِنِّي
“Siapa yang meninggalkan jalanku, lalu menempuh jalan selainku, maka tidak termasuk golonganku.” (Fath Al-Bari, 9:105)
Untuk mengikuti kebenaran, semuanya hanyalah dengan taufik dan hidayah dari Allah. Allah Ta’ala berfirman,
مَنْ يَهْدِ اللَّهُ فَهُوَ الْمُهْتَدِي ۖ وَمَنْ يُضْلِلْ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ
“Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk; dan barangsiapa yang disesatkan Allah, maka merekalah orang-orang yang merugi.” (QS. Al-A’raf: 178)
Referensi:
A. Definisi ‘Aqidah
‘Aqidah (اَلْعَقِيْدَةُ) menurut bahasa Arab (etimologi) berasal dari kata al-‘aqdu (الْعَقْدُ) yang berarti ikatan, at-tautsiiqu (التَّوْثِيْقُ) yang berarti kepercayaan atau keyakinan yang kuat, al-ihkaamu (اْلإِحْكَامُ) yang artinya mengokohkan (menetapkan), dan ar-rabthu biquw-wah (الرَّبْطُ بِقُوَّةٍ) yang berarti mengikat dengan kuat.[1]
Sedangkan menurut istilah (terminologi): ‘aqidah adalah iman yang teguh dan pasti, yang tidak ada keraguan sedikit pun bagi orang yang meyakininya.
Jadi, ‘Aqidah Islamiyyah adalah keimanan yang teguh dan bersifat pasti kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan segala pelaksanaan kewajiban, bertauhid[2] dan taat kepada-Nya, beriman kepada Malaikat-malaikat-Nya, Rasul-rasul-Nya, Kitab-kitab-Nya, hari Akhir, takdir baik dan buruk dan mengimani seluruh apa-apa yang telah shahih tentang Prinsip-prinsip Agama (Ushuluddin), perkara-perkara yang ghaib, beriman kepada apa yang menjadi ijma’ (konsensus) dari Salafush Shalih, serta seluruh berita-berita qath’i (pasti), baik secara ilmiah maupun secara amaliyah yang telah ditetapkan menurut Al-Qur-an dan As-Sunnah yang shahih serta ijma’ Salafush Shalih.[3]
B. Objek Kajian Ilmu ‘Aqidah[4]
‘Aqidah jika dilihat dari sudut pandang sebagai ilmu -sesuai konsep Ahlus Sunnah wal Jama’ah- meliputi topik-topik: Tauhid, Iman, Islam, masalah ghaibiyyaat (hal-hal ghaib), kenabian, takdir, berita-berita (tentang hal-hal yang telah lalu dan yang akan datang), dasar-dasar hukum yang qath’i (pasti), seluruh dasar-dasar agama dan keyakinan, termasuk pula sanggahan terhadap ahlul ahwa’ wal bida’ (pengikut hawa nafsu dan ahli bid’ah), semua aliran dan sekte yang menyempal lagi menyesatkan serta sikap terhadap mereka.
Disiplin ilmu ‘aqidah ini mempunyai nama lain yang sepadan dengannya, dan nama-nama tersebut berbeda antara Ahlus Sunnah dengan firqah-firqah (golongan-golongan) lainnya.
Penamaan ‘Aqidah Menurut Ahlus Sunnah:
Di antara nama-nama ‘aqidah menurut ulama Ahlus Sunnah adalah:
Al-Iman
‘Aqidah disebut juga dengan al-Iman sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur-an dan hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena ‘aqidah membahas rukun iman yang enam dan hal-hal yang berkaitan dengannya. Sebagaimana penyebutan al-Iman dalam sebuah hadits yang masyhur disebut dengan hadits Jibril Alaihissallam. Dan para ulama Ahlus Sunnah sering menyebut istilah ‘aqidah dengan al-Iman dalam kitab-kitab mereka.[5]
‘Aqidah (I’tiqaad dan ‘Aqaa-id)
Para ulama Ahlus Sunnah sering menyebut ilmu ‘aqidah dengan istilah ‘Aqidah Salaf: ‘Aqidah Ahlul Atsar dan al-I’tiqaad di dalam kitab-kitab mereka.[6]
Tauhid
‘Aqidah dinamakan dengan Tauhid karena pembahasannya berkisar seputar Tauhid atau pengesaan kepada Allah di dalam Rububiyyah, Uluhiyyah dan Asma’ wa Shifat. Jadi, Tauhid merupakan kajian ilmu ‘aqidah yang paling mulia dan merupakan tujuan utamanya. Oleh karena itulah ilmu ini disebut dengan ilmu Tauhid secara umum menurut ulama Salaf.[7]
As-Sunnah
As-Sunnah artinya jalan. ‘Aqidah Salaf disebut As-Sunnah karena para penganutnya mengikuti jalan yang ditempuh oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabat Radhiyallahu anhum di dalam masalah ‘aqidah. Dan istilah ini merupakan istilah masyhur (populer) pada tiga generasi pertama.[8]
Ushuluddin dan Ushuluddiyanah
Ushul artinya rukun-rukun Iman, rukun-rukun Islam dan masalah-masalah yang qath’i serta hal-hal yang telah menjadi kesepakatan para ulama.[9]
Al-Fiqhul Akbar
Ini adalah nama lain Ushuluddin dan kebalikan dari al-Fiqhul Ashghar, yaitu kumpulan hukum-hukum ijtihadi.[10]
Asy-Syari’ah
Maksudnya adalah segala sesuatu yang telah ditetapkan oleh Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya berupa jalan-jalan petunjuk, terutama dan yang paling pokok adalah Ushuluddin (masalah-masalah ‘aqidah).[11]
Itulah beberapa nama lain dari ilmu ‘Aqidah yang paling terkenal, dan adakalanya kelompok selain Ahlus Sunnah menamakan ‘aqidah mereka dengan nama-nama yang dipakai oleh Ahlus Sunnah, seperti sebagian aliran Asyaa’irah (Asy’ariyyah), terutama para ahli hadits dari kalangan mereka.
Penamaan ‘Aqidah Menurut Firqah (Sekte) Lain:
Ada beberapa istilah lain yang dipakai oleh firqah (sekte) selain Ahlus Sunnah sebagai nama dari ilmu ‘aqidah, dan yang paling terkenal di antaranya adalah:
Ilmu Kalam
Penamaan ini dikenal di seluruh kalangan aliran teologis mu-takallimin (pengagung ilmu kalam), seperti aliran Mu’tazilah, Asyaa’irah[12] dan kelompok yang sejalan dengan mereka. Nama ini tidak boleh dipakai, karena ilmu Kalam itu sendiri merupa-kan suatu hal yang baru lagi diada-adakan dan mempunyai prinsip taqawwul (mengatakan sesuatu) atas Nama Allah dengan tidak dilandasi ilmu.
Baca Juga Ziarah Kubur
Dan larangan tidak bolehnya nama tersebut dipakai karena bertentangan dengan metodologi ulama Salaf dalam menetapkan masalah-masalah ‘aqidah.
Filsafat
Istilah ini dipakai oleh para filosof dan orang yang sejalan dengan mereka. Ini adalah nama yang tidak boleh dipakai dalam ‘aqidah, karena dasar filsafat itu adalah khayalan, rasionalitas, fiktif dan pandangan-pandangan khurafat tentang hal-hal yang ghaib.
Tashawwuf
Istilah ini dipakai oleh sebagian kaum Shufi, filosof, orientalis serta orang-orang yang sejalan dengan mereka. Ini adalah nama yang tidak boleh dipakai dalam ‘aqidah, karena merupakan pe-namaan yang baru lagi diada-adakan. Di dalamnya terkandung igauan kaum Shufi, klaim-klaim dan pengakuan-pengakuan khurafat mereka yang dijadikan sebagai rujukan dalam ‘aqidah.
Penamaan Tashawwuf dan Shufi tidak dikenal pada awal Islam. Penamaan ini terkenal (ada) setelah itu atau masuk ke dalam Islam dari ajaran agama dan keyakinan selain Islam.
Dr. Shabir Tha’imah memberi komentar dalam kitabnya, ash-Shuufiyyah Mu’taqadan wa Maslakan: “Jelas bahwa Tashawwuf dipengaruhi oleh kehidupan para pendeta Nasrani, mereka suka memakai pakaian dari bulu domba dan berdiam di biara-biara, dan ini banyak sekali. Islam memutuskan kebiasaan ini ketika ia membebaskan setiap negeri dengan tauhid. Islam memberikan pengaruh yang baik terhadap kehidupan dan memperbaiki tata cara ibadah yang salah dari orang-orang sebelum Islam.”[13]
Syaikh Dr. Ihsan Ilahi Zhahir (wafat th. 1407 H) rahimahullah berkata di dalam bukunya at-Tashawwuful-Mansya’ wal Mashaadir: “Apabila kita memperhatikan dengan teliti tentang ajaran Shufi yang pertama dan terakhir (belakangan) serta pendapat-pendapat yang dinukil dan diakui oleh mereka di dalam kitab-kitab Shufi baik yang lama maupun yang baru, maka kita akan melihat dengan jelas perbedaan yang jauh antara Shufi dengan ajaran Al-Qur-an dan As-Sunnah. Begitu juga kita tidak pernah melihat adanya bibit-bibit Shufi di dalam perjalanan hidup Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabat beliau Radhiyallahu anhum, yang mereka adalah (sebaik-baik) pilihan Allah Subhanahu wa Ta’ala dari para hamba-Nya (setelah para Nabi dan Rasul). Sebaliknya, kita bisa melihat bahwa ajaran Tashawwuf diambil dari para pendeta Kristen, Brahmana, Hindu, Yahudi, serta ke-zuhudan Budha, konsep asy-Syu’ubi di Iran yang merupakan Majusi di periode awal kaum Shufi, Ghanusiyah, Yunani, dan pemikiran Neo-Platonisme, yang dilakukan oleh orang-orang Shufi belakangan.”[14]
Syaikh ‘Abdurrahman al-Wakil rahimahullah berkata di dalam kitabnya, Mashra’ut Tashawwuf: “Sesungguhnya Tashawwuf itu adalah tipuan (makar) paling hina dan tercela. Syaithan telah membuat hamba Allah tertipu dengannya dan memerangi Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sesungguhnya Tashawwuf adalah (sebagai) kedok Majusi agar ia terlihat sebagai seorang yang ahli ibadah, bahkan juga kedok semua musuh agama Islam ini. Bila diteliti lebih mendalam, akan ditemui bahwa di dalam ajaran Shufi terdapat ajaran Brahmanisme, Budhisme, Zoroasterisme, Platoisme, Yahudi, Nasrani dan Paganisme.”[15]
Ilaahiyyat (Teologi)
Illahiyat adalah kajian ‘aqidah dengan metodologi filsafat. Ini adalah nama yang dipakai oleh mutakallimin, para filosof, para orientalis dan para pengikutnya. Ini juga merupakan penamaan yang salah sehingga nama ini tidak boleh dipakai, karena yang mereka maksud adalah filsafatnya kaum filosof dan penjelasan-penjelasan kaum mutakallimin tentang Allah Subhanahu wa Ta’ala menurut persepsi mereka.
Kekuatan di Balik Alam Metafisik
Sebutan ini dipakai oleh para filosof dan para penulis Barat serta orang-orang yang sejalan dengan mereka. Nama ini tidak boleh dipakai, karena hanya berdasar pada pemikiran manusia semata dan bertentangan dengan Al-Qur-an dan As-Sunnah.
Baca Juga Wajibnya Mencintai Dan Mengagungkan Nabi Muhammad Serta Larangan Ghuluw
Banyak orang yang menamakan apa yang mereka yakini dan prinsip-prinsip atau pemikiran yang mereka anut sebagai keyakinan sekalipun hal itu palsu (bathil) atau tidak mempunyai dasar (dalil) ‘aqli maupun naqli. Sesungguhnya ‘aqidah yang mempunyai pengertian yang benar yaitu ‘aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang bersumber dari Al-Qur-an dan hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih serta Ijma’ Salafush Shalih.
[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi’i, Po Box 7803/JACC 13340A Jakarta, Cetakan Ketiga 1427H/Juni 2006M]
_______
Footnote
[1] Lisaanul ‘Arab (IX/311: عقد) karya Ibnu Manzhur (wafat th. 711 H) t dan Mu’jamul Wasiith (II/614: عقد).
[2] Tauhid Rububiyyah, Uluhiyyah, dan Asma’ wa Shifat Allah.
[3] Lihat Buhuuts fii ‘Aqiidah Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah (hal. 11-12) oleh Dr. Nashir bin ‘Abdul Karim al-‘Aql, cet. II/ Daarul ‘Ashimah/ th. 1419 H, ‘Aqiidah Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah (hal. 13-14) karya Syaikh Muhammad bin Ibrahim al-Hamd dan Mujmal Ushuul Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah fil ‘Aqiidah oleh Dr. Nashir bin ‘Abdul Karim al-‘Aql.
[4] Lihat Buhuuts fii ‘Aqiidah Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah (hal. 12-14).
[5] Seperti Kitaabul Iimaan karya Imam Abu ‘Ubaid al-Qasim bin Sallam (wafat th. 224 H), Kitaabul Iimaan karya al-Hafizh Abu Bakar ‘Abdullah bin Muhammad bin Abi Syaibah (wafat th. 235 H), al-Imaan karya Ibnu Mandah (wafat th. 359 H) dan Kitabul Iman karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (wafat th. 728 H), رحمهم الله
[6] Seperti ‘Aqiidatus Salaf Ash-haabil Hadiits karya ash-Shabuni (wafat th. 449 H), Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah (hal. 5-6) oleh Imam al-Lalika-i (wafat th. 418 H) dan al-I’tiqaad oleh Imam al-Baihaqi (wafat th. 458 H), رحمهم الله.
[7] Seperti Kitaabut Tauhiid dalam Shahiihul Bukhari karya Imam al-Bukhari (wafat th. 256 H), Kitaabut Tauhiid wa Itsbaat Shifaatir Rabb karya Ibnu Khuzaimah (wafat th. 311 H), Kitaab I’tiqaadit Tauhiid oleh Abu ‘Abdillah Muhammad bin Khafif (wafat th. 371 H), Kitaabut Tauhiid oleh Ibnu Mandah (wafat th. 359 H) dan Kitaabut Tauhiid oleh Muhammad bin ‘Abdil Wahhab (wafat th. 1206 H), رحمهم الله.
[8] Seperti kitab as-Sunnah karya Imam Ahmad bin Hanbal (wafat th. 241 H), as-Sunnah karya ‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal (wafat th. 290 H), as-Sunnah karya al-Khallal (wafat th. 311 H) dan Syarhus Sunnah karya Imam al-Barba-hari (wafat th. 329 H), رحمهم الله.
[9] Seperti kitab Ushuuluddin karya al-Baghdadi (wafat th. 429 H), asy-Syarh wal Ibaanah ‘an Ushuuliddiyaanah karya Ibnu Baththah al-Ukbari (wafat th. 387 H) dan al-Ibaanah ‘an Ushuuliddiyaanah karya Imam Abul Hasan al-Asy’ari (wafat th. 324 H), رحمهم الله.
[10] Seperti kitab al-Fiqhul Akbar karya Imam Abu Hanifah rahimahullah (wafat th. 150)
[11] Seperti kitab asy-Syarii’ah oleh al-Ajurri (wafat th. 360 H) dan al-Ibaanah ‘an Syarii’atil Firqah an-Naajiyah karya Ibnu Baththah
[12] Seperti Syarhul Maqaashid fii ‘Ilmil Kalaam karya at-Taftazani (wafat th. 791 H).
[13] Ash-Shuufiyyah Mu’taqadan wa Maslakan (hal. 17), dikutip dari Haqiiqatuth Tashawwuf karya Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin ‘Abdillah al-Fauzan (hal. 18-19).
[14] At-Tashawwuf al-Mansya’ wal Mashaadir (hal. 50), cet. I/ Idaarah Turjumanis Sunnah, Lahore-Pakistan, th. 1406 H.
[15] Mashra’ut Tashawwuf (hal. 10), cet. I/ Riyaasah Idaaratil Buhuuts al-‘Ilmiyyah wal Iftaa’, th. 1414 H.
Istilah Ahlus Sunnah wal Jama’ah sudah sering kita dengar. Banyak orang atau kelompok yang mengaku berada di atas pemahaman/manhaj Ahlus Sunnah. Terkadang timbul konflik akibat pengakuan-pengakuan tanpa bukti semacam ini. Masing-masing merasa dirinya di atas kebenaran, sedangkan kelompok lain adalah menyimpang. Namun, yang lebih penting untuk kita kaji sekarang adalah, apakah di dalam diri kita sudah terdapat ciri-ciri Ahlus Sunnah?!
Allah ta’ala berfirman,
إِنَّ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا لَسْتَ مِنْهُمْ فِي شَيْءٍ
“Sesungguhnya orang-orang yang suka memecah-belah agama mereka sehingga menjadi bergolong-golongan maka engkau (Muhammad) sama sekali tidak termasuk bagian mereka.” (QS. al-An’am: 159).
Allah ta’ala berfirman,
“Dan berpegang teguhlah kalian dengan tali Allah secara bersama-sama dan jangan berpecah-belah.” (QS. Ali ‘Imran: 103).
Allah ta’ala berfirman,
وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ
“Sesungguhnya ini adalah jalanku yang lurus, maka ikutilah ia! Dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan yang lain, karena hal itu akan memecah-belah kalian dari jalan-Nya.” (QS. al-An’am: 153).
Allah ta’ala berfirman,
وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقًا
“Barangsiapa yang menaati Allah dan rasul, maka mereka itulah orang-orang yang akan bersama dengan kaum yang diberikan kenikmatan oleh Allah, yaitu para nabi, shiddiqin, syuhada’ dan shalihin. Dan mereka itu adalah sebaik-baik teman.” (QS. an-Nisaa’: 69).
Allah ta’ala berfirman,
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
“Barangsiapa yang menentang rasul setelah jelas baginya petunjuk dan dia mengikuti jalan selain orang-orang yang beriman, maka Kami akan membiarkan dia terombang-ambing dalam kesesatan yang dia pilih, dan Kami akan memasukkannya ke dalam Jahannam, dan sesungguhnya Jahannam itu adalah seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. an-Nisaa’: 115).
Allah ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
“Wahai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah rasul serta ulil amri diantara kalian. Kemudian apabila kalian berselisih tentang suatu perkara maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir. Hal itu lebih baik dan lebih bagus hasilnya.” (QS. an-Nisaa’: 59).
Allah ta’ala berfirman,
وَمَا اخْتَلَفْتُمْ فِيهِ مِنْ شَيْءٍ فَحُكْمُهُ إِلَى اللَّهِ
“Dan apa pun yang kalian perselisihkan maka hukumnya adalah kepada Allah.” (QS. asy-Syura: 10).
Allah ta’ala berfirman,
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ
“Tunjukilah kami jalan yang lurus, yaitu jalannya orang-orang yang Engkau beri nikmat kepada mereka. Bukan jalannya orang-orang yang dimurkai, dan bukan pula jalannya orang-orang yang sesat.” (QS. al-Fatihah: 6-7).
Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata, “Sesungguhnya kebenaran itu hanya satu, yaitu jalan Allah yang lurus, tiada jalan yang mengantarkan kepada-Nya selain jalan itu. Yaitu beribadah kepada Allah tanpa mempersekutukan-Nya dengan apapun, dengan cara menjalankan syari’at yang ditetapkan-Nya melalui lisan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, bukan dengan hawa nafsu dan bid’ah-bid’ah.” (lihat at-Tafsir al-Qoyyim, hal. 116-117)
Jalan yang lurus adalah jalannya orang-orang yang bertauhid. Merekalah orang-orang yang telah merealisasikan kandungan ayat Iyyaka na’budu wa Iyyaka nasta’in di dalam hidupnya. Adapun orang-orang musyrik adalah kaum yang dimurkai dan tersesat dari jalan Allah (lihat at-Tafsir al-Qoyyim, hal. 54).
Allah ta’ala berfirman,
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ
“Sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul yang mengajak: Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.” (QS. an-Nahl: 36)
Allah ta’ala berfirman memberitakan ucapan Nabi ‘Isa ‘alaihis salam,
فَاتَّقُوا اللَّهَ وَأَطِيعُونِ إِنَّ اللَّهَ رَبِّي وَرَبُّكُمْ فَاعْبُدُوهُ هَذَا صِرَاطٌ مُسْتَقِيمٌ
“Maka bertakwalah kalian kepada Allah dan taatilah aku. Sesungguhnya Allah adalah Rabbku dan Rabb kalian, maka sembahlah Dia. Inilah jalan yang lurus.” (QS. Ali Imran: 50-51, lihat juga QS. Az-Zukhruf: 63-64).
Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata, “Inilah, yaitu penyembahan kepada Allah, ketakwaan kepada-Nya, serta ketaatan kepada rasul-Nya merupakan ‘jalan lurus’ yang mengantarkan kepada Allah dan menuju surga-Nya, adapun yang selain jalan itu maka itu adalah jalan-jalan yang menjerumuskan ke neraka.”(lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 132)
Allah ta’ala berfirman,
أَلَمْ أَعْهَدْ إِلَيْكُمْ يَا بَنِي آدَمَ أَنْ لَا تَعْبُدُوا الشَّيْطَانَ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ وَأَنِ اعْبُدُونِي هَذَا صِرَاطٌ مُسْتَقِيمٌ
“Bukankah Aku telah berpesan kepada kalian, wahai keturunan Adam; Janganlah kalian menyembah setan. Sesungguhnya dia adalah musuh yang nyata bagi kalian. Dan sembahlah Aku. Inilah jalan yang lurus.” (QS. Yasin: 60-61).
Syaikh as-Sa’di rahimahullah menerangkan, bahwa yang dimaksud ‘menaati setan’ itu mencakup segala bentuk kekafiran dan kemaksiatan. Adapun jalan yang lurus itu adalah beribadah kepada Allah, taat kepada-Nya, dan mendurhakai setan (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 698)
Sebuah realita yang sangat menyedihkan adalah banyak diantara kaum muslimin di masa kita sekarang ini yang mengucapkanIyyaka na’budu wa Iyyaka nasta’in, akan tetapi di sisi lain mereka tidak memperhatikan kandungan maknanya sama sekali. Mereka tidak memurnikan ibadahnya kepada Allah semata. Mereka beribadah kepada selain-Nya. Seperti halnya orang-orang yang berdoa kepada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, Husain, Abdul Qadir Jailani, Badawi, dan lain sebagainya. Ini semua termasuk perbuatan syirik akbar dan dosa yang tidak akan diampuni pelakunya apabila dia mati dalam keadaan belum bertaubat darinya (lihat Tafsir Surah al-Fatihah, hal. 19-20)
Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Orang yang diberikan kenikmatan kepada mereka itu adalah orang yang mengambil ilmu dan amal. Adapun orang yang dimurkai adalah orang-orang yang mengambil ilmu dan meninggalkan amal. Dan orang-orang yang sesat adalah orang-orang yang mengambil amal namun meninggalkan ilmu.” (lihat Syarh Ba’dhu Fawa’id Surah al-Fatihah, hal. 25)
Dari Usamah bin Zaid radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Pada hari kiamat didatangkan seorang lelaki lalu dilemparkan ke dalam neraka. Usus perutnya pun terburai. Dia berputar-putar seperti seekor keledai mengelilingi alat penggilingan. Para penduduk neraka berkumpul mengerumuninya. Mereka pun bertanya kepadanya, “Wahai fulan, apa yang terjadi padamu. Bukankah dulu kamu memerintahkan yang ma’ruf dan melarang yang mungkar?”. Dia menjawab, “Benar. Aku dulu memang memerintahkan yang ma’ruf tapi aku tidak melaksanakannya. Aku juga melarang yang mungkar tetapi aku justru melakukannya.”.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah mengatakan, “Barangsiapa yang rusak di antara ahli ibadah kita maka pada dirinya terdapat kemiripan dengan orang Nasrani. Barangsiapa yang rusak di antara ahli ilmu kita maka pada dirinya terdapat kemiripan dengan orang Yahudi.” Ibnul Qayyim mengatakan, “Hal itu dikarenakan orang Nasrani beribadah tanpa ilmu sedangkan orang Yahudi mengetahui kebenaran akan tetapi mereka justru berpaling darinya.” (lihat Ighatsat al-Lahfan, hal. 36)
Allah ta’ala berfirman mengenai para Sahabat dalam ayat-Nya,
لَقَدْ رَضِيَ اللَّهُ عَنِ الْمُؤْمِنِينَ إِذْ يُبَايِعُونَكَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ
“Sungguh, Allah telah ridha kepada orang-orang yang beriman yaitu ketika mereka bersumpah setia kepadamu (Muhammad) di bawah pohon itu.” (QS. al-Fath: 18).
Ibnu Katsir rahimahullah menyebutkan di dalam tafsirnya bahwa jumlah para sahabat yang ikut serta dalam sumpah setia/bai’at di bawah pohon itu -yang dikenal dengan Bai’atur Ridhwan– adalah 1400 orang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak akan masuk neraka seorang pun di antara orang-orang [para sahabat] yang ikut berbai’at di bawah pohon itu.” (HR. Muslim) (lihat Syarh al-’Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 469)
Imam Bukhari membuat sebuah bab dalam Shahih-nya dengan judul ‘Tanda keimanan adalah mencintai kaum Anshar’ (lihatFath al-Bari [1/79]). Dalilnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tanda keimanan adalah mencintai Anshar, sedangkan tanda kemunafikan adalah membenci Anshar.” (HR. Bukhari).
Dalam riwayat lain dikatakan, “Tidaklah membenci Anshar seorang lelaki yang beriman kepada Allah dan hari akhir.” (HR. Muslim). Dalam riwayat lain lagi disebutkan, “Mencintai Anshar adalah keimanan dan membenci mereka adalah kemunafikan.” (HR. Ahmad)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian mencela para sahabatku. Seandainya ada salah seorang dari kalian yang berinfak emas seberat gunung Uhud, maka tidak akan mengimbangi infak salah seorang di antara mereka, walaupun itu cuma satu mud/dua genggaman tangan, atau bahkan setengahnya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Adapun hadits yang populer, “Para sahabatku seperti bintang-bintang. Dengan siapa pun di antara mereka kamu meneladani maka kalian akan mendapatkan petunjuk.” Ini merupakan hadits yang lemah. al-Bazzar berkata, “Hadits ini tidak sahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tidak pula terdapat dalam kitab-kitab hadits yang menjadi rujukan.” (lihat Syarh al-’Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 468-469)
Imam Abu Zur’ah ar-Razi mengatakan, “Apabila kamu melihat ada seseorang yang menjelek-jelekkan salah seorang Sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka ketahuilah bahwa dia adalah seorang zindik. Hal itu dikarenakan menurut kita Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah membawa kebenaran. Demikian pula, al-Qur’an yang beliau sampaikan adalah benar. Dan sesungguhnya yang menyampaikan kepada kita al-Qur’an dan Sunnah-Sunnah ini adalah para Sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan sesungguhnya mereka -para pencela Sahabat- hanyalah bermaksud untuk menjatuhkan kedudukan para saksi kita demi membatalkan al-Kitab dan as-Sunnah. Maka mereka itu lebih pantas untuk dicela, dan mereka itu adalah orang-orang zindik.” (lihatQathful Jana ad-Daani Syarh Muqaddimah Ibnu Abi Zaid al-Qairuwani, hal. 161)
Salafus shalih atau pendahulu yang baik merupakan sebutan bagi tiga generasi terbaik umat ini, yaitu para sahabat (Muhajirin dan Anshar), tabi’in (murid para sahabat) dan tabi’ut tabi’in (murid para tabi’in). Allah ta’ala berfirman,
وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ
“Dan orang-orang yang terdahulu dan pertama-tama yaitu kaum Muhajirin dan Anshar, serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya.” (QS. at-Taubah: 100).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik manusia adalah di jamanku. Kemudian orang-orang yang mengikuti mereka. Kemudian berikutnya yang mengikutinya sesudahnya.” (HR. Bukhari).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang hidup sepeninggalku maka dia akan melihat banyak perselisihan. Oleh sebab itu wajib atas kalian untuk mengikuti Sunnah/ajaranku dan Sunnah/ajaran Khulafa’ ar-Rasyidin yang berpetunjuk. Gigitlah ia dengan gigi-gigi geraham kalian. Jauhilah perkara-perkara yang diada-adakan. Sesungguhnya setiap bid’ah itu sesat.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi, Tirmidzi berkata: hadits hasan sahih).
Di antara tujuan para ulama menulis kitab Akidah adalah untuk menyelamatkan umat dari pemahaman sesat. Inilah yang dijelaskan juga oleh Imam Al-Muzani ketika mengawali kitab akidah beliau.
Ini adalah doa dari Imam Al-Muzani supaya kita dijaga oleh Allah dari maksiat dan kejelekan dengan bertakwa. Kalimat ‘ishmah dalam doa ini maksudnya adalah agar Allah menyelamatkan kita dari kejelekan. Juga dalam doa di atas, Imam Al-Muzani mendoakan supaya kita diberi petunjuk oleh Allah untuk mengamalkan sunnah Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Al-huda yang dimaksud dalam doa ini adalah syari’at Rasul.
Takwa secara bahasa berarti menjadikan pelindung. Secara istilah syar’i, takwa adalah menjadikan antara diri kita dan azab Allah pelindung dengan menjalan perintah dan menjauhi larangan Allah.
Ibnu Taimiyah rahimahullah memberikan kita penjelasan menarik mengenai pengertian takwa. Beliau rahimahullah berkata, “Takwa adalah seseorang beramal ketaatan pada Allah atas cahaya (petunjuk) dari Allah karena mengharap rahmat-Nya dan ia meninggalkan maksiat karena cahaya (petunjuk) dari Allah karena takut akan siksa-Nya.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 10:433)
Dari Ibnul Musayyib, dari ayahnya, ia berkata, “Ketika menjelang Abu Thalib (paman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) meninggal dunia, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menemuinya. Ketika itu di sisi Abu Thalib terdapat ‘Abdullah bin Abu Umayyah dan Abu Jahl. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan pada pamannya ketika itu,
“Wahai pamanku, katakanlah ‘laa ilaha illalah’ yaitu kalimat yang aku nanti bisa beralasan di hadapan Allah (kelak).”
“Wahai Abu Thalib, apakah engkau tidak suka pada agamanya Abdul Muthallib?” Mereka berdua terus mengucapkan seperti itu, namun kalimat terakhir yang diucapkan Abu Thalib adalah ia berada di atas ajaran Abdul Mutthalib.
“Sungguh aku akan memohonkan ampun bagimu wahai pamanku, selama aku tidak dilarang oleh Allah.”
“Tidak pantas bagi seorang Nabi dan bagi orang-orang yang beriman, mereka memintakan ampun bagi orang-orang yang musyrik, meskipun mereka memiliki hubungan kekerabatan, setelah jelas bagi mereka, bahwa orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka Jahanam.” (QS. At-Taubah: 113)
“Sesungguhnya engkau (Muhammad) tidak bisa memberikan hidayah (ilham dan taufik) kepada orang-orang yang engkau cintai.” (QS. Al-Qasshash: 56) (HR. Bukhari, no. 3884)
Dari pembahasan hadits di atas dapat disimpulkan hidayah itu ada dua macam:
Semoga Allah memperbaiki keadaanmu, sesungguhnya Anda telah meminta kepadaku untuk menjelaskan As-Sunnah dengan penjelasan yang membuat jiwa Anda bisa bersabar dalam berpegang teguh dengannya, dan dengan penjelasan tersebut bisa menolak ucapan-ucapan yang mengandung syubhat (kerancuan), dan penyimpangan orang-orang yang mengada-ada lagi sesat. Aku akan menjelaskan (sebentar lagi) manhaj (metode) yang jelas dan terang benderang dengan sepenuh jiwa, moga sebagai nasihat untukku, juga Anda.
Muqaddimah ini maksudnya ada yang meminta kepada beliau untuk menjelaskan akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, lantas beliau memenuhinya dengan menuliskan risalah ini.
Berpegang teguh dengan Sunnah itu butuh kesabaran dan berat untuk dijalankan.
Akidah ini butuh dijelaskan agar selamat dari berbagai pemikiran menyimpang dan dari berbagai bid’ah yang dibuat-buat oleh orang yang sesat. Beliau menjelaskan dengan sejelas-jelasnya manhaj (metode) beragama yang dimaksud. Yang diharapkan, hal ini sebagai nasihat untuk beliau dan juga yang membaca tulisan beliau.
“Dan Kami kuatkan kerajaannya dan Kami berikan kepadanya hikmah dan kebijaksanaan dalam menyelesaikan perselisihan.” (QS. Shaad: 20).
Hikmah yang dimaksud di sini adalah Kitabullah dan mengikuti isinya, sebagaimana pendapat Qatadah. As-Sudi menyatakan hikmah yang dimaksud adalah nubuwwah (kenabian).
Abu Musa menyatakan bahwa kalimat “Amma Ba’du” pertama kali diucapkan oleh Daud ‘alaihis salam yaitu sebagai fashlul khitab, pemisah pembicaraan. Asy-Sya’bi juga menyatakan bahwa yang dimaksud dengan fashlul khitab adalah kalimat “Amma Ba’du”. Demikian disebutkan dalam Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, karya Ibnu Katsir rahimahullah.
Ucapan Amma Ba’du sendiri punya tujuan untuk masuk dalam materi yang dimaksud. Hal ini dijelaskan oleh Syaikh Khalid bin Mahmud Al-Juhani dalam penjelasan Syarhus Sunnah.
Pertama: Sunnah bisa maksudnya adalah petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam secara umum dalam segala urusan beliau.
Menurut ulama hadits, sunnah adalah ucapan, perbuatan, persetujuan, hingga sifat fisik, dan akhlak Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sedangkan menurut ulama Ushul, sunnah adalah ucapan, perbuatan, dan persetujuan yang dinukil dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kedua: Sunnah digunakan untuk lawan kata dari bid’ah.
Orang yang berpegang teguh dengan sunnah disebut ahli sunnah.
Al-Hafizh Abu ‘Amr bin Ash-Shalah rahimahullah pernah ditanya, sebagian orang bertanya tentang Imam Malik bahwa ia menggabungkan sunnah dan hadits. Lalu apa perbedaan antara As-Sunnah dan Al-Hadits?
Ibnu Ash-Shalah rahimahullah menjawab, “As-Sunnah di sini adalah lawan kata dari bid’ah. Bisa saja seorang menjadi ahli hadits namun ia adalah seorang ahli bid’ah (mubtadi’). Imam Malik—semoga Allah meridhai beliau—menggabungkan dua sunnah. Beliau itu paham masalah sunnah (hadits) dan keyakinan beliau adalah berpegang pada kebenaran (bukan berpegang pada bid’ah). Wallahu a’lam.” (Fatawa Ibnu Ash-Shalah, 1:139-140)
Ketiga: Sunnah berarti dianjurkan, yaitu lawan dari wajib. Istilah ini digunakan oleh para fuqaha (pakar fikih).
Keempat: Istilah As-Sunnah bisa dimaksud juga adalah akidah. Seperti yang disebut dalam muqaddimah Imam Al-Muzani di sini. Di sini akidah disebut dengan sunnah karena tidak ada ruang bagi akal untuk masuk dalam masalah akidah.
Sabar secara bahasa artinya menahan diri. Sabar secara istilah syar’i berarti menahan hati dari murka, menahan lisan dari banyak mengeluh, dan menahan anggota badan dari berbuat yang melampaui batas.
Sabar sendiri ada tiga yaitu sabar dalam ketaatan kepada Allah, sabar dari berbuat maksiat kepada Allah, dan sabar dalam menghadapi ujian (cobaan) dari Allah.
Kenapa kita mesti bersabar ketika menjalankan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam? Hal ini diterangkan dalam hadits-hadits berikut.
“Akan datang kepada manusia suatu zaman, orang yang berpegang teguh pada agamanya seperti orang yang menggenggam bara api.” (HR. Tirmidzi, no. 2260. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini hasan).
“Islam itu akan datang dalam keadaan asing dan kembali lagi dalam keadaan asing seperti awalnya. Beruntunglah orang-orang yang asing.” Lalu ada yang bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallammengenai ghuroba’, lalu beliau menjawab, “(Ghuroba atau orang yang terasing adalah) mereka yang memperbaiki manusia ketika rusak.” (HR. Ahmad, 4:74. Berdasarkan jalur ini, hadits ini dha’if. Namun ada hadits semisal itu riwayat Ahmad, 1:184 dari Sa’ad bin Abi Waqqash dengan sanad jayyid)
“Beruntunglah orang-orang yang terasing.” “Lalu siapa orang yang terasing wahai Rasulullah”, tanya sahabat. Jawab beliau, “Orang-orang yang shalih yang berada di tengah banyaknya orang-orang yang jelek, lalu orang yang mendurhakainya lebih banyak daripada yang mentaatinya.” (HR. Ahmad, 2: 177. Hadits ini hasan lighairihi, kata Syaikh Syu’aib Al-Arnauth)
Dari muqaddimah di atas, diajarkan pula untuk saling menasihati.
“Hak muslim kepada muslim yang lain ada enam.” Beliau shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, ”(1) Apabila engkau bertemu, ucapkanlah salam kepadanya; (2) Apabila engkau diundang, penuhilah undangannya; (3) Apabila engkau dimintai nasihat, berilah nasihat kepadanya; (4) Apabila dia bersin lalu dia memuji Allah (mengucapkan ’alhamdulillah’), doakanlah dia (dengan mengucapkan ’yarhamukallah’); (5) Apabila dia sakit, jenguklah dia; dan (6) Apabila dia meninggal dunia, iringilah jenazahnya (sampai ke pemakaman).” (HR. Muslim, no. 2162)
Wallahu waliyyut taufiq, semoga Allah beri petunjuk.
“Irja’ (pemahaman murji’ah) itu ada dua bentuk. Pertama, mereka yang menangguhkan urusan ‘Ali dan ‘Utsman. Tipe pertama dari Murji’ah sudah lewat masanya. Adapun murji’ah saat ini yang menyatakan bahwa iman itu hanya perkataan tanpa amalan.” (Tahdzib Al-Atsar, 2: 659)
Beberapa keyakinan menyimpang dari Murji’ah:
Disebut Mu’tazilah merujuk pada i’tizalnya (menyingkirnya) Washil bin ‘Atha’ dan ‘Amr bin ‘Ubaid dari majelis (halaqah) Al-Hasan Al-Bashri. Ada saat itu seseorang yang mengungkapkan pada Al-Hasan Al-Bashri, “Wahai imam, telah muncul di zaman kita ini orang-orang yang mengkafirkan pelaku dosa besar. Pelaku dosa besar dihukumi kafir oleh mereka. Mereka menganut paham yang sama dengan Wa’idiyyah yaitu kaum Khawarij dalam hal ini.”
Al-Hasan Al-Bashri kemudian merenung sejenak. Sebelum Al-Hasan Al-Bashri, Washil lantas menimpali, “Aku tidaklah mengatakan bahwa pelaku dosa besar itu mukmin secara mutlak atau kafir secara mutlak. Pelaku dosa besar itu berada pada manzilah bayna manzilatain (di antara dua keadaan), yaitu tidak mukmin, tidak kafir.”
Kemudian Washil keluar, lantas Al-Hasan Al-Bashri memberikan jawaban pada murid-muridnya, “Washil telah i’tizal (menyingkir) dari kita.” Setelah itu diikuti lagi oleh ‘Amr bin ‘Ubaid. Lantas Al-Hasan Al-Bashri dan murid-muridnya menyebut mereka berdua dengan sebutan Mu’tazilah. (Pengantar Kitab Kibar Al-Mu’tazilah wa Dhalaluhum, hlm. 27)
Penyimpangan dari Mu’tazilah adalah:
Muktazilah punya usul khamsah (lima landasan pokok), seperti rukun Islam di kalangan mereka dan lima prinsip ini disepakati oleh kaum Mu’tazilah. Lima prinsip itu adalah:
Sekilas tidak ada masalah dengan 5 pokok di atas. Namun mereka memaksudkan interpretasi yang sesat atas semua pokok tersebut.
Asya’irah adalah kelompok yang menyandarkan pemahamannya pada Abul Hasan Al-Asy’ari. Sedangkan Abul Hasan Al-Asy’ari dalam fase kehidupannya melewati beberapa tahapan.
Pertama, Abul Hasan berpaham Mu’tazilah. Fase ini dijalani selama 40 tahun.
Kedua, beliau merujuk pada pemahaman Kullabiyyah lewat pelopornya ‘Abdullah bin Sa’id bin Kullab. Sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Khuzaimah (nukilannya bisa dilihat di Siyar A’lam An-Nubala’ (14: 380, Penerbit Muassasah Ar-Risalah), Imam Ahmad bin Hambal yang paling santer membantah pemahaman ‘Abdullah bin Sa’id bin Kullab.
Ketiga, merujuk pada pemahaman Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Namun apakah secara keseluruhan, Abul Hasan mengikuti pemahaman Ahlus Sunnah ataukah ada pemahaman Kullabiyah yang masih dianutnya? Di sini para ulama berbeda pandangan. Al-Hafizh Ibnu Katsir dan Syaikh Hafizh Al-Hakami berpendapat bahwa Abul Hasan Al-Asy’ari sudah mengikuti pemahaman Ahlus Sunnah.
Abul Hasan Al-Asy’ari mengatakan dalam kitabnya Al-Ibanah di bagian akhir,
“Perkataan kami yang kami menjadikan bagian dari agama kami adalah berpegang pada Kitabullah dan sunnah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, begitu juga yang diriwayatkan dari sahabat, tabi’in dan para ulama pakar hadits. Kami berpegang teguh pada itu semua. Yang perpegang dengan akidah seperti itu pula adalah Imam Abu ‘Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hambal, semoga Allah mencerahkan wajahnya, mengangkat derajatnya.”
Namun Asya’irah saat ini punya pemahaman yang berbeda dengan Abul Hasan Al-Asy’ari yang pada fase terakhir merujuk pada pemahaman Ahlus Sunnah. Secara lengkap pemahaman Asya’irah ini dibahas oleh Syaikh Safar Al-Hawali dan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin memuji buku karya beliau tersebut untuk dijadikan rujukan. Silakan merujuk pada: https://islamqa.info/ar/226290.
Asya’irah saat ini punya pemahaman menyimpang:
Sampai-sampai Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin menyatakan dalam Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyah (hadits no. 28), hlm. 316 (Penerbit Daruts Tsaraya), “Kitab yang paling bagus membantah Asya’irah adalah kitab karya saudara kami Safar Al-Hawali. Karena kebanyakan orang tak memahami penyimpangan Asya’irah dari madzhab salaf melainkan dalam bahasan Asma’ dan Sifat saja. Padahal sejatinya mereka punya penyimpangan yang banyak.”
Konten Akordion
Ini adalah doa dari Imam Al-Muzani supaya kita dijaga oleh Allah dari maksiat dan kejelekan dengan bertakwa. Kalimat ‘ishmah dalam doa ini maksudnya adalah agar Allah menyelamatkan kita dari kejelekan. Juga dalam doa di atas, Imam Al-Muzani mendoakan supaya kita diberi petunjuk oleh Allah untuk mengamalkan sunnah Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Al-huda yang dimaksud dalam doa ini adalah syari’at Rasul.
Takwa secara bahasa berarti menjadikan pelindung. Secara istilah syar’i, takwa adalah menjadikan antara diri kita dan azab Allah pelindung dengan menjalan perintah dan menjauhi larangan Allah.
Ibnu Taimiyah rahimahullah memberikan kita penjelasan menarik mengenai pengertian takwa. Beliau rahimahullah berkata, “Takwa adalah seseorang beramal ketaatan pada Allah atas cahaya (petunjuk) dari Allah karena mengharap rahmat-Nya dan ia meninggalkan maksiat karena cahaya (petunjuk) dari Allah karena takut akan siksa-Nya.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 10:433)
Dari Ibnul Musayyib, dari ayahnya, ia berkata, “Ketika menjelang Abu Thalib (paman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) meninggal dunia, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menemuinya. Ketika itu di sisi Abu Thalib terdapat ‘Abdullah bin Abu Umayyah dan Abu Jahl. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan pada pamannya ketika itu,
أَىْ عَمِّ ، قُلْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ . كَلِمَةً أُحَاجُّ لَكَ بِهَا عِنْدَ اللَّهِ
“Wahai pamanku, katakanlah ‘laa ilaha illalah’ yaitu kalimat yang aku nanti bisa beralasan di hadapan Allah (kelak).”
Abu Jahl dan ‘Abdullah bin Abu Umayyah berkata,
يَا أَبَا طَالِبٍ ، تَرْغَبُ عَنْ مِلَّةِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ
“Wahai Abu Thalib, apakah engkau tidak suka pada agamanya Abdul Muthallib?” Mereka berdua terus mengucapkan seperti itu, namun kalimat terakhir yang diucapkan Abu Thalib adalah ia berada di atas ajaran Abdul Mutthalib.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian mengatakan,
لأَسْتَغْفِرَنَّ لَكَ مَا لَمْ أُنْهَ عَنْهُ
“Sungguh aku akan memohonkan ampun bagimu wahai pamanku, selama aku tidak dilarang oleh Allah.”
Kemudian turunlah ayat,
مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آَمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَى مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ
“Tidak pantas bagi seorang Nabi dan bagi orang-orang yang beriman, mereka memintakan ampun bagi orang-orang yang musyrik, meskipun mereka memiliki hubungan kekerabatan, setelah jelas bagi mereka, bahwa orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka Jahanam.” (QS. At-Taubah: 113)
Allah Ta’ala pun menurunkan ayat,
إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ
“Sesungguhnya engkau (Muhammad) tidak bisa memberikan hidayah (ilham dan taufik) kepada orang-orang yang engkau cintai.” (QS. Al-Qasshash: 56) (HR. Bukhari, no. 3884)
Dari pembahasan hadits di atas dapat disimpulkan hidayah itu ada dua macam:
—
Muqaddimah ini maksudnya ada yang meminta kepada beliau untuk menjelaskan akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, lantas beliau memenuhinya dengan menuliskan risalah ini.
Berpegang teguh dengan Sunnah itu butuh kesabaran dan berat untuk dijalankan.
Akidah ini butuh dijelaskan agar selamat dari berbagai pemikiran menyimpang dan dari berbagai bid’ah yang dibuat-buat oleh orang yang sesat. Beliau menjelaskan dengan sejelas-jelasnya manhaj (metode) beragama yang dimaksud. Yang diharapkan, hal ini sebagai nasihat untuk beliau dan juga yang membaca tulisan beliau.
Ucapan Amma Ba’du termasuk dalam fashlul khitab yang dimaksudkan dalam ayat yang membicarakan tentang Nabi Daud ‘alaihis salam,
وَشَدَدْنَا مُلْكَهُ وَآتَيْنَاهُ الْحِكْمَةَ وَفَصْلَ الْخِطَابِ
“Dan Kami kuatkan kerajaannya dan Kami berikan kepadanya hikmah dan kebijaksanaan dalam menyelesaikan perselisihan.” (QS. Shaad: 20).
Hikmah yang dimaksud di sini adalah Kitabullah dan mengikuti isinya, sebagaimana pendapat Qatadah. As-Sudi menyatakan hikmah yang dimaksud adalah nubuwwah (kenabian).
Abu Musa menyatakan bahwa kalimat “Amma Ba’du” pertama kali diucapkan oleh Daud ‘alaihis salam yaitu sebagai fashlul khitab, pemisah pembicaraan. Asy-Sya’bi juga menyatakan bahwa yang dimaksud dengan fashlul khitab adalah kalimat “Amma Ba’du”. Demikian disebutkan dalam Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, karya Ibnu Katsir rahimahullah.
Ucapan Amma Ba’du sendiri punya tujuan untuk masuk dalam materi yang dimaksud. Hal ini dijelaskan oleh Syaikh Khalid bin Mahmud Al-Juhani dalam penjelasan Syarhus Sunnah.
Pertama: Sunnah bisa maksudnya adalah petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam secara umum dalam segala urusan beliau.
Menurut ulama hadits, sunnah adalah ucapan, perbuatan, persetujuan, hingga sifat fisik, dan akhlak Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sedangkan menurut ulama Ushul, sunnah adalah ucapan, perbuatan, dan persetujuan yang dinukil dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kedua: Sunnah digunakan untuk lawan kata dari bid’ah.
Orang yang berpegang teguh dengan sunnah disebut ahli sunnah.
Al-Hafizh Abu ‘Amr bin Ash-Shalah rahimahullah pernah ditanya, sebagian orang bertanya tentang Imam Malik bahwa ia menggabungkan sunnah dan hadits. Lalu apa perbedaan antara As-Sunnah dan Al-Hadits?
Ibnu Ash-Shalah rahimahullah menjawab, “As-Sunnah di sini adalah lawan kata dari bid’ah. Bisa saja seorang menjadi ahli hadits namun ia adalah seorang ahli bid’ah (mubtadi’). Imam Malik—semoga Allah meridhai beliau—menggabungkan dua sunnah. Beliau itu paham masalah sunnah (hadits) dan keyakinan beliau adalah berpegang pada kebenaran (bukan berpegang pada bid’ah). Wallahu a’lam.” (Fatawa Ibnu Ash-Shalah, 1:139-140)
Ketiga: Sunnah berarti dianjurkan, yaitu lawan dari wajib. Istilah ini digunakan oleh para fuqaha (pakar fikih).
Keempat: Istilah As-Sunnah bisa dimaksud juga adalah akidah. Seperti yang disebut dalam muqaddimah Imam Al-Muzani di sini. Di sini akidah disebut dengan sunnah karena tidak ada ruang bagi akal untuk masuk dalam masalah akidah.
Sabar secara bahasa artinya menahan diri. Sabar secara istilah syar’i berarti menahan hati dari murka, menahan lisan dari banyak mengeluh, dan menahan anggota badan dari berbuat yang melampaui batas.
Sabar sendiri ada tiga yaitu sabar dalam ketaatan kepada Allah, sabar dari berbuat maksiat kepada Allah, dan sabar dalam menghadapi ujian (cobaan) dari Allah.
Kenapa kita mesti bersabar ketika menjalankan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam? Hal ini diterangkan dalam hadits-hadits berikut.
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَأْتِى عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ الصَّابِرُ فِيهِمْ عَلَى دِينِهِ كَالْقَابِضِ عَلَى الْجَمْرِ
“Akan datang kepada manusia suatu zaman, orang yang berpegang teguh pada agamanya seperti orang yang menggenggam bara api.” (HR. Tirmidzi, no. 2260. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini hasan).
Dari ‘Abdurrahman bin Sannah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
بَدَأَ الإِسْلاَمُ غَرِيباً ثُمَّ يَعُودُ غَرِيباً كَمَا بَدَأَ فَطُوبَى لِلْغُرَبَاءِ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَنِ الْغُرَبَاءُ قَالَ الَّذِينَ يُصْلِحُونَ إِذَا فَسَدَ النَّاسُ
“Islam itu akan datang dalam keadaan asing dan kembali lagi dalam keadaan asing seperti awalnya. Beruntunglah orang-orang yang asing.” Lalu ada yang bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallammengenai ghuroba’, lalu beliau menjawab, “(Ghuroba atau orang yang terasing adalah) mereka yang memperbaiki manusia ketika rusak.” (HR. Ahmad, 4:74. Berdasarkan jalur ini, hadits ini dha’if. Namun ada hadits semisal itu riwayat Ahmad, 1:184 dari Sa’ad bin Abi Waqqash dengan sanad jayyid)
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
طُوبَى لِلْغُرَبَاءِ فَقِيلَ مَنِ الْغُرَبَاءُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ أُنَاسٌ صَالِحُونَ فِى أُنَاسِ سَوْءٍ كَثِيرٍ مَنْ يَعْصِيهِمْ أَكْثَرُ مِمَّنْ يُطِيعُهُمْ
“Beruntunglah orang-orang yang terasing.” “Lalu siapa orang yang terasing wahai Rasulullah”, tanya sahabat. Jawab beliau, “Orang-orang yang shalih yang berada di tengah banyaknya orang-orang yang jelek, lalu orang yang mendurhakainya lebih banyak daripada yang mentaatinya.” (HR. Ahmad, 2: 177. Hadits ini hasan lighairihi, kata Syaikh Syu’aib Al-Arnauth)
Dari muqaddimah di atas, diajarkan pula untuk saling menasihati.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
حَقُّ اَلْمُسْلِمِ عَلَى اَلْمُسْلِمِ سِتٌّ: إِذَا لَقِيتَهُ فَسَلِّمْ عَلَيْهِ, وَإِذَا دَعَاكَ فَأَجِبْهُ, وَإِذَا اِسْتَنْصَحَكَ فَانْصَحْهُ, وَإِذَا عَطَسَ فَحَمِدَ اَللَّهَ فَسَمِّتْهُوَإِذَا مَرِضَ فَعُدْهُ, وَإِذَا مَاتَ فَاتْبَعْهُ
“Hak muslim kepada muslim yang lain ada enam.” Beliau shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, ”(1) Apabila engkau bertemu, ucapkanlah salam kepadanya; (2) Apabila engkau diundang, penuhilah undangannya; (3) Apabila engkau dimintai nasihat, berilah nasihat kepadanya; (4) Apabila dia bersin lalu dia memuji Allah (mengucapkan ’alhamdulillah’), doakanlah dia (dengan mengucapkan ’yarhamukallah’); (5) Apabila dia sakit, jenguklah dia; dan (6) Apabila dia meninggal dunia, iringilah jenazahnya (sampai ke pemakaman).” (HR. Muslim, no. 2162)
Wallahu waliyyut taufiq, semoga Allah beri petunjuk.
Dalam keyakinan yang benar yaitu keyakinan Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang sesuai pemahaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat, iman itu tidak cukup keyakinan dalam hati, tetapi harus diucapkan di lisan dan dibuktikan dalam amal perbuatan anggota badan. Jadi, ada tiga komponen di dalam iman. Jika seseorang mengucapkan laa ilaha illallah, namun tiada amalan dalam hidupnya, seperti enggan untuk shalat sama sekali, maka pengakuannya sebagai muslim hanyalah pengakuan yang dusta.
Dalam hadits dari Abu Hurairah disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الأَذَى عَنِ الطَّرِيقِ وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الإِيمَانِ
“Iman itu ada 70 atau 60 sekian cabang. Yang paling tinggi adalah perkataan ‘laa ilaha illallah’ (tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah), yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalanan, dan sifat malu merupakan bagian dari iman.” (HR. Bukhari no. 9 dan Muslim no. 35).
Iman secara bahasa berarti tashdiq (membenarkan). Sedangkan secara istilah syar’i, iman adalah perkataan di lisan, keyakinan dalam hati, amalan dengan anggota badan, bertambah dengan melakukan ketaatan dan berkurang dengan maksiat.
Disebutkan dalam hadits di atas bahwa cabang iman yang tertinggi ialah kalimat ‘laa ilaha illalah’ (tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah). Kalimat tersebut adalah pokok Islam dan Iman. Kalimat tersebut merupakan rukun pertama dari Islam dan yang bisa membuat seseorang masuk Islam.
Sedangkan cabang iman yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalanan, yang dimaksud di sini adalah menyingkirkan setiap gangguan apa pun. Sedangkan meletakkan gangguan di jalanan termasuk sesuatu yang terlarang. Semisal memarkir mobil di tengah jalan dan mengganggu kendaraan yang lalu lalang, ini termasuk meletakkan gangguan di jalan. Mengalirkan air sehingga mengganggu orang lain di jalan, ini pun termasuk yang terlarang. Begitu pula meletakkan batu sehingga mengganggu di jalan, ini pun terlarang. Apalagi jika sampai meletakkan bom di jalanan, meskipun disebut sebagai jihad! Jika seseorang menyingkirkan gangguan-gangguan tadi dari jalanan, itu menunjukkan keimanannya.
Malu pun termasuk cabang iman. Seseorang yang memiliki sifat malu, maka dirinya akan semakin mempesona dengan akhlaknya yang mulia tersebut. Malu ada dua macam sebagaimana dijelaskan oleh guru kami, Syaikh Sholih Al Fauzan:
1- Malu yang terpuji: Malu yang bisa mengantarkan pada kebaikan dan mencegah dari kejelekan.
2- Malu yang tercela: Malu yang menghalangi seseorang dair berbuat baik, dari menuntut ilmu dan malu bertanya dalam perkara yang dibingungkan.
Cabang iman sebenarnya amatlah banyak, sebagaimana disebutkan ada 60 atau 70 sekian cabang. Bahkan Imam Al Baihaqi memiliki karya tulis dalam masalah cabang-cabang iman ini, yaitu dalam kitab Syu’abul Iman dan kitab ringkasannya pun sudah ada yang tercetak (dalam versi Arabic).
1- Ahlus Sunnah wal Jama’ah: Iman adalah keyakinan dalam hati, perkataan dalam lisan dan amalan dengan anggota badan.
Dalil yang menunjukkan keyakinan ahlus sunnah adalah hadits Abu Hurairah yang telah disebutkan di atas. Perkataan ‘laa ilaha illallah’ menunjukkan bahwa iman harus dengan ucapan di lisan. Menyingkirkan duri dari jalanan menunjukkan bahwa iman harus dengan amalan anggota badan. Sedangkan sifat malu menunjukkan bahwa iman harus dengan keyakinan dalam hati, karena sifat malu itu di hati. Inilah dalil yang menunjukkan keyakinan ahlu sunnah di atas. Sehingga iman yang benar jika terdapat tiga komponen di dalamnya yaitu (1) keyakinan dalam hati, (2) ucapan di lisan, dan (3) amalan dengan anggota badan.
Secara jelas keyakinan Ahlus Sunnah mengenai iman termaktub dalam perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Al ‘Aqidah Al Wasithiyyah di mana beliau berkata,
فَصْلٌ : وَمِنْ أُصُولِ أَهْلِ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ أَنَّ الدِّينَ وَالْإِيمَانَ قَوْلٌ وَعَمَلٌ ، قَوْلُ الْقَلْبِ وَاللِّسَانِ ، وَعَمَلُ الْقَلْبِ وَاللِّسَانِ وَالْجَوَارِحِ ، وَأَنَّ الْإِيمَانَ يَزِيدُ بِالطَّاعَةِ ، وَيَنْقُصُ بِالْمَعْصِيَةِ .
“Fasal: Di antara pokok akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, bahwa agama dan iman terdiri dari: perkataan dan amalan, perkataan hati dan lisan, amalan hati, lisan dan anggota badan. Iman itu bisa bertambah dengan melakukan ketaatan dan bisa berkurang karena maksiat.”
2- Murji’ah: Iman adalah keyakinan dalam hati dan ucapan di lisan saja.
3- Karomiyah: Iman adalah ucapan di lisan saja.
4- Jabariyyah: Iman adalah pengenalan dalam hati saja.
5- Mu’tazilah: Iman adalah keyakinan dalam hati, ucapan dalam lisan dan amalan anggota badan. Namun ada sisi yang membedakan Mu’tazilah dan Ahlus Sunnah. Mu’tazilah menganggap bahwa pelaku dosa besar hilang darinya cap iman secara total dan kekal di neraka. Sedangkan Ahlus Sunnah, pelaku dosa besar masih diberi cap iman, akan tetapi ia dikatakan kurang imannya dan tidak kekal dalam neraka jika memasukinya.
Pembahasan akidah berikutnya yang akan Rumaysho.com ulas adalah bahasan iman itu bertambah dan berkurang. Tidak seperti keyakinan sebagian kalangan bahwa iman itu hanya terus ajeg (tetap).
Semoga Allah memudahkan kita untuk memahami iman dengan benar.
Hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah.
Referensi:
Syarh Al Ushul Ats Tsalatsah, -guru kami- Syaikh Sholih Al Fauzan, terbitan Muassasah Ar Risalah, cetakan pertama, tahun 1427 H.
Syarh Al ‘Aqidah Al Wasithiyyah li Syaikhil Islam Ibni Taimiyah, -guru kami- Syaikh Sholih Al Fauzan, terbitan Darul Ifta’, cetakan kedelapan, 1429 H
Ibnu ‘Uyainah mengatakan,
” الْإِرْجَاءُ عَلَى وَجْهَيْنِ: قَوْمٌ أَرْجَوْا أَمْرَ عَلِيٍّ وَعُثْمَانَ ، فَقَدْ مَضَى أُولَئِكَ ، فَأَمَّا الْمُرْجِئَةُ الْيَوْمَ فَهُمْ قَوْمٌ يَقُولُونَ: الْإِيمَانُ قَوْلٌ بِلَا عَمِلٍ ” .
انتهى من “تهذيب الآثار” (2/ 659)
“Irja’ (pemahaman murji’ah) itu ada dua bentuk. Pertama, mereka yang menangguhkan urusan ‘Ali dan ‘Utsman. Tipe pertama dari Murji’ah sudah lewat masanya. Adapun murji’ah saat ini yang menyatakan bahwa iman itu hanya perkataan tanpa amalan.” (Tahdzib Al-Atsar, 2: 659)
Beberapa keyakinan menyimpang dari Murji’ah:
Sumber: https://islamqa.info/ar/227276
Disebut Mu’tazilah merujuk pada i’tizalnya (menyingkirnya) Washil bin ‘Atha’ dan ‘Amr bin ‘Ubaid dari majelis (halaqah) Al-Hasan Al-Bashri. Ada saat itu seseorang yang mengungkapkan pada Al-Hasan Al-Bashri, “Wahai imam, telah muncul di zaman kita ini orang-orang yang mengkafirkan pelaku dosa besar. Pelaku dosa besar dihukumi kafir oleh mereka. Mereka menganut paham yang sama dengan Wa’idiyyah yaitu kaum Khawarij dalam hal ini.”
Al-Hasan Al-Bashri kemudian merenung sejenak. Sebelum Al-Hasan Al-Bashri, Washil lantas menimpali, “Aku tidaklah mengatakan bahwa pelaku dosa besar itu mukmin secara mutlak atau kafir secara mutlak. Pelaku dosa besar itu berada pada manzilah bayna manzilatain (di antara dua keadaan), yaitu tidak mukmin, tidak kafir.”
Kemudian Washil keluar, lantas Al-Hasan Al-Bashri memberikan jawaban pada murid-muridnya, “Washil telah i’tizal (menyingkir) dari kita.” Setelah itu diikuti lagi oleh ‘Amr bin ‘Ubaid. Lantas Al-Hasan Al-Bashri dan murid-muridnya menyebut mereka berdua dengan sebutan Mu’tazilah. (Pengantar Kitab Kibar Al-Mu’tazilah wa Dhalaluhum, hlm. 27)
Penyimpangan dari Mu’tazilah adalah:
Muktazilah punya usul khamsah (lima landasan pokok), seperti rukun Islam di kalangan mereka dan lima prinsip ini disepakati oleh kaum Mu’tazilah. Lima prinsip itu adalah:
Sekilas tidak ada masalah dengan 5 pokok di atas. Namun mereka memaksudkan interpretasi yang sesat atas semua pokok tersebut.
Asya’irah adalah kelompok yang menyandarkan pemahamannya pada Abul Hasan Al-Asy’ari. Sedangkan Abul Hasan Al-Asy’ari dalam fase kehidupannya melewati beberapa tahapan.
Pertama, Abul Hasan berpaham Mu’tazilah. Fase ini dijalani selama 40 tahun.
Kedua, beliau merujuk pada pemahaman Kullabiyyah lewat pelopornya ‘Abdullah bin Sa’id bin Kullab. Sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Khuzaimah (nukilannya bisa dilihat di Siyar A’lam An-Nubala’ (14: 380, Penerbit Muassasah Ar-Risalah), Imam Ahmad bin Hambal yang paling santer membantah pemahaman ‘Abdullah bin Sa’id bin Kullab.
Ketiga, merujuk pada pemahaman Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Namun apakah secara keseluruhan, Abul Hasan mengikuti pemahaman Ahlus Sunnah ataukah ada pemahaman Kullabiyah yang masih dianutnya? Di sini para ulama berbeda pandangan. Al-Hafizh Ibnu Katsir dan Syaikh Hafizh Al-Hakami berpendapat bahwa Abul Hasan Al-Asy’ari sudah mengikuti pemahaman Ahlus Sunnah.
Abul Hasan Al-Asy’ari mengatakan dalam kitabnya Al-Ibanah di bagian akhir,
“Perkataan kami yang kami menjadikan bagian dari agama kami adalah berpegang pada Kitabullah dan sunnah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, begitu juga yang diriwayatkan dari sahabat, tabi’in dan para ulama pakar hadits. Kami berpegang teguh pada itu semua. Yang perpegang dengan akidah seperti itu pula adalah Imam Abu ‘Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hambal, semoga Allah mencerahkan wajahnya, mengangkat derajatnya.”
Namun Asya’irah saat ini punya pemahaman yang berbeda dengan Abul Hasan Al-Asy’ari yang pada fase terakhir merujuk pada pemahaman Ahlus Sunnah. Secara lengkap pemahaman Asya’irah ini dibahas oleh Syaikh Safar Al-Hawali dan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin memuji buku karya beliau tersebut untuk dijadikan rujukan. Silakan merujuk pada: https://islamqa.info/ar/226290.
Asya’irah saat ini punya pemahaman menyimpang:
Sampai-sampai Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin menyatakan dalam Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyah (hadits no. 28), hlm. 316 (Penerbit Daruts Tsaraya), “Kitab yang paling bagus membantah Asya’irah adalah kitab karya saudara kami Safar Al-Hawali. Karena kebanyakan orang tak memahami penyimpangan Asya’irah dari madzhab salaf melainkan dalam bahasan Asma’ dan Sifat saja. Padahal sejatinya mereka punya penyimpangan yang banyak.”
Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab dalam Tsalatsah Al-Ushul berkata,
الأَصلُ الثَّانِي: مَعرِفَةُ دِينِ الإِسلاَمِ بِالأَدِلَّةِ.
وَهُوَ: الِاستِسلاَمُ لِلَّهِ بِالتَّوحِيدِ، وَالِانقِيَادُ لَهُ بِالطَّاعَةِ، وَالبَرَاءَةُ وَالخُلُوصُ مِنَ الشِّركِ وَأَهلِهِ، وَهُوَ ثَلَاثُ مَرَاتِبَ: الإِسلَامُ، وَالإِيمَانُ، وَالإِحسَانُ، وَكُلُّ مَرتَبَةٍ لَهَا أَركَانٌ.
فَأَركَانُ الإِسلاَمِ خَمسَةٌ، وَالدَّلِيلُ مِنَ السُّنَّةِ حَدِيثُ ابنِ عُمَرَ -رَضِيَ اللَّهُ عَنهُمَا- قال: قال رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ: ((بُنِيَ الإِسلَامُ عَلَى خَمسٍ: شَهَادَةِ أَن لاَ إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ، وَإِقَامِ الصَّلَاةِ، وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ، وَصَومِ رَمَضَانَ، وَحَجِّ البَيتِ)).
وَالدَّلِيلُ قَولُهُ تَعَالَى: ﴿ إِنَّ الدِّينَ عِندَ اللَّهِ الإِسلَامُ ﴾، وَقَولُهُ تَعَالَى: ﴿ وَمَن يَبتَغِ غَيرَ الإِسلَامِ دِينًا فَلَن يُقبَلَ مِنهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الخَاسِرِينَ﴾.
وَدَلِيلُ الشَّهَادَةِ قَوُلُهُ تَعَالَى: ﴿ شَهِدَ اللَّهُ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ وَالمَلَائِكَةُ وَأُولُوا العِلمِ قَائِمًا بِالقِسطِ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ العَزِيزُ الحَكِيمُ ﴾.
وَمَعنَاهَا: لَا مَعبُودَ بِحَقٍّ إِلَّا اللهُ، (لاَ إِلَهَ) نَافِيًا جَمِيعَ مَا يُعبَدُ مِن دُونِ اللهِ، (إِلَّا اللَّهُ) مُثبِتًا العِبَادَةَ للَّهِ وَحدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ فِي عِبَادَتِهِ، كَمَا أَنَّهُ لَا شَرِيكَ لَهُ فِي مُلكِهِ.
وَتَفسِيرُهَا الَّذِي يُوَضِّحُهَا قَولُهُ تَعَالَى: ﴿ وَإِذ قَالَ إِبرَاهِيمُ لِأَبِيهِ وَقَومِهِ إِنَّنِي بَرَاءٌ مِمَّا تَعبُدُونَ * إِلَّا الَّذِي فَطَرَنِي ﴾، وَقَولُهُ تَعَالَى: ﴿ قُل يَا أَهلَ الكِتَابِ تَعَالَوا إِلَى كَلَمَةٍ سَوَاءٍ بَينَنَا وَبَينَكُم أَلَّا نَعبُدَ إِلاَّ اللَّهَ وَلَا نُشرِكَ بِهِ شَيئًا وَلَا يَتَّخِذَ بَعضُنَا بَعضًا أَربَابًا مِن دُونِ اللَّهِ فَإِن تَوَلَّوا فَقُولُوا اشهَدُوا بِأَنَّا مُسلِمُونَ ﴾.
وَدَلِيلُ شَهَادَةِ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ قَولُهُ تَعَالَى: ﴿ لَقَد جَاءَكُم رَسُولٌ مِن أَنفُسِكُم عَزِيزٌ عَلَيهِ مَا عَنِتُّم حَرِيصٌ عَلَيكُم بِالمُؤمِنِينَ رَؤُوفٌ رَّحِيمٌ ﴾، وَمَعنَى شَهَادَةِ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ: طَاعَتُهُ فِيمَا أَمَرَ، وَتَصدِيقُهُ فِيمَا أَخبَرَ، وَاجتِنَابُ مَا عَنهُ نَهَى وَزَجَرَ، وَأَن لَا يُعبَدَ اللَّهُ إِلَّا بِمَا شَرَعَ.
وَدَلِيلُ الصَّلَاةِ وَالزَّكَاةِ وَتَفسِيرِ التَّوحِيدِ قَولُهُ تَعَالَى: ﴿ وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعبُدُوا اللَّهَ مُخلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ القَيِّمَةِ ﴾.
وَدَلِيلُ الصِّيَامِ قَولُهُ تَعَالَى: ﴿ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبلِكُم لَعَلَّكُم تَتَّقُونَ ﴾.
وَدَلِيلُ الحَجِّ قَولُهُ تَعَالَى: ﴿ وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ البَيتِ مَنِ استَطَاعَ إِلَيهِ سَبِيلًا وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ العَالَمِينَ ﴾.
المَرتَبَةُ الثَّانِيَةُ: الإِيمَانُ.
وَهُوَ: بِضعٌ وَسَبعُونَ شُعبَةً، أَعلاَهَا: قَولُ (لَا إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ)، وَأَدنَاهَا: إِمَاطَةُ الأَذَى عَنِ الطَّرِيقِ، وَالحَيَاءُ شُعبَةٌ مِنَ الإِيمَانِ.
وَأَركَانُهُ سِتَّةٌ: أَن تُؤمِنَ بِاللَّهِ، وَمَلاَئِكَتِهِ، وَكُتُبِهِ، وَرُسُلِهِ، وَاليَومِ الآخِرِ، وَبِالقَدَرِ خَيرِهِ وَشَرِّهِ، وَالدَّلِيلُ عَلَى هَذِهِ الأَركَانِ السِّتَّةِ قَولُهُ تَعَالَى: ﴿ لَيسَ البِرَّ أَن تُوَلُّوا وُجُوهَكُم قِبَلَ المَشرِقِ وَالمَغرِبِ وَلَكِنَّ البِرَّ مَن آمَنَ بِاللَّهِ وَاليَومِ الآخِرِ وَالمَلَائِكَةِ وَالكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ ﴾، وَدَلِيلُ القَدَرِ قَولُهُ تَعَالَى: ﴿ إِنَّا كُلَّ شَيءٍ خَلَقنَاهُ بِقَدَرٍ ﴾.
Dasar yang kedua: mengenal agama Islam disertai dalil-dalilnya. Islam adalah:
اْلاِسْتِسْلاَمُ لِلَّهِ بِالتَّوْحِيْدِ، وَالْاِنْقِيَادُ لَهُ بِالطَّاعَةِ، وَالْبَرَاءَةُ مِنَ الشِّرْكِ وَأَهْلِهِ
“Berserah diri kepada Allah dengan mentauhidkan-Nya, tunduk patuh dengan mentaati-Nya, dan berlepas diri dari kesyirikan dan pelakunya.”
Islam memiliki tiga tingkatan: Islam, iman, dan ihsan. Masing-masing tingkatan memiliki rukun tersendiri.
Rukun Islam ada lima: syahadatain, menegakkan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan, dan haji ke Baitullah Al-Haram.
Dalil syahadat adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
﴿شَهِدَ اللهُ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ وَالْمَلَائِكَةُ وَأُولُو الْعِلْمِ قَائِمًا بِالْقِسْطِ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ﴾
“Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Ali Imran [3]: 18)
Maknanya adalah (لَا مَعْبُوْدَ بِحَقٍّ إِلاَّ اللهُ) “tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah”. Lafazh (لَا إِلَهَ) menafikan seluruh yang disembah selain Allah dan lafazh (إِلاَّ اللهُ) menetapkan bahwa ibadah hanya untuk Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya dalam ibadah kepada-Nya, begitu juga tidak ada sekutu bagi-Nya dalam kerajaan-Nya. Tafsir tentang ini akan jelas dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
﴿وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ لِأَبِيهِ وَقَوْمِهِ إِنَّنِي بَرَاءٌ مِمَّا تَعْبُدُونَ (٢٦) إِلَّا الَّذِي فَطَرَنِي فَإِنَّهُ سَيَهْدِينِ (٢٧) وَجَعَلَهَا كَلِمَةً بَاقِيَةً فِي عَقِبِهِ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ﴾
“Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya: ‘Sesungguhnya aku tidak bertanggung jawab terhadap apa yang kamu sembah, tetapi (aku menyembah) Tuhan Yang menjadikanku; karena sesungguhnya Dia akan memberi hidayah kepadaku.’ Dan (Ibrahim) menjadikan kalimat tauhid itu kalimat yang kekal pada keturunannya supaya mereka kembali kepada kalimat tauhid itu.” (QS. Az-Zukhruf [43]: 26-28)
Dan firman-Nya,
﴿قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَلَّا نَعْبُدَ إِلَّا اللهَ وَلَا نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَلَا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللهِ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقُولُوا اشْهَدُوا بِأَنَّا مُسْلِمُونَ﴾
“Katakanlah: ‘Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa kita tidak menyembah kecuali Allah dan kita tidak persekutukan Dia dengan sesuatu pun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah.’ Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: ‘Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).’” (QS. Ali Imran [3]: 64)
Dalil syahadat مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
﴿لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ﴾
“Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang Mukmin.” (QS. At-Taubah [9]:128)
Makna syahadat (مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ) adalah:
[1] (طَاعَتُهُ فِيْمَا أَمَرَ): mentaati Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam terhadap apa yang diperintahkannya. [2] (تَصْدِيْقُهُ فِيْمَا أَخْبَرَ): membenarkan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam terhadap apa yang dikabarkannya. [3] (اِجْتِنَابُ مَا نَهَى عَنْهُ وَزَجَرَ): menjauhi apa yang Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam larang dan peringatkan. [4] (أَنْ لَا يُعْبَدَ اللهُ إِلاَّ بِمَا شَرَعَ): Allah tidak disembah kecuali dengan apa yang Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam syariatkan.
Dalil shalat, zakat, dan tafsir tauhid adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
﴿وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ﴾
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan salat dan menunaikan zakat, dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (QS. Al-Bayyinah [98]: 5)
Dalil puasa adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ﴾
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah [2]: 183)
Dalil haji adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
﴿وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ﴾
“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkarinya, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya dari semesta alam.” (QS. Ali Imran [3]: 97)
Tingkatan kedua: iman.
Iman memiliki 70 cabang lebih.
Yang paling tinggi adalah ucapan (لَا إِلَهَ إِلاَّ اللهُ) dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan, dan malu adalah cabang dari iman.
Rukun iman adalah engkau beriman kepada Allah, Malaikat-Malaikat-Nya, Kitab-Kitab-Nya, Rasul-Rasul-Nya, hari Akhir, dan engkau beriman terhadap takdir yang baik maupun yang buruk.
Dalil mengenai rukun yang enam ini adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
﴿لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ﴾
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, Malaikat-Malaikat, kitab-kitab, Nabi-Nabi.” (QS. Al-Baqarah [2]: 177)
Adapun dalil takdir adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
﴿إِنَّا كُلَّ شَيْءٍ خَلَقْنَاهُ بِقَدَرٍ﴾
“Sesungguhnya segala sesuatu Kami ciptakan dengan takdir-takdir.” (QS. Al-Qamar [54]: 49)
Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab rahimahullah berkata:
Dasar yang kedua: mengenal agama Islam disertai dalil-dalilnya. Islam adalah:
اْلاِسْتِسْلاَمُ لِلَّهِ بِالتَّوْحِيْدِ، وَالْاِنْقِيَادُ لَهُ بِالطَّاعَةِ، وَالْبَرَاءَةُ مِنَ الشِّرْكِ وَأَهْلِهِ
“Berserah diri kepada Allah dengan mentauhidkan-Nya, tunduk patuh dengan mentaati-Nya, dan berlepas diri dari kesyirikan dan pelakunya.”
Catatan:
Islam berarti:
Lihat Syarh Tsalatsah Al-Ushul, hlm. 68-69.
Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab rahimahullah berkata:
Islam memiliki tiga tingkatan: Islam, iman, dan ihsan. Masing-masing tingkatan memiliki rukun tersendiri.
Catatan:
Dalil hal ini adalah hadits Jibril yang bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang Islam, Iman, dan Ihsan.
Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab rahimahullah berkata:
Rukun Islam ada lima: syahadatain, menegakkan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan, dan haji ke Baitullah Al-Haram.
Dalil syahadat adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
﴿شَهِدَ اللهُ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ وَالْمَلَائِكَةُ وَأُولُو الْعِلْمِ قَائِمًا بِالْقِسْطِ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ﴾
“Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Ali Imran [3]: 18)
Maknanya adalah (لَا مَعْبُوْدَ بِحَقٍّ إِلاَّ اللهُ) “tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah”. Lafazh (لَا إِلَهَ) menafikan seluruh yang disembah selain Allah dan lafazh (إِلاَّ اللهُ) menetapkan bahwa ibadah hanya untuk Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya dalam ibadah kepada-Nya, begitu juga tidak ada sekutu bagi-Nya dalam kerajaan-Nya. Tafsir tentang ini akan jelas dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
﴿وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ لِأَبِيهِ وَقَوْمِهِ إِنَّنِي بَرَاءٌ مِمَّا تَعْبُدُونَ (٢٦) إِلَّا الَّذِي فَطَرَنِي فَإِنَّهُ سَيَهْدِينِ (٢٧) وَجَعَلَهَا كَلِمَةً بَاقِيَةً فِي عَقِبِهِ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ﴾
“Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya: ‘Sesungguhnya aku tidak bertanggung jawab terhadap apa yang kamu sembah, tetapi (aku menyembah) Tuhan Yang menjadikanku; karena sesungguhnya Dia akan memberi hidayah kepadaku.’ Dan (Ibrahim) menjadikan kalimat tauhid itu kalimat yang kekal pada keturunannya supaya mereka kembali kepada kalimat tauhid itu.” (QS. Az-Zukhruf [43]: 26-28)
﴿قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَلَّا نَعْبُدَ إِلَّا اللهَ وَلَا نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَلَا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللهِ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقُولُوا اشْهَدُوا بِأَنَّا مُسْلِمُونَ﴾
“Katakanlah: ‘Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa kita tidak menyembah kecuali Allah dan kita tidak persekutukan Dia dengan sesuatu pun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah.’ Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: ‘Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).’” (QS. Ali Imran [3]: 64)
Dalil syahadat مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
﴿لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ﴾
“Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang Mukmin.” (QS. At-Taubah [9]:128)
Makna syahadat (مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ) adalah:
[1] (طَاعَتُهُ فِيْمَا أَمَرَ): mentaati Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam terhadap apa yang diperintahkannya. [2] (تَصْدِيْقُهُ فِيْمَا أَخْبَرَ): membenarkan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam terhadap apa yang dikabarkannya. [3] (اِجْتِنَابُ مَا نَهَى عَنْهُ وَزَجَرَ): menjauhi apa yang Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam larang dan peringatkan. [4] (أَنْ لَا يُعْبَدَ اللهُ إِلاَّ بِمَا شَرَعَ): Allah tidak disembah kecuali dengan apa yang Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam syariatkan.
Dalil shalat, zakat, dan tafsir tauhid adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
﴿وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ﴾
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan salat dan menunaikan zakat, dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (QS. Al-Bayyinah [98]: 5)
Dalil puasa adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ﴾
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah [2]: 183)
Dalil haji adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
﴿وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ﴾
“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkarinya, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya dari semesta alam.” (QS. Ali Imran [3]: 97)
Tingkatan kedua: iman.
Iman memiliki 70 cabang lebih. Yang paling tinggi adalah ucapan (لَا إِلَهَ إِلاَّ اللهُ) dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan, dan malu adalah cabang dari iman.
Rukun iman adalah engkau beriman kepada Allah, Malaikat-Malaikat-Nya, Kitab-Kitab-Nya, Rasul-Rasul-Nya, hari Akhir, dan engkau beriman terhadap takdir yang baik maupun yang buruk.
Dalil mengenai rukun yang enam ini adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
﴿لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ﴾
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, Malaikat-Malaikat, kitab-kitab, Nabi-Nabi.” (QS. Al-Baqarah [2]: 177)
Adapun dalil takdir adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
﴿إِنَّا كُلَّ شَيْءٍ خَلَقْنَاهُ بِقَدَرٍ﴾
“Sesungguhnya segala sesuatu Kami ciptakan dengan takdir-takdir.” (QS. Al-Qamar [54]: 49)
Catatan:
Iman secara bahasa berarti tashdiq (membenarkan).
Iman secara istilah syari berarti:
Iman kepada Allah berarti beriman kepada:
Golongan sesat dalam nama dan sifat Allah:
Dalil bantahannya adalah surah Asy-Syura ayat 11.
Catatan:
Allah menganggap batil penyembahan orang-orang musyrik terhadap sesembahannya dengan dua alasan:
Manfaat beriman kepada Allah dengan benar:
Malaikat adalah makhluk ciptaan yang hidup di alam ghaib dan senantiasa beribadah kepada Allah. Mereka diciptakan dari cahaya dan menaati perintah dengan sempurna.
Iman kepada malaikat berarti beriman kepada:
Manfaat beriman kepada malaikat:
Yang dimaksud beriman kepada kitab adalah kitab-kitab yang diturunkan oleh Allah kepada rasul-Nya sebagai rahmat dan hidayah agar manusia hidup bahagia di dunia dan akhirat.
Iman kepada kitab berarti mencakup:
Manfaat beriman kepada kitab:
Rasul adalah orang yang diberi wahyu berupa syariat dan diperintahkan menyampaikan kepada kaumnya.
Rasul yang pertama adalah Nabi Nuh ‘alaihis salam dan yang terakhir adalah Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalil bahwa Rasulullah Muhammad adalah penutup para nabi yaitu surah Al-Ahzab ayat 40.
Para rasul adalah manusia biasa yang tidak memiliki sama sekali sifat rububiyah maupun uluhiyah. Mereka adalah manusia biasa yang juga mengalami sakit dan meninggal dunia, butuh makan, minum, dan yang lainnya.
Iman kepada rasul berarti mencakup:
Manfaat beriman kepada rasul:
Hari akhir adalah hari kiamat yang di hari itu seluruh manusia dibangkitkan untuk dihisab dan diberi balasan. Dikatakan hari akhir karena tidak ada hari setelahnya, di mana setiap penghuni surga akan menetap di surga dan ahli neraka menetap di neraka.
Iman kepada hari akhir mencakup:
Manfaat beriman kepada hari akhir:
Takdir (qadar) adalah ketentuan Allah yang berlaku bagi setiap makhluk-Nya, sesuai dengan ilmu dan hikmah yang dikehendaki oleh Allah.
Beriman kepada takdir mencakup:
Untuk dalil pertama dan kedua adalah surah Al-Hajj ayat 70.
Empat hal di atas disingkat dengan:
Beriman kepada takdir tidaklah berarti manusia tidak memiliki ikhtiyar (pilihan). Karena secara syari dan kenyataan (waqi’) menunjukkan bahwa manusia masih memiliki ikhtiyar.
Manfaat beriman kepada takdir:
Ada dua golongan yang keliru dalam beriman kepada takdir:
Ahlus sunnah wal jama’ah bersikap pertengahan: semua ditakdirkan oleh Allah, tetapi kita masih tetap berbuat (berusaha). Kita sendiri tidak mengetahui takdir kita, sehingga kita tetap berusaha.
Referensi:
Syarh Tsalatsah Al-Ushul. Cetakan kedua, Tahun 1426 H. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin. Penerbit Dar Tsaraya.