Rumaysho adalah nama lain dari Ummu Sulaim, seorang sahabat wanita dari kalangan sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau adalah ibu dari sahabat mulia, Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu. Dahulu menikah dengan Malik, setelah itu menikah lagi dengan Abu Tholhah. Di antara kisah yang menunjukkan kesabarannya adalah saat puteranya meninggal dunia. Ia begitu ridho dan sabar atas ketentuan Allah kala itu. Berikut kisahnya.
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ – رضى الله عنه – قَالَ كَانَ ابْنٌ لأَبِى طَلْحَةَ يَشْتَكِى ، فَخَرَجَ أَبُو طَلْحَةَ ، فَقُبِضَ الصَّبِىُّ فَلَمَّا رَجَعَ أَبُو طَلْحَةَ قَالَ مَا فَعَلَ ابْنِى قَالَتْ أُمُّ سُلَيْمٍ هُوَ أَسْكَنُ مَا كَانَ . فَقَرَّبَتْ إِلَيْهِ الْعَشَاءَ فَتَعَشَّى ، ثُمَّ أَصَابَ مِنْهَا ، فَلَمَّا فَرَغَ قَالَتْ وَارِ الصَّبِىَّ . فَلَمَّا أَصْبَحَ أَبُو طَلْحَةَ أَتَى رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فَأَخْبَرَهُ فَقَالَ « أَعْرَسْتُمُ اللَّيْلَةَ » . قَالَ نَعَمْ . قَالَ « اللَّهُمَّ بَارِكْ لَهُمَا » . فَوَلَدَتْ غُلاَمًا قَالَ لِى أَبُو طَلْحَةَ احْفَظْهُ حَتَّى تَأْتِىَ بِهِ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – فَأَتَى بِهِ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – وَأَرْسَلَتْ مَعَهُ بِتَمَرَاتٍ ، فَأَخَذَهُ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – فَقَالَ « أَمَعَهُ شَىْءٌ » . قَالُوا نَعَمْ تَمَرَاتٌ . فَأَخَذَهَا النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – فَمَضَغَهَا ، ثُمَّ أَخَذَ مِنْ فِيهِ فَجَعَلَهَا فِى فِى الصَّبِىِّ ، وَحَنَّكَهُ بِهِ ، وَسَمَّاهُ عَبْدَ اللَّهِ .
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa putera Abu Tholhah sakit. Ketika itu Abu Tholhah keluar, lalu puteranya tersebut meninggal dunia. Ketika Abu Tholhah kembali, ia berkata, “Apa yang dilakukan oleh puteraku?” Istrinya (Ummu Sulaim) malah menjawab, “Ia sedang dalam keadaan tenang.” Ketika itu, Ummu Sulaim pun mengeluarkan makan malam untuk suaminya, ia pun menyantapnya. Kemudian setelah itu Abu Tholhah menyetubuhi istrinya. Ketika telah selesai memenuhi hajatnya, istrinya mengatakan kabar meninggalnya puteranya. Tatkala tiba pagi hari, Abu Tholhah mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menceritakan tentang hal itu. Rasulullah pun bertanya, “Apakah malam kalian tersebut seperti berada di malam pertama?” Abu Tholhah menjawab, “Iya.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu mendo’akan, “Allahumma baarik lahumaa, Ya Allah berkahilah mereka berdua.” Dari hubungan mereka tersebut lahirlah seorang anak laki-laki. Anas berkata bahwa Abu Tholhah berkata padanya, “Jagalah dia sampai engkau mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengannya.” Anas pun membawa anak tersebut kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ummu Sulaim juga menitipkan membawa beberapa butir kurma bersama bayi tersebut. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu mengambil anak tersebut lantas berkata, “Apakah ada sesuatu yang dibawa dengan bayi ini?” Mereka berkata, “Iya, ada beberapa butir kurma.” Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambilnya dan mengunyahnya. Kemudian beliau ambil hasil kunyahan tersebut dari mulutnya, lalu meletakkannya di mulut bayi tersebut. Beliau melakukan tahnik dengan meletakkan kunyahan itu di langit-langit mulut bayi. Beliau pun menamakan anak tersebut dengan ‘Abdullah. (HR. Bukhari no. 5470 dan Muslim no. 2144).
Dalam riwayat Muslim disebutkan,
عَنْ أَنَسٍ قَالَ مَاتَ ابْنٌ لأَبِى طَلْحَةَ مِنْ أُمِّ سُلَيْمٍ فَقَالَتْ لأَهْلِهَا لاَ تُحَدِّثُوا أَبَا طَلْحَةَ بِابْنِهِ حَتَّى أَكُونَ أَنَا أُحَدِّثُهُ – قَالَ – فَجَاءَ فَقَرَّبَتْ إِلَيْهِ عَشَاءً فَأَكَلَ وَشَرِبَ – فَقَالَ – ثُمَّ تَصَنَّعَتْ لَهُ أَحْسَنَ مَا كَانَ تَصَنَّعُ قَبْلَ ذَلِكَ فَوَقَعَ بِهَا فَلَمَّا رَأَتْ أَنَّهُ قَدْ شَبِعَ وَأَصَابَ مِنْهَا قَالَتْ يَا أَبَا طَلْحَةَ أَرَأَيْتَ لَوْ أَنَّ قَوْمًا أَعَارُوا عَارِيَتَهُمْ أَهْلَ بَيْتٍ فَطَلَبُوا عَارِيَتَهُمْ أَلَهُمْ أَنْ يَمْنَعُوهُمْ قَالَ لاَ. قَالَتْ فَاحْتَسِبِ ابْنَكَ. قَالَ فَغَضِبَ وَقَالَ تَرَكْتِنِى حَتَّى تَلَطَّخْتُ ثُمَّ أَخْبَرْتِنِى بِابْنِى. فَانْطَلَقَ حَتَّى أَتَى رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَأَخْبَرَهُ بِمَا كَانَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « بَارَكَ اللَّهُ لَكُمَا فِى غَابِرِ لَيْلَتِكُمَا ». قَالَ فَحَمَلَتْ
Dari Anas, ia berkata mengenai putera dari Abu Tholhah dari istrinya Ummu Sulaim. Ummu Sulaim berkata pada keluarganya, “Jangan beritahu Abu Tholhah tentang anaknya sampai aku yang memberitahukan padanya.” Diceritakan bahwa ketika Abu Tholhah pulang, istrinya Ummu Sulaim kemudian menawarkan padanya makan malam. Suaminya pun menyantap dan meminumnya. Kemudian Ummu Sulaim berdandan cantik yang belum pernah ia berdandan secantik itu. Suaminya pun menyetubuhi Ummu Sulaim. Ketika Ummu Sulaim melihat suaminya telah puas dan telah menyetubuhi dirinya, ia pun berkata, “Bagaimana pendapatmu jika ada suatu kaum meminjamkan sesuatu kepada salah satu keluarga, lalu mereka meminta pinjaman mereka lagi, apakah tidak dibolehkan untuk diambil?” Abu Tholhah menjawab, “Tidak.” Ummu Sulaim, “Bersabarlah dan berusaha raih pahala karena kematian puteramu.” Abu Tholhah lalu marah kemudian berkata, “Engkau biarkan aku tidak mengetahui hal itu hinggga aku berlumuran janabah, lalu engkau kabari tentang kematian anakku?” Abu Tholhah pun bergegas ke tempat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengabarkan apa yang terjadi pada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mendo’akan, “Semoga Allah memberkahi kalian berdua dalam malam kalian itu.” Akhirnya, Ummu Sulaim pun hamil lagi. (HR. Muslim no. 2144).
Kisah di atas menunjukkan keutamaan sahabat Ummu Sulaim. Dari kisah di atas kita bisa melihat bagaimana kuatnya kesabaran Ummu Sulaim atau Rumaysho, sungguh ia begitu penyabar. Sampai-sampai ketika puteranya meninggal dunia pun, ia bisa bersabar seperti itu. Ketika dapat musibah kala itu, ia tetap melayani suaminya seperti biasa, bahkan ia pun berdandan begitu istimewa demi memuaskan suaminya di ranjang. Tatkala suaminya puas, baru ia kabarkan tentang kematian puteranya. Subhanallah … Sungguh kesabaran yang luar biasa.
1- Dianjurkan istri untuk berhias diri untuk suaminya dengan dandan yang istimewa. Namun yang terjadi di kebanyakan wanita saat ini, mereka hanya mau berdandan ketika di depan orang banyak saat keluar rumah, bukan di hadapan suaminya. Cobalah ambil teladan dari kisah Rumaysho di atas yang ia masih mau berdandan cantik walau sedang dirundung duka.
2- Istri harus bersungguh-sungguh dalam berkhidmat pada suami dan membantu mengurus hal-hal yang bermasalahat bagi suami seperti yang dilakukan Ummu Sulaim pada suaminya dengan menyediakan makan malam.
3- Mustajabnya do’a Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan mendo’akan keberkahan bagi malam Ummu Sulaim dan Abu Tholhah, akhirnya mereka pun dikaruniai lagi seorang anak.
4- Barangsiapa yang meninggalkan sesuatu karena Allah, maka Allah ganti dengan yang lebih baik. Lihatlah Ummu Sulaim begitu ridho dan penyabar dengan ketentuan Allah sehingga ia pun dikaruniai putera yang dinamakan ‘Abdullah. Bahkan dari ‘Abdullah inilah lahir sembilan keturunan yang kesemuanya para penghafal Al Qur’an sebagaimana disebutkan dalam riwayat lainnya. Bahkan mereka menjadi para ulama sebagaimana disebutkan Imam Nawawi rahimahullah.
5- Disunnahkan ridho terhadap takdir yang terasa pahit.
6- Sesuatu yang bisa menguatkan sabar adalah dengan seseorang mengenal dirinya sendiri bahwasanya ia berasal dari sesuatu yang tidak ada. Manusia adalah milik Allah. Yang manusia miliki hanyalah titipan dari Allah yang sewaktu-waktu bisa diambil.
7- Disunnahkan melakukan tahnik dengan mengunyah kurma dan dimasukkan dalam langit-langit mulut bayi. Hal ini juga disunnahkan berdasarkan ijma’ atau kesepakatan para ulama. Lihat bahasan mengenai tahnik di Rumaysho.Com: Hadiah di Hari Lahir (1), Mengunyah Kurma (Tahnik) ke Mulut Bayi.
8- Disunnahkan memberi nama pada si buah hati pada hari lahirnya.
9- Disunnahkan memberi nama yang terbaik bagi anak dan sebaik-baik nama adalah ‘Abdullah. Lihat bahasan Rumaysho.Com: Hadiah di Hari Lahir (2), Nama Terbaik untuk Si Buah Hati.
10- Boleh meminta orang sholih untuk memberikan nama pada anak.
11- Hendaknya memberi kabar kematian pada orang lain dengan lemah lembut.
12- Boleh menggunakan kata-kata kiasan yang seolah-olah mengandung dusta ketika hajat (dibutuhkan).
Semoga jadi ilmu yang bermanfaat. Hanya Allah yang memberi taufik.
Al Minhaj Syarh Shahih Muslim bin Al Hajjaj, Yahya bin Syarf An Nawawi, terbitan Dar Ibn Hazm, cetakan pertama, tahun 1433 H.
Bahjatun Nazhirin Syarh Riyadhish Sholihin, Abu Usamah Salim bin ‘Ied Al Hilaliy, terbitan Dar Ibnul Jauzi, cetakan pertama, tahun 1430 H, 1: 94-96.
Nuzhatul Muttaqin Syarh Riyadhish Sholihin, Dr. Musthofa Al Bugho, dkk, terbitan Muassasah Ar Risalah, cetakan pertama, tahun 1432 H, hal. 40-41.
‘Aku seorang lelaki Persia dari Asbahan, warga suatu desa bernama Jayy. Ayahku adalah seorang tokoh masyarakat yang mengerti pertanian. Aku sendiri yang paling disayangi ayahku dari semua makhluk Allah. Karena sangat sayangnya aku tidak diperbolehkan keluar rumahnya, aku diminta senantiasa berada di samping perapian. Aku layaknya tawanan budak saja.
Aku dilahirkan dan membaktikan diri di lingkungan Majusi, sehingga aku sebagai penjaga api yang bertanggung jawab atas nyalanya api dan tidak membiarkannya padam.
Ayahku memiliki tanah perahan yang luas. Pada suatu hari beliau sibuk mengurus bangunan. Beliau berkata kepadaku, ‘Wahai anakku, hari ini aku sibuk di bangunan, aku tidak sempat mengurus tanah, cobalah engkau pergi ke sana!’ Beliau menyuruhku melakukan beberapa pekerjaan yang harus diselesaikan.
Aku keluar menuju tanah ayahku. Dalam perjalanan aku melewati salah satu gereja Nasrani. Aku mendengar suara mereka yang sedang sembahyang. Aku sendiri tidak mengerti mengapa ayahku mengharuskan aku tinggal di dalam rumah saja (melarang aku keluar rumah).
Tatkala aku melewati gereja mereka, dan aku mendengar suara mereka sedang shalat maka aku masuk ke dalam gereja itu untuk mengetahui apa yang sedang mereka lakukan?
Begitu aku melihat mereka, aku kagum dengan sembahyang mereka, dan aku ingin mengetahui peribadatan mereka. Aku berkata dalam hati, ‘Demi Allah, ini lebih baik dari agama yang kita anut selama ini.’
Demi Allah, aku tidak beranjak dari mereka sampai matahari terbenam. Aku tidak jadi pergi ke tanah milik ayahku. Aku bertanya kepada mereka, ‘Dari mana asal usul agama ini?’ Mereka menjawab, ‘Dari Syam (Syiria).’
Kemudian aku pulang ke rumah ayahku. Padahal ayahku telah mengutus seseorang untuk mencariku. Sementara aku tidak mengerjakan tugas dari ayahku sama sekali. Maka ketika aku telah bertemu ayahku, beliau bertanya, ‘Anakku, ke mana saja kamu pergi?
Bukankah aku telah berpesan kepadamu untuk mengerjakan apa yang aku perintahkan itu?’ Aku menjawab, ‘Ayah, aku lewat pada suatu kaum yang sedang sembahyang di dalam gereja, ketika aku melihat ajaran agama mereka aku kagum. Demi Allah, aku tidak beranjak dari tempat itu sampai matahari terbenam.’
Ayahku menjawab, ‘Wahai anakku, tidak ada kebaikan sedikitpun dalam agama itu. Agamamu dan agama ayahmu lebih bagus dari agama itu.’ Aku membantah, ‘Demi Allah, sekali-kali tidak! Agama itu lebih bagus dari agama kita.’ Kemudian ayahku khawatir dengan diriku, sehingga beliau merantai kakiku, dan aku dipenjara di dalam rumahnya.
Suatu hari ada serombongan orang dari agama Nasrani diutus menemuiku, maka aku sampaikan kepada mereka, ‘Jika ada rombongan dari Syam terdiri dari para pedagang Nasrani, maka supaya aku diberitahu.’ Aku juga meminta agar apabila para pedagang itu telah selesai urusannya dan akan kembali ke negrinya, memberiku izin bisa menemui mereka.
Ketika para pedagang itu hendak kembali ke negrinya, mereka memberitahu kepadaku. Kemudian rantai besi yang mengikat kakiku aku lepas, lantas aku pergi bersama mereka sehingga aku tiba di Syam.
Sesampainya aku di Syam, aku bertanya, ‘Siapakah orang yang ahli agama di sini?’ Mereka menjawab, ‘Uskup (pendeta) yang tinggal di gereja.’ Kemudian aku menemuinya. Kemudian aku berkata kepada pendeta itu, ‘Aku sangat mencintai agama ini, dan aku ingin tinggal bersamamu, aku akan membantumu di gerejamu, agar aku dapat belajar denganmu dan sembahyang bersama-sama kamu.’ Pendeta itu menjawab, ‘Silakan.’
Maka aku pun tinggal bersamanya.
Ternyata pendeta itu seorang yang jahat, dia menyuruh dan menganjurkan umat untuk bersedekah, namun setelah sedekah itu terkumpul dan diserahkan kepadanya, ia menyimpan sedekah tersebut untuk dirinya sendiri, tidak diberikan kepada orang-orang miskin, sehingga terkumpullah tujuh peti emas dan perak.
Aku sangat benci perbuatan pendeta itu. Kemudian dia meninggal. Orang-orang Nasrani pun berkumpul untuk mengebumikannya. Ketika itu aku sampaikan kepada khalayak, ‘Sebenarnya, pendeta ini adalah seorang yang berperangai buruk, menyuruh, dan menganjurkan kalian untuk bersedekah. Tetapi jika sedekah itu telah terkumpul, dia menyimpannya untuk dirinya sendiri, tidak memberikannya kepada orang-orang miskin barang sedikitpun.’
Mereka pun mempertanyakan apa yang aku sampaikan, ‘Apa buktinya bahwa kamu mengetahui akan hal itu?’ Aku menjawab, ‘Marilah aku tunjukkan kepada kalian simpanannya itu.’ Mereka berkata, ‘Baik, tunjukkan simpanan tersebut kepada kami.’
Lalu aku memperlihatkan tempat penyimpanan sedekah itu. Kemudian mereka mengeluarkan sebanyak tujuh peti yang penuh berisi emas dan perak. Setelah mereka menyaksikan betapa banyaknya simpanan pendeta itu, mereka berkata, ‘Demi Allah, selamanya kami tidak akan menguburnya.’ Kemudian mereka menyalib pendeta itu pada tiang dan melempari jasadnya dengan batu.
Kemudian mereka mengangkat orang lain sebagai penggantinya. Aku tidak pernah melihat seseorang yang tidak mengerjakan sembahyang lima waktu (bukan seorang muslim) yang lebih bagus dari dia, dia sangat zuhud, sangat mencintai akhirat, dan selalu beribadah siang malam. Maka aku pun sangat mencintainya dengan cinta yang tidak pernah aku berikan kepada selainnya. Aku tinggal bersamanya beberapa waktu.
Kemudian ketika kematiannya menjelang, aku berkata kepadanya, ‘Wahai Fulan, selama ini aku hidup bersamamu, dan aku sangat mencintaimu, belum pernah ada seorangpun yang aku cintai seperti cintaku kepadamu, padahal sebagaimana kamu lihat, telah menghampirimu saat berlakunya takdir Allah, kepada siapakah aku ini engkau wasiatkan, apa yang engkau perintahkan kepadaku?’
Orang itu berkata, ‘Wahai anakku, demi Allah, sekarang ini aku sudah tidak tahu lagi siapa yang mempunyai keyakinan seperti aku.
Orang-orang yang aku kenal telah mati, dan masyarakat pun mengganti ajaran yang benar dan meninggalkannya sebagiannya, kecuali seorang yang tinggal di Mosul (kota di Irak), yakni Fulan, dia memegang keyakinan seperti aku ini, temuilah ia di sana!’
Lalu tatkala ia telah wafat, aku berangkat untuk menemui seseorang di Mosul. Aku berkata, ‘Wahai Fulan, sesungguhnya si Fulan telah mewasiatkan kepadaku menjelang kematiannya agar aku menemuimu, dia memberitahuku bahwa engkau memiliki keyakinan sebagaimana dia.’
Kemudian orang yang kutemui itu berkata, ‘Silakan tinggal bersamaku.” Aku pun hidup bersamanya.’ Aku dapati ia sangat baik sebagaimana yang diterangkan Si Fulan kepadaku. Namun ia pun dihampiri kematian. Dan ketika kematian menjelang, aku bertanya kepadanya, ‘Wahai Fulan, ketika itu si Fulan mewasiatkan aku kepadamu dan agar aku menemuimu, kini takdir Allah akan berlaku atasmu sebagaimana engkau maklumi, oleh karena itu kepada siapakah aku ini hendak engkau wasiatkan? Dan apa yang engkau perintahkan kepadaku?’
Orang itu berkata, ‘Wahai anakku, Demi Allah, tak ada seorangpun sepengetahuanku yang seperti aku kecuali seorang di Nashibin (dekat Turki), yakni Fulan. Temuilah ia!’
Maka setelah beliau wafat, aku menemui seseorang yang di Nashibin itu. Setelah aku bertemu dengannya, aku menceritakan keadaanku dan apa yang di perintahkan si Fulan kepadaku.
Orang itu berkata, ‘Silakan tinggal bersamaku.’ Sekarang aku mulai hidup bersamanya. Aku dapati ia benar-benar seperti si Fulan yang aku pernah hidup bersamanya. Aku tinggal bersama seseorang yang sangat baik.
Namun, kematian hampir datang menjemputnya. Dan di ambang kematiannya aku berkata, ‘Wahai Fulan, Ketika itu si Fulan mewasiatkan aku kepada Fulan, dan kemarin Fulan mewasiatkan aku kepadamu? Sepeninggalmu nanti, kepada siapakah aku akan engkau wasiatkan? Dan apa yang akan engkau perintahkan kepadaku?’
Orang itu berkata, ‘Wahai anakku, Demi Allah, tidak ada seorangpun yang aku kenal sehingga aku perintahkan kamu untuk mendatanginya kecuali seseorang yang tinggal di Amuria (kota di Romawi). Orang itu menganut keyakinan sebagaimana yang kita anut, jika kamu berkenan, silakan mendatanginya. Dia pun menganut sebagaimana yang selama ini kami pegang.’
Setelah seseorang yang baik itu meninggal dunia, aku pergi menuju Amuria. Aku menceritakan perihal keadaanku kepadanya. Dia berkata, ‘Silakan tinggal bersamaku.’
Aku pun hidup bersama seseorang yang ditunjuk oleh kawannya yang sekeyakinan.
Di tempat orang itu, aku bekerja, sehingga aku memiliki beberapa ekor sapi dan kambing. Kemudian takdir Allah pun berlaku untuknya. Ketika itu aku berkata, ‘Wahai Fulan, selama ini aku hidup bersama si Fulan, kemudian dia mewasiatkan aku untuk menemui Si Fulan, kemudian Si Fulan juga mewasiatkan aku agar menemui Fulan, kemudian Fulan mewasiatkan aku untuk menemuimu, sekarang kepada siapakah aku ini akan engkau wasiatkan? Dan apa yang akan engkau perintahkan kepadaku?’
Orang itu berkata, ‘Wahai anakku, demi Allah, aku tidak mengetahui seorangpun yang akan aku perintahkan kamu untuk mendatanginya. Akan tetapi telah hampir tiba waktu munculnya seorang nabi, dia diutus dengan membawa ajaran Nabi Ibrahim. Nabi itu akan keluar diusir dari suatu tempat di Arab kemudian berhijrah menuju daerah antara dua perbukitan. Di antara dua bukit itu tumbuh pohon-pohon kurma. Pada diri nabi itu terdapat tanda-tanda yang tidak dapat disembunyikan, dia mau makan hadiah tetapi tidak mau menerima sedekah, di antara kedua bahunya terdapat tanda khatam nubuwwah (cap kenabian). Jika engkau bisa menuju daerah itu, berangkatlah ke sana!’
Kemudian orang ini pun meninggal dunia. Dan sepeninggalnya, aku masih tinggal di Amuria sesuai dengan yang dikehendaki Allah.
Pada suatu hari, lewat di hadapanku serombongan orang dari Kalb, mereka adalah pedagang. Aku berkata kepada para pedagang itu, ‘Bisakah kalian membawaku menuju tanah Arab dengan imbalan sapi dan kambing-kambingku?’ Mereka menjawab, ‘Ya.’ Lalu aku memberikan ternakku kepada mereka.
Baca Juga: Paman Nabi Hamzah bin Abdul Muththalib Masuk Islam
Mereka membawaku, namun ketika tiba di Wadil Qura, mereka menzalimiku, dengan menjualku sebagai budak ke tangan seorang Yahudi.
Kini aku tinggal di tempat seorang Yahudi. Aku melihat pohon-pohon kurma, aku berharap, mudah-mudahan ini adalah daerah sebagaimana yang disebutkan si Fulan kepadaku. Aku tidak bisa hidup bebas.
Ketika aku berada di samping orang Yahudi itu, keponakannya datang dari Madinah dari Bani Quraidzah. Ia membeliku darinya. Kemudian membawaku ke Madinah. Begitu aku tiba di Madinah aku segera tahu berdasarkan apa yang disebutkan si Fulan kepadaku. Sekarang aku tinggal di Madinah.
Allah mengutus seorang Rasul-Nya, dia telah tinggal di Makkah beberapa lama, yang aku sendiri tidak pernah mendengar ceritanya karena kesibukanku sebagai seorang budak. Kemudian Rasul itu berhijrah ke Madinah. Demi Allah, ketika aku berada di puncak pohon kurma majikanku karena aku bekerja di perkebunan, sementara majikanku duduk, tiba-tiba salah seorang keponakannya datang menghampiri, kemudian berkata, ‘Fulan,
Celakalah Bani Qailah (suku Aus dan Khazraj). Mereka kini sedang berkumpul di Quba’ menyambut seseorang yang datang dari Makkah pada hari ini. Mereka percaya bahwa orang itu Nabi.’
Tatkala aku mendengar pembicaraannya, aku gemetar sehingga aku khawatir jatuh menimpa majikanku. Kemudian aku turun dari pohon, dan bertanya kepada keponakan majikanku, ‘Apa tadi yang engkau katakan? Apa tadi yang engkau katakan?’ Majikanku sangat marah, dia memukulku dengan pukulan keras. Kemudian berkata, ‘Apa urusanmu menanyakan hal ini, lanjutkan pekerjaanmu.’
Aku menjawab, ‘Tidak ada maksud apa-apa, aku hanya ingin mencari kejelasan terhadap apa yang dikatakan. Padahal sebenarnya saya telah memiliki beberapa informasi mengenai akan diutusnya seorang nabi itu.’
Pada sore hari, aku mengambil sejumlah bekal kemudian aku menuju Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ketika itu beliau sedang berada di Quba, lalu aku menemui beliau. Aku berkata, ‘Telah sampai kepadaku kabar bahwasanya engkau adalah seorang yang saleh, engkau memiliki beberapa orang sahabat yang dianggap asing dan miskin. Aku membawa sedikit sedekah, dan menurutku kalian lebih berhak menerima sedekahku ini daripada orang lain.’
Aku pun menyerahkan sedekah tersebut kepada beliau, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada para sahabat, ‘Silakan kalian makan, sementara beliau tidak menyentuh sedekah itu dan tidak memakannya. Aku berkata, ‘Ini satu tanda kenabiannya.’
Aku pulang meninggalkan beliau untuk mengumpulkan sesuatu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berpindah ke Madinah. Kemudian pada suatu hari, aku mendatangi beliau sambil berkata, ‘Aku memperhatikanmu tidak memakan pemberian berupa sedekah, sedangkan ini merupakan hadiah sebagai penghormatanku kepada engkau.’
Kemudian Rasulullah makan sebagian dari hadiah pemberianku dan memerintahkan para sahabat untuk memakannya, mereka pun makan hadiahku itu. Aku berkata dalam hati, ‘Inilah tanda kenabian yang kedua.’
Selanjutnya aku menemui beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam saat beliau berada di kuburan Baqi’ Al-Gharqad, beliau sedang mengantarkan jenazah salah seorang sahabat, beliau mengenakan dua lembar kain, ketika itu beliau sedang duduk di antara para sahabat, aku mengucapkan salam kepada beliau. Kemudian aku berputar memperhatikan punggung beliau, adakah aku akan melihat khatam nubuwwah yang disebutkan Si Fulan kepadaku.
Pada saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatku sedang memperhatikan beliau, beliau mengetahui bahwa aku sedang mencari kejelasan tentang sesuatu ciri kenabian yang disebutkan salah seorang kawanku. Kemudian beliau melepas kain selendang beliau dari punggung, aku berhasil melihat tanda khatam nubuwwah dan aku yakin bahwa beliau adalah seorang Nabi. Maka aku telungkup di hadapan beliau dan memeluknya seraya menangis.
Rasulullah bersabda kepadaku, ‘Pindahlah kemari,’ maka aku pun berpindah dan menceritakan perihal keadaanku sebagaimana yang aku ceritakan kepadamu ini wahai Ibnu Abbas. Kemudian para sahabat takjub kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mendengar cerita perjalanan hidupku itu.”
Salman sibuk bekerja sebagai budak. Dan perbudakan inilah yang menyebabkan Salman terhalang mengikuti perang Badar dan Uhud. “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam suatu hari bersabda kepadaku, ‘Mintalah kepada majikanmu untuk bebas, wahai Salman!’ Maka majikanku membebaskan aku dengan tebusan 300 pohon kurma yang harus aku tanam untuknya dan 40 uqiyah.
Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumpulkan para sahabat dan bersabda, ‘Berilah bantuan kepada saudara kalian ini.’ Mereka pun membantuku dengan memberi pohon (tunas) kurma. Seorang sahabat ada yang memberiku 30 pohon, atau 20 pohon, ada yang 15 pohon, dan ada yang 10 pohon, masing-masing sahabat memberiku pohon kurma sesuai dengan kadar kemampuan mereka, sehingga terkumpul benar-benar 300 pohon.
Setelah terkumpul Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadaku, ‘Berangkatlah wahai Salman dan tanamlah pohon kurma itu untuk majikanmu, jika telah selesai datanglah kemari aku akan meletakkannya di tanganku.’ Aku pun menanamnya dengan dibantu para sahabat. Setelah selesai aku menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan memberitahukan perihalku. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar bersamaku menuju kebun yang aku tanami itu. Kami dekatkan pohon (tunas) kurma itu kepada beliau dan Rasulullah pun meletakkannya di tangan beliau. Maka, demi jiwa Salman yang berada di Tangan-Nya, tidak ada sebatang pohon pun yang mati.
Untuk tebusan pohon kurma sudah terpenuhi, aku masih mempunyai tanggungan uang sebesar 40 uqiyah. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membawa emas sebesar telur ayam hasil dari rampasan perang. Lantas beliau bersabda, ‘Apa yang telah dilakukan Salman Al-Farisi?’ Kemudian aku dipanggil beliau, lalu beliau bersabda, ‘Ambillah emas ini, silakan manfaatkan untuk melengkapi tebusanmu wahai Salman!’
Wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bagaimana status emas ini bagiku? Rasulullah menjawab, ‘Ambil saja! Insya Allah, Allah subhanahu wa Ta’ala akan memberi kebaikan kepadanya.’ Kemudian aku menimbang emas itu. Demi jiwa Salman yang berada di Tangan-Nya, berat ukuran emas itu 40 uqiyah. Kemudian aku penuhi tebusan yang harus aku serahkan kepada majikanku, dan aku dimerdekakan.
Setelah itu aku turut serta bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam perang Khandaq, dan sejak itu tidak ada satu peperangan yang tidak aku ikuti.” (HR. Ahmad, 5:441. Syaikh Syuaib Al-Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan).
Sedekah itu diberikan kepada orang fakir dan mereka yang membutuhkan untuk memenuhi hajat mereka dan dimaksudkan untuk mengharapkan wajah Allah, bukan ditujukan pada orang tertentu, namun ditujukan pada orang fakir atau miskin mana pun.
Adapun hadiah tidak disyaratkan pada fakir, bahkan diberikan kepada orang fakir, kepada orang kaya. Maksud hadiah adalah untuk menjalin kasih sayang antara orang yang memberi dan yang diberi, juga tujuannya untuk memuliakan.islam.html
Allah Ta’ala berfirman,
أَمْ حَسِبْتَ أَنَّ أَصْحَابَ الْكَهْفِ وَالرَّقِيمِ كَانُوا مِنْ آيَاتِنَا عَجَبًا
“Atau kamu mengira bahwa orang-orang yang mendiami gua dan (yang mempunyai) raqim itu, mereka termasuk tanda-tanda kekuasaan Kami yang mengherankan?” (QS. Al-Kahfi: 9)
Mereka adalah salah satu dari sekian ayat-ayat Allah yang luar biasa.
Al-Kahfi adalah gua di gunung. Nama gua tersebut adalah Hizam (Haizam). Sedangkan Ar-Raqiim adalah papan yang tertulis nama-nama Ashabul Kahfi dan kejadian yang mereka alami, ditulis setelah masa mereka. Versi lain, Ar-Raqiim adalah nama gunung yang terdapat gua. Ada yang berpendapat, itu adalah nama lembah yang terdapat padanya sebuah gua.
Nama anjing mereka adalah Humron.
Kisah Ashabul Kahfi itu setelah masanya Nabi Isa Al-Masih. Mereka itu Nashrani. Kaum mereka itu adalah orang-orang musyrik yang menyembah berhala.
Ashabul Kahfi itu di masa raja Diqyaanus. Ashabul Kahfi itu sendiri adalah pemuda-pemuda yang merupakan putra dari para raja (tokoh). Lihat Al-Bidayah wa An-Nihayah, 2:563.
Para ulama juga berselisih pendapat mengenai letak gua ini. Ada yang berkata di negeri Aylah. Ada yang berpendapat di negeri Niinawa. Ada yang mengatakan di Balqa’. Ada juga yang berpendapat di negeri Ar-Ruum (Romawi). Lihat Al-Bidayah wa An-Nihayah, 2:566.
Allah Ta’ala berfirman,
إِذْ أَوَى الْفِتْيَةُ إِلَى الْكَهْفِ فَقَالُوا رَبَّنَا آتِنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً وَهَيِّئْ لَنَا مِنْ أَمْرِنَا رَشَدًا
“(Ingatlah) tatkala para pemuda itu mencari tempat berlindung ke dalam gua, lalu mereka berdoa: “Wahai Rabb kami, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini)”.” (QS. Al-Kahfi: 10)
Allah Ta’ala memberitakan tentang para pemuda yang melarikan diri menyelamatkan agama mereka dari kaum mereka, agar tidak terfitnah, mereka menjauh dari kaumnya dan menuju sebuah gua di gunung bersembunyi dari kejaran kaumnya. Mereka mengatakan ketika memasuki gua seraya memohon kepada Allah rahmat dan kelembutan-Nya kepada mereka, “Wahai Rabb kami, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu”, yaitu berikan kepada kami rahmat dari sisi-Mu, dengan mengasihani kami dan melindungi kami dari kaum kami. “Dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini)”, yaitu jadikan petunjuk sebagai hasil akhir bagi kami. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits dari Husain bin Arthah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa,
اللهمّ أحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِ
“ALLOHUMMA AHSIN ‘AAQIBATANAA FIL UMUURI KULLIHAA, WA AJIRNAA MIN KHIZYID DUNYAA WA ‘ADZAABIL AAKHIROH. (artinya: Ya Allah, baguskanlah setiap akhir urusan kami, dan selamatkanlah dari kebinasaan di dunia dan dari siksa akhirat).” (HR. Ahmad, 4:181. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth berkata bahwa periwayat hadits ini tsiqqah atau terpercaya kecuali Ayyub bin Maysaroh. Hadits ini juga dikeluarkan oleh Al-Hakim dan ia mensahihkannya, begitu pula Imam Adz-Dzahabi. Lihat Al-Mustadrak, 3:591. Al-Haitsami dalam Majma’ Az-Zawaid, 10:181, menyatakan bahwa perawinya tsiqqah. Lihat catatan kaki Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 5:139).
Baca juga: Doa Agar Baik dalam Urusan
Allah Ta’ala berfirman,
فَضَرَبْنَا عَلَىٰ آذَانِهِمْ فِي الْكَهْفِ سِنِينَ عَدَدًا
“Maka Kami tutup telinga mereka beberapa tahun dalam gua itu.” (QS. Al-Kahfi: 11)
Maksudnya, Allah jadikan telinga mereka tabir yang menghalangi mereka dari mendengar, yaitu, Kami tidurkan mereka dengan tidur yang sangat pulas yang tidak bisa dibangunkan oleh suara-suara, seperti yang terjadi pada orang yang sangat kantuk dan lelap dalam tidurnya, sekalipun diterikai di telinganya, ia tidak mendengar dan tidak terbangun. “beberapa tahun” artinya tahun-tahun yang berbilang, banyak, dan lama.
Baca juga: Mesti Fokus dan Mendengarkan dalam Belajar
Allah Ta’ala berfirman,
ثُمَّ بَعَثْنَاهُمْ لِنَعْلَمَ أَيُّ الْحِزْبَيْنِ أَحْصَىٰ لِمَا لَبِثُوا أَمَدًا
“Kemudian Kami bangunkan mereka, agar Kami mengetahui manakah di antara kedua golongan itu yang lebih tepat dalam menghitung berapa lama mereka tinggal (dalam gua itu).” (QS. Al-Kahfi: 12)
Kemudian Allah bangunkan mereka dari tidur seperti membangkitkan orang mati dari kubur mereka, agar diketahui dua golongan yang berselisih pendapat mengenai berapa lama mereka tertidur di dalam gua. Dengan perhitungan yang sangat teliti, yaitu lebih meliputi berapa lama mereka tinggal dalam gua, sehingga mereka akan mengetahui selang waktu yang Allah menjaga mereka di dalam gua tanpa makan dan minum, serta memberikan mereka rasa aman dari musuh, dengan begitu sempurnalah petunjuk mereka untuk bersyukur kepada Allah, dan hal itu menjadi tanda kekuasaan bagi mereka yang akan membuat mereka giat untuk beribadah kepada Allah.
Allah Ta’ala berfirman,
نَحْنُ نَقُصُّ عَلَيْكَ نَبَأَهُمْ بِالْحَقِّ ۚ إِنَّهُمْ فِتْيَةٌ آمَنُوا بِرَبِّهِمْ وَزِدْنَاهُمْ هُدًى
“Kami kisahkan kepadamu (Muhammad) cerita ini dengan benar. Sesungguhnya mereka adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Rabb mereka, dan Kami tambah pula untuk mereka petunjuk.” (QS. Al-Kahfi: 13)
Ayat ini merupakan permulaan rincian kisah dan keterangannya. “Sesungguhnya mereka adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Rabb mereka” yakni mengakui keesaan Allah dan mempersaksikan bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah. “dan Kami tambah pula untuk mereka petunjuk”, maksudnya adalah dengan taufik (hidayah) dan tatsbit (pemantapan dan keteguhan).
Baca juga: Empat Tingkatan Hidayah Menurut Ibnul Qayyim
Allah Ta’ala berfirman,
وَرَبَطْنَا عَلَىٰ قُلُوبِهِمْ إِذْ قَامُوا فَقَالُوا رَبُّنَا رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ لَنْ نَدْعُوَ مِنْ دُونِهِ إِلَٰهًا ۖ لَقَدْ قُلْنَا إِذًا شَطَطًا
“Dan Kami meneguhkan hati mereka di waktu mereka berdiri, lalu mereka pun berkata, “Rabb kami adalah Rabb seluruh langit dan bumi; kami sekali-kali tidak menyeru Rabb selain Dia, sesungguhnya kami kalau demikian telah mengucapkan perkataan yang amat jauh dari kebenaran“.” (QS. Al-Kahfi: 14)
Maksudnya adalah mereka dikuatkan dengan kesabaran, mereka meninggalkan kampung halaman mereka serta meninggalkan berbagai kenikmatan demi menyelamatkan agama mereka. Mereka berdiri di hadapan raja mereka dan menyatakan kebenaran dengan tegas di hadapannya ketika kabar mereka terdengar oleh raja dan mereka diminta hadir menghadap raja. Raja bertanya kepada mereka tentang agama dan keyakinan yang mereka Yakini, maka mereka menjawab dengan benar dan bahkan mengajak raja tersebut kepada Allah Ta’ala. Karena itulah dalam ayat disebutkan, “Dan Kami meneguhkan hati mereka di waktu mereka berdiri, lalu mereka pun berkata, “Rabb kami adalah Rabb seluruh langit dan bumi.” Mereka tidak menyembah Rabb selain Allah. Sebab jika mereka berbuat demikian, berarti mereka telah berbuat kebatilan, kedustaan, dan kebohongan.
Allah Ta’ala berfirman,
هَٰؤُلَاءِ قَوْمُنَا اتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ آلِهَةً ۖ لَوْلَا يَأْتُونَ عَلَيْهِمْ بِسُلْطَانٍ بَيِّنٍ ۖ فَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرَىٰ عَلَى اللَّهِ كَذِبًا
“Kaum kami ini telah menjadikan selain Dia sebagai tuhan-tuhan (untuk disembah). Mengapa mereka tidak mengemukakan alasan yang terang (tentang kepercayaan mereka)? Siapakah yang lebih zalim daripada orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah?” (QS. Al-Kahfi: 15)
Hal ini adalah isyarat bahwa orang kafir itu tidak mampu mendatangkan bukti atas apa yang mereka lakukan, yaitu beribadah kepada selain Allah, berbuat syirik. Jadi, mereka itulah orang-orang yang zalim yang menzalimi hak Allah karena mereka berdusta dan berbohong terhadap Allah. Kalau memang Allah itu Mahatinggi, maka tidak pantas bagi selain Allah punya kedudukan tinggi yang sama.
Allah Ta’ala berfirman,
وَإِذِ اعْتَزَلْتُمُوهُمْ وَمَا يَعْبُدُونَ إِلَّا اللَّهَ فَأْوُوا إِلَى الْكَهْفِ يَنْشُرْ لَكُمْ رَبُّكُمْ مِنْ رَحْمَتِهِ وَيُهَيِّئْ لَكُمْ مِنْ أَمْرِكُمْ مِرْفَقًا
“Dan apabila kamu meninggalkan mereka dan apa yang mereka sembah selain Allah, maka carilah tempat berlindung ke dalam gua itu, niscaya Rabbmu akan melimpahkan sebagian rahmat-Nya kepadamu dan menyediakan sesuatu yang berguna bagimu dalam urusan kamu.” (QS. Al-Kahfi: 16)
Yakni, jika kamu semua menyelisihi mereka denagn agama kalian, karena mereka menyembah selain Allah, maka selisihi pula (berpisahlah, tinggalkanlah mereka) dengan badan kalian. “maka carilah tempat berlindung ke dalam gua itu, niscaya Rabbmu akan melimpahkan sebagian rahmat-Nya kepadamu”, yakni, Allah akan membentangkan rahmat-Nya kepada kalian yang menutupi kalian dari kaum kalian yang kafir. “dan menyediakan sesuatu yang berguna bagimu dalam urusan kamu” yang sedang kalian hadapi. Pada saat itulah, mereka keluar menghindar dari kaum mereka menuju sebuah gua kemudian tinggal di dalamnya.
Allah Ta’ala berfirman,
وَتَرَى الشَّمْسَ إِذَا طَلَعَتْ تَزَاوَرُ عَنْ كَهْفِهِمْ ذَاتَ الْيَمِينِ وَإِذَا غَرَبَتْ تَقْرِضُهُمْ ذَاتَ الشِّمَالِ وَهُمْ فِي فَجْوَةٍ مِنْهُ ۚ ذَٰلِكَ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ ۗ مَنْ يَهْدِ اللَّهُ فَهُوَ الْمُهْتَدِ ۖ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَنْ تَجِدَ لَهُ وَلِيًّا مُرْشِدًا
“Dan kamu akan melihat matahari ketika terbit, condong dari gua mereka ke sebelah kanan, dan bila matahari terbenam menjauhi mereka ke sebelah kiri sedang mereka berada dalam tempat yang luas dalam gua itu. Itu adalah sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Allah. Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk; dan barang siapa yang disesatkan-Nya, maka kamu tidak akan mendapatkan seorang pemimpin pun yang dapat memberi petunjuk kepadanya.” (QS. Al-Kahfi: 17)
Yakni, jika matahari meninggi di tempat terbitnya, maka ia condong dari gua (sinar matahari tidak mengenai mereka), yaitu dari pintu gua sebelah kanan. Jika matahari terbenam, maka ia melewati mereka di sebelah kiri, yakni tidak mendekati mereka tetapi melewati.
“Sedang mereka berada dalam tempat yang luas dalam gua itu”, kata fajwah artinya tempat yang luas dan lega dalam gua, sehingga cukup tersedia udara yang datang dari segala penjuru tanpa tersengat matahari.
“Itu adalah sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Allah“, yakni urusan mereka dan petunjuk Allah kepada mereka hingga ke gua tersebut dengan menjadikan mereka tetap hidup, serta apa yang Allah perbuat kepada mereka dari mulai matahari yang condong dan tidak mendekat sejak terbit hingga terbenam, semua itu merupakan tanda-tanda kebesaran Allah yang menunjukkan perhatian dan penjagaan Allah kepada mereka, serta petunjuk Allah kepada hamba-hamba-Nya yang beriman.
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Mereka berada dalam gua bertahun-tahun dan tetap seperti itu, mereka tidak makan, tidak minum, tidak ada asupan makanan yang masuk dalam waktu yang sangat lama, itulah yang menunjukkan tanda kebesaran dan kekuasaan Allah.” (Al-Bidayah wa An-Nihayah, 2:565)
“Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk”, yakni siapa yang ditunjukkan kepada kebenaran oleh Allah, maka ialah orang yang mendapat hidayah. Dalam hal ini terdapat pujian bagi para pemuda mukmin tersebut, yang telah berjihad di jalan Allah, kemudian menyerahkan diri mereka kepada-Nya, sehingga Allah bersikap lembut dan menolong mereka, menunjuki mereka untuk mencapai kemuliaan dan kekhususan dengan ayat-ayat yang luar biasa. Sesungguhnya setiap orang yang menempuh jalan orang-orang yang mendapatkan petunjuk, maka ia akan mendapatkan keberuntungan.
“Dan barang siapa yang disesatkan-Nya, maka kamu tidak akan mendapatkan seorang pemimpin pun yang dapat memberi petunjuk kepadanya”, yakni siapa yang disesatkan oleh Allah, maka pasti kamu tidak akan mendapatkan penolong baginya yang menjaganya dari kesesatan, atau memberi petunjuk kepada jalan kebenaran dan keberuntungan.
Catatan:
Hikmah masuknya matahari dalam gua pada beberapa keadaan adalah agar udara di dalam gua itu tetap baik. Demikian dikatakan oleh Ibnu Katsir rahimahullah dalam Al-Bidayah wa An-Nihayah, 2:565.
Allah Ta’ala berfirman,
وَتَحْسَبُهُمْ أَيْقَاظًا وَهُمْ رُقُودٌ ۚ وَنُقَلِّبُهُمْ ذَاتَ الْيَمِينِ وَذَاتَ الشِّمَالِ ۖ وَكَلْبُهُمْ بَاسِطٌ ذِرَاعَيْهِ بِالْوَصِيدِ ۚ لَوِ اطَّلَعْتَ عَلَيْهِمْ لَوَلَّيْتَ مِنْهُمْ فِرَارًا وَلَمُلِئْتَ مِنْهُمْ رُعْبًا
“Dan kamu mengira mereka itu bangun, padahal mereka tidur; Dan kami balik-balikkan mereka ke kanan dan ke kiri, sedang anjing mereka mengunjurkan kedua lengannya di muka pintu gua. Dan jika kamu menyaksikan mereka tentulah kamu akan berpaling dari mereka dengan melarikan diri dan tentulah (hati) kamu akan dipenuhi oleh ketakutan terhadap mereka.” (QS. Al-Kahfi: 18)
“Dan kamu mengira mereka itu” adalah pembicaraan untuk setiap orang, maksudnya, kamu mengira “mereka itu bangun” karena mata mereka terbuka.
Karena kalau tidur dalam keadaan mata mereka tertutup lama itu akan berdampak jelek. Demikian kata Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wa An-Nihayah, 2:565.
“Padahal mereka tidur” sangat lelap dan pulas dalam tidurnya hingga tidak ada suara yang bisa membangunkan mereka, “dan Kami bolak-balikkan mereka” yakni dalam tidur mereka “ke kanan dan ke kiri” agar tanah tidak merusak badan mereka, “sedang anjing mereka membentangkan kedua lengannya di muka pintu gua” yakni di halaman gua atau pintu gua.
Ibnu Katsir menjelaskan bahwa anjing tersebut tidak masuk dalam gua, hanya meletakkan kakinya di pintu gua. Inilah bentuk adab dari anjing tersebut. Para pemuda kahfi juga sangat memuliakan anjing tersebut.
Anjing itu tidak berada dalam gua sebab malaikat tidak mau masuk dalam rumah yang ada anjing di dalamnya. Demikian dijelaskan oleh Ibnu Katsir rahimahullah dalam Al-Bidayah wa An-Nihayah, 2:566.
Keberkahan pemuda mukmin ini melingkupi hingga anjing mereka, ia juga mengalami seperti yang mereka alami, yaitu tidur panjang dalam keadaan seperti itu.
Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Ini adalah manfaat dari menemani orang-orang baik. Lihatlah hingga anjing ini pun selalu diingat dan memiliki kedudukan tersendiri. Karena siapa saja yang mencintai suatu kaum, ia akan bahagia bersama mereka. Kalau pada anjing saja bisa seperti itu, maka pasti berlaku pula bagi siapa saja yang mengikuti orang yang berbuat baik yang pantas dimuliakan.” (Al-Bidayah wa An-Nihayah, 2:566)
“Dan jika kamu menyaksikan mereka tentulah kamu akan berpaling dari mereka dengan melarikan diri dan tentulah (hati) kamu akan dipenuhi oleh ketakutan terhadap mereka”, yakni jika kamu melihat mereka sekalipun begitu kuatnya kamu dalam melawan agar tidak lari, pasti kamu akan kalah dan lari dengan penuh ketakutan, yaitu hatimu dipenuhi rasa takut karena merkea para pemuda itu dilingkupi aura kewibawaan, sehingga tidak ada seorang pun yang melihat mereka kecuali akan ketakutan kemudian berpaling dan melarikan diri menjauh. Ini seperti yang dikatakan oleh Ibnu Katsir rahimahullah, “Agar tidak ada seorang pun yang mendekati atau menyentuh mereka hingga ketentuan itu sampai pada masanya, masa tidur mereka habis sesuai kehendak Allah Ta’ala, mengingat hal ini mengandung hikmah, hujjah yang kuat, dan rahmat yang luas.”
Pelajaran penting dari ayat “Dan jika kamu menyaksikan mereka tentulah kamu akan berpaling dari mereka dengan melarikan diri dan tentulah (hati) kamu akan dipenuhi oleh ketakutan terhadap mereka”.
Ibnu Katsir rahimahullah lantas berkata,
ِأَنَّ الخَبَرَ لَيْسَ كَالمُعَايَنَة
“Berita itu tidak sama dengan melihat langsung.” (Al-Bidayah wa An-Nihayah, 2:567)
Allah Ta’ala berfirman,
وَكَذَٰلِكَ بَعَثْنَاهُمْ لِيَتَسَاءَلُوا بَيْنَهُمْ ۚ قَالَ قَائِلٌ مِنْهُمْ كَمْ لَبِثْتُمْ ۖ قَالُوا لَبِثْنَا يَوْمًا أَوْ بَعْضَ يَوْمٍ ۚ قَالُوا رَبُّكُمْ أَعْلَمُ بِمَا لَبِثْتُمْ فَابْعَثُوا أَحَدَكُمْ بِوَرِقِكُمْ هَٰذِهِ إِلَى الْمَدِينَةِ فَلْيَنْظُرْ أَيُّهَا أَزْكَىٰ طَعَامًا فَلْيَأْتِكُمْ بِرِزْقٍ مِنْهُ وَلْيَتَلَطَّفْ وَلَا يُشْعِرَنَّ بِكُمْ أَحَدًا
“Dan demikianlah Kami bangunkan mereka agar mereka saling bertanya di antara mereka sendiri. Berkatalah salah seorang di antara mereka: Sudah berapa lamakah kamu berada (di sini?)”. Mereka menjawab: “Kita berada (di sini) sehari atau setengah hari”. Berkata (yang lain lagi): “Rabb kamu lebih mengetahui berapa lamanya kamu berada (di sini). Maka suruhlah salah seorang di antara kamu untuk pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah dia lihat manakah makanan yang lebih baik, maka hendaklah ia membawa makanan itu untukmu, dan hendaklah ia berlaku lemah-lembut dan janganlah sekali-kali menceritakan halmu kepada seorang pun.” (QS. Al-Kahfi: 19)
Yakni, sebagaimana kami tidurkan mereka dengan tidur yang sangat panjang, maka kami bangunkan mereka denagn keadaan segar bugar tubuh mereka, sehat, begitu pula dengan rambut dan kulit mereka tidak ada yang berubah dari keadaan dan bentuk mereka. Hal ini sebagai pengingat akan kemahakuasaan Allah untuk menidurkan dan mematikan serta membangkitkan kembali.
Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Mereka bangun setelah 309 tahun.” (Al-Bidayah wa An-Nihayah, 2:567)
“Agar mereka saling bertanya di antara mereka sendiri” yakni, agar sebagian bertanya kepada yang lain dan mengetahui keadaan mereka serta apa yang diperbuat Allah terhadap mereka, sehingga mereka bisa mengambil pelajaran lalu berhujjah dengan itu untuk menunjukkan kekuasaan Allah Ta’ala, maka bertambah yakin dan bersyukur kepada Allah atas nikmat yang diberikan kepada mereka.
“Berkatalah salah seorang di antara mereka: Sudah berapa lamakah kamu berada (di sini?)” yakni berapa lama kamu tidur di sini. “Mereka menjawab: “Kita berada (di sini) sehari atau setengah hari”, karena saat mereka masuk gua waktu itu di permulaan siang (pagi), dan Allah bangunkan mereka di akhir sore. Karena itulah mereka mengatakan sebagian hari.
“Berkata (yang lain lagi): “Rabb kamu lebih mengetahui berapa lamanya kamu berada (di sini)” yakni, Allah yang Maha Mengetahui urusan kalian. Sepertinya muncul keraguan pada mereka dalam hal lama tidaknya tertidur, kemudian dalam diri mereka ada bisikan (ilham) dari Allah, atau dengan indikasi-indikasi yang mereka saksikan dari keadaan mereka yang menunjukkan bahwa mereka tertidur panjang, dan berapa lamanya tidak diketahui, maka mereka serahkan kebenarannya kepada Allah. Mereka berkata, “Rabb kalian lebih mengetahui berapa lama kalian di sini.” Setelah itu mereka kembali kepada yang paling penting dalam urusan mereka, yaitu kebutuhan mereka kepada makanan dan minuman. Mereka berkata, “Suruhlah salah seorang di antara kamu untuk pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini” yakni ke kota tempat mereka keluar darinya, “dan hendaklah dia lihat manakah makanan yang lebih baik” yakni yang paling enak.
“Dan hendaklah ia berlaku lemah-lembut” yakni dalam keluar dan membeli makanan serta saat kembali, maksudnya hendaknya merahasiakan dirinya sebisa mungkin, “dan janganlah sekali-kali menceritakan halmu kepada seorang pun” yakni, jangan melakukan tanpa ia sadari, apa yang bisa membuka rahasia dan keberadaan kita.
Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّهُمْ إِنْ يَظْهَرُوا عَلَيْكُمْ يَرْجُمُوكُمْ أَوْ يُعِيدُوكُمْ فِي مِلَّتِهِمْ وَلَنْ تُفْلِحُوا إِذًا أَبَدًا
“Sesungguhnya jika mereka dapat mengetahui tempatmu, niscaya mereka akan melempar kamu dengan batu, atau memaksamu kembali kepada agama mereka, dan jika demikian niscaya kamu tidak akan beruntung selama lamanya”.” (QS. Al-Kahfi: 20). Jika kalian kembali kepada agama mereka, maka pasti kalian tidak akan beruntung selamanya.
Catatan:
Mereka menyangka bahwa mereka hanya tidur sehari atau sebagian hari atau lebih dari itu. Padahal mereka telah tidur lebih dari 300 tahun. Selama itu telah berganti pemerintahan dan negeri sudah berubah. Orang-orang yang dulu sudah tiada dan berganti. Mereka menjadi terasing karena keadaan mereka berbeda dengan penduduk saat mereka bangun dan mata uang dirham yang dibawa pun berbeda. Lihat Al-Bidayah wa An-Nihayah, 2:568.
Lamanya ashabul kahfi tertidur dalam gua disebutkan dalam ayat,
وَلَبِثُوا فِي كَهْفِهِمْ ثَلَاثَ مِائَةٍ سِنِينَ وَازْدَادُوا تِسْعًا
“Dan mereka tinggal dalam gua mereka tiga ratus tahun dan ditambah sembilan tahun (lagi).” (QS. Al-Kahfi: 25). Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Mengenai begitu lamanya pemuda ashabul kahfi tertidur dalam gua ada faedah yang besar.” (Al-Bidayah wa An-Nihayah, 2:571)
Allah Ta’ala berfirman,
وَكَذَٰلِكَ أَعْثَرْنَا عَلَيْهِمْ لِيَعْلَمُوا أَنَّ وَعْدَ اللَّهِ حَقٌّ وَأَنَّ السَّاعَةَ لَا رَيْبَ فِيهَا إِذْ يَتَنَازَعُونَ بَيْنَهُمْ أَمْرَهُمْ ۖ فَقَالُوا ابْنُوا عَلَيْهِمْ بُنْيَانًا ۖ رَبُّهُمْ أَعْلَمُ بِهِمْ ۚ قَالَ الَّذِينَ غَلَبُوا عَلَىٰ أَمْرِهِمْ لَنَتَّخِذَنَّ عَلَيْهِمْ مَسْجِدًا
“Dan demikian (pula) Kami mempertemukan (manusia) dengan mereka, agar manusia itu mengetahui, bahwa janji Allah itu benar, dan bahwa kedatangan hari kiamat tidak ada keraguan padanya. Ketika orang-orang itu berselisih tentang urusan mereka, orang-orang itu berkata: “Dirikan sebuah bangunan di atas (gua) mereka, Rabb mereka lebih mengetahui tentang mereka”. Orang-orang yang berkuasa atas urusan mereka berkata: “Sesungguhnya kami akan mendirikan sebuah rumah peribadatan di atasnya”.” (QS. Al-Kahfi: 21)
“Demikian (pula) Kami mempertemukan (manusia) dengan mereka” yakni, sebagaimana Kami tidurkan mereka kemudian kami bangunkan dalam keadaan dan bentuk semula, begitu pula Kami perlihatkan kepada mereka manusia di waktu itu, “agar manusia itu mengetahui, bahwa janji Allah itu benar, dan bahwa kedatangan hari kiamat tidak ada keraguan padanya” yakni, orang-orang yang Kami berikan kesempatan melihat mereka (ashabul kahfi) yang Kami bangunkan kembali keadaan mereka sebelumnya (tidak ada yang berubah), agar mereka mengetahui bahwa janji Allah dengan hari kebangkitan setelah kematian itu benar adanya, karena keadaan para pemuda dalam tidur panjang mereka dan keadaan mereka saat terjaga, keadaan mereka tidak ubahnya adalah keadaan orang yang mati kemudian dibangkitkan lagi.
“Ketika orang-orang itu berselisih tentang urusan mereka” yakni, Kami pertemukan manusia di zaman itu dengan para pemuda Al-Kahfi, ketika mereka berselisih di antara mereka tentang urusan agama mereka, dan berbeda pendapat dalam hal kebangkitan, sebagian ada yang mengatakan, “Yang dibangkitkan hanyalah ruh, bukan jasad.” Sebagian lagi mengatakan, “Yang dibangkitkan adalah jasad dan ruh sekaligus. Maka Allah membangkitkan ashabul kahfi dari tidur mereka, sebagai bukti bahwa Allah membangkitkan orang-orang mati dengan jasad dan ruh mereka sekaligus.
“Orang-orang itu berkata” yakni, manusia setelah melihat ashabul kahfi, mereka berbicara kepada para pemuda itu dan mereka pun menceritakan keadaan mereka yang tertidur. Setelah menceritakan itu, para pemuda ashabul kahfi itu pun meninggal dunia.
“Dirikankah sebuah bangunan di atas gua mereka” yakni, di atas pintu gua, maksudnya tutuplah pintu gua itu dan biarkanlah mereka seperti keadaan semula.
“Rabb mereka lebih mengetahui tentang mereka” sebuah ungkapan dari orang-orang yang tadi berselisih pendapat, seakan-akan mereka ingat urusan mereka (para pemuda), kemudian saling menyampaikan tentang nasab dan hal ihwal mereka serta lamanya mereka tinggal di dalam gua. Ketika mereka tidak bisa mengetahui hakikat sebenarnya, mereka mengatakan, “Rabb mereka lebih mengetahui urusan mereka”. Atau kemungkinan ini merupakan pernyataan Allah untuk membantah orang-orang yang terlalu jauh dalam membicarakan urusan pemuda ini, dari mereka yang berselisih pendapat.
“Orang-orang yang berkuasa atas urusan mereka berkata: “Sesungguhnya kami akan mendirikan sebuah rumah peribadatan di atasnya” yakni, mereka yang menang ketika berselisih pendapat itu, dan mereka adalah orang-orang kuat dan berpengaruh, kami akan mendirikan rumah ibadah, yakni kami akan shalat di sana untuk mendapatkan keberkahan dari para pemuda dan kedudukan mereka. Inilah syariat sebelum syariat Nabi Muhammad. Adapun pada syariat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
لَعَنَ اللَّهُ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ
“Allah melaknat Yahudi dan Nashrani, mereka menjadikan kubur para nabi dan orang saleh dari mereka sebagai masjid.” (HR. Bukhari, no. 1390 dan Muslim, no. 529)
Di sini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan yang mereka lakukan. Oleh karena itu, tidak boleh membangun masjid di atas kuburan berdasarkan larangan yang sangat jelas yang ada dalam masalah ini.
Allah Ta’ala berfirman,
سَيَقُولُونَ ثَلَاثَةٌ رَابِعُهُمْ كَلْبُهُمْ وَيَقُولُونَ خَمْسَةٌ سَادِسُهُمْ كَلْبُهُمْ رَجْمًا بِالْغَيْبِ ۖ وَيَقُولُونَ سَبْعَةٌ وَثَامِنُهُمْ كَلْبُهُمْ ۚ قُلْ رَبِّي أَعْلَمُ بِعِدَّتِهِمْ مَا يَعْلَمُهُمْ إِلَّا قَلِيلٌ ۗ فَلَا تُمَارِ فِيهِمْ إِلَّا مِرَاءً ظَاهِرًا وَلَا تَسْتَفْتِ فِيهِمْ مِنْهُمْ أَحَدًا
“Nanti (ada orang yang akan) mengatakan (jumlah mereka) adalah tiga orang yang keempat adalah anjingnya, dan (yang lain) mengatakan: “(jumlah mereka) adalah lima orang yang keenam adalah anjing nya”, sebagai terkaan terhadap barang yang gaib; dan (yang lain lagi) mengatakan: “(jumlah mereka) tujuh orang, yang ke delapan adalah anjingnya”. Katakanlah: “Rabbku lebih mengetahui jumlah mereka; tidak ada orang yang mengetahui (bilangan) mereka kecuali sedikit”. Karena itu janganlah kamu (Muhammad) bertengkar tentang hal mereka, kecuali pertengkaran lahir saja dan jangan kamu menanyakan tentang mereka (pemuda-pemuda itu) kepada seorang pun di antara mereka.” (QS. Al-Kahfi: 22)
Allah menyebutkan tiga pendapat mengenai berapakah jumlah para pemuda penghuni gua tersebut. Allah menyebutkan pendapat ketiga lalu mendiamkannya. Hal itu menunjukkan bahwa pendapat ketiga itu yang benar.
Pendapat pertama: tiga orang, yang keempat adalah anjingnya.
Pendapat kedua: lima orang, yang keenam adalah anjingnya.
Pendapat ketiga: tujuh orang, yang kedelapan adalah anjingnya.
Pendapat pertama dan kedua disebutkan selanjutnya “sebagai terkaan terhadap barang yang gaib” menunjukkan bahwa pendapat ini tidak berdasar pada ilmu. Kemudian Allah memberikan petunjuk bahwa mengetahui jumlah mereka tidak ada manfaatnya, sehingga dalam masalah ini hendaklah kita berkata, “Rabbku lebih mengetahui jumlah mereka; tidak ada orang yang mengetahui (bilangan) mereka kecuali sedikit“, yakni tidak ada yang mengetahui jumlah para pemuda penghuni gua kecuali sedikit orang yang diberitahukan oleh Allah.
“Karena itu janganlah kamu (Muhammad) bertengkar tentang hal mereka, kecuali pertengkaran lahir saja” yakni, jangan mendebat ahli kitab tentang ashabul kahfi kecuali perdebatan seperlunya yang tidak terlalu jauh dalam mempermasalahkannya, yaitu kisahkan saja kepada mereka apa yang Allah wahyukan kepadamu, cukup seperti itu, jangan kau tambah.
“Dan jangan kamu menanyakan tentang mereka (pemuda-pemuda itu) kepada seorang pun di antara mereka” yakni jangan bertanya kepada seorang pun dari mereka (ahli kitab) tentang kisah mereka, pertanyaan yang mengandung pengingkaran, hingga mengatakan sesuatu kemudian kamu bantah dan kamu palsukan apa yang ada padanya. Tidak pula pertanyaan orang yang minta petunjuk karena Allah telah memberikan petunjuk kepadamu dengan menurunkan wahyu kepadamu tentang kisah mereka dan apa yang berhubungan dengan jumlah serta urusan mereka. Hal ini sudah cukup bagi orang yang hendak mengetahui perihal para pemuda penghuni gua, serta mengambil pelajaran dan nasihat dari kisah mereka.
Allah Ta’ala berfirman mengisahkan Ashabul Kahfi,
نَحْنُ نَقُصُّ عَلَيْكَ نَبَأَهُمْ بِالْحَقِّ ۚ إِنَّهُمْ فِتْيَةٌ آمَنُوا بِرَبِّهِمْ وَزِدْنَاهُمْ هُدًى
“Kami kisahkan kepadamu (Muhammad) cerita ini dengan benar. Sesungguhnya mereka adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Rabb mereka, dan Kami tambah pula untuk mereka petunjuk.” (QS. Al-Kahfi: 13)
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Allah menyebutkan bahwa mereka penghuni gua adalah para pemuda. Mereka adalah orang yang paling cepat menerima kebenaran, paling lurus dalam menempuh jalan, dibanding para sepuh yang telah banyak salah dan jauh terjerumus dalam agama yang batil. Oleh karena itu, kebanyakan yang menerima dakwah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah para pemuda. Adapun para sepuh dari Quraisy, pada umumnya tetap dalam agama nenek moyang dan tidak mau masuk Islam kecuali sedikit. Demikianlah Allah memberitahukan kepada kita tentang ashabul kahfi, bahwa mereka itu adalah anak-anak muda.” (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 5:140)
Maka para dai harus memperbanyak cara dan pendekatan kepada para pemuda agar dakwah sampai kepada mereka. Para pemuda itu memiliki kekuatan, semangat, hati yang bening, dan memiliki sesuatu yang sangat diperlukan dalam dakwah. Para pemuda bisa dimotivasi dengan kisah-kisah, termasuk kisah agar para pemuda jauh dari maksiat seperti kisah Nabi Yusuf ‘alaihis salam.
Baca juga: Kisah Nabi Yusuf Ketika Digoda dan 14 Cobaan Berat Beliau
Dalilnya adalah,
نَحْنُ نَقُصُّ عَلَيْكَ نَبَأَهُمْ بِالْحَقِّ ۚ إِنَّهُمْ فِتْيَةٌ آمَنُوا بِرَبِّهِمْ وَزِدْنَاهُمْ هُدًى
“Kami kisahkan kepadamu (Muhammad) cerita ini dengan benar. Sesungguhnya mereka adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Rabb mereka, dan Kami tambah pula untuk mereka petunjuk.” (QS. Al-Kahfi: 13)
Dalil lainnya yang menunjukkan iman itu bisa bertambah adalah:
وَالَّذِينَ اهْتَدَوْا زَادَهُمْ هُدًى وَآتَاهُمْ تَقْوَاهُمْ
“Dan orang-orang yang mau menerima petunjuk, Allah menambah petunjuk kepada mereka dan memberikan balasan ketakwaannya.” (QS. Muhammad: 17)
وَإِذَا مَا أُنْزِلَتْ سُورَةٌ فَمِنْهُمْ مَنْ يَقُولُ أَيُّكُمْ زَادَتْهُ هَٰذِهِ إِيمَانًا ۚ فَأَمَّا الَّذِينَ آمَنُوا فَزَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَهُمْ يَسْتَبْشِرُونَ
“Dan apabila diturunkan suatu surat, maka di antara mereka (orang-orang munafik) ada yang berkata: “Siapakah di antara kamu yang bertambah imannya dengan (turannya) surat ini?” Adapun orang-orang yang beriman, maka surat ini menambah imannya, dan mereka merasa gembira.” (QS. At-Taubah: 124)
هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ السَّكِينَةَ فِي قُلُوبِ الْمُؤْمِنِينَ لِيَزْدَادُوا إِيمَانًا مَعَ إِيمَانِهِمْ ۗ وَلِلَّهِ جُنُودُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۚ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا
“Dialah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada). Dan kepunyaan Allah-lah tentara langit dan bumi dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Fath: 4)
Iman itu bisa bertambah dengan ketaatan kepada Allah, beramal saleh, dan yang paling utama adalah beriman kepada Allah dan jihad fii sabilillah. Yang termasuk jihad di jalan Allah adalah berdakwah dengan ucapan, tulisan, dan berbagai sarana dakwah.
Dari Abu Dzarr radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
قُلْتُ يَا رَسُوْلَ اللَّهِ، أيُّ الأعْمَالِ أَفْضَلُ ؟ قال : « الإِيْمَانُ بِاللَّهِ ، وَالجِهَادُ فِي سَبِيلِهِ »
“Aku bertanya, “Wahai Rasulullah, amalan apakah yang paling utama?” Beliau menjawab, “Iman kepada Allah dan jihad di jalan Allah.” (HR. Muslim, no. 84)
Baca juga:
Termasuk kisah para pemuda penghuni gua seperti yang dijelaskan oleh ulama tafsir bahwa para pemuda itu adalah putra dan anak-anak pembesar kaumnya, mereka keluar suatu hari pada hari raya kaumnya. Kaum mereka punya acara pertemuan besar dalam setahun. Kaum tersebut bertemu di pusat kota, menyembah shonam (patung yang memiliki bentuk seperti makhluk) yang telah disiapkan, menyembelih qurban untuk patung-patung tersebut. Kaum tersebut dipimpin oleh seorang raja yang kafir yang bengis (yaitu Diqyanus) yang memerintahkan manusia untuk melakukan kesyirikan dan mengajak kaumnya bersama-sama melakukan itu.
Ketika para pemuda ini hendak bertemu dalam majelis mereka, para pemuda ini keluar bersama orang tua dan kaum mereka, kemudian para pemuda ini melihat perbuatan kaumnya dengan mata kepala mereka sendiri. Para pemuda ini mengetahui perbuatan kaumnya, mulai dari sujud dan menyembelih kepada shonam. Padahal hal ini adalah ibadah yang hanya boleh ditujukan kepada Allah Yang Menciptakan langit dan bumi.
Para pemuda ini berlepas diri dari kaumnya, berpisah, dan duduk jauh dari mereka. Yang pertama kali duduk dan menjauh adalah satu dari pemuda tersebut, ia duduk berteduh di bawah pohon, lalu datang pemuda lain, terus berdatangan, dan akhirnya mereka berkumpul. Yang menyatukan mereka di bawah pohon adalah hati mereka yang beriman kepada Allah.
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الأَرْوَاحُ جُنُودٌ مُجَنَّدَةٌ فَمَا تَعَارَفَ مِنْهَا ائْتَلَفَ وَمَا تَنَاكَرَ مِنْهَا اخْتَلَفَ
“Arwah itu adalah bala tentara yang berlimpah dan bermacam (masing-masing ada kesesuaian dalam hal kebaikan dan keburukan). Yang sudah saling kenal (cocok), maka akan menyatu. Yang tidak saling kenal (tidak cocok), pasti akan berpisah.” (HR. Bukhari, no. 3158 dan Muslim, no. 2638). Imam Nawawi rahimahullah mengatakan tentang hadits ini,
فَيَمِيل الْأَخْيَار إِلَى الْأَخْيَار ، وَالْأَشْرَار إِلَى الْأَشْرَار
“Orang baik akan cenderung berkumpul dengan orang baik. Orang jelek pun demikian akan berkumpul dengan orang jelek.” (Syarh Shahih Muslim, 16:185)
Masing-masing dari pemuda itu merahasiakan apa yang ada dalam hatinya, karena takut kepada yang lainnya, mereka tidak tahu bahwa mereka sama-sama beriman. Mereka kemudian saling mengungkapkan pendapat mereka. Mereka semua ternyata sama-sama sepakat untuk mengingkari perbuatan kaumnya. Mereka sama-sama meyakini bahwa Allah satu-satunya yang berhak disembah. Lalu mereka sama-sama beribadah kepada Allah di suatu tempat. Keadaan para pemuda ini pun diketahui oleh kaumnya dan dilaporkan kepada raja mereka. Para pemuda ini pun dipanggil oleh raja dan ditanya, lantas mereka mengungkapkan kebenaran yang mereka yakini di hadapan raja. Dalam ayat disebutkan,
وَرَبَطْنَا عَلَىٰ قُلُوبِهِمْ إِذْ قَامُوا فَقَالُوا رَبُّنَا رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ لَنْ نَدْعُوَ مِنْ دُونِهِ إِلَٰهًا ۖ لَقَدْ قُلْنَا إِذًا شَطَطًا
“Dan Kami meneguhkan hati mereka di waktu mereka berdiri, lalu mereka pun berkata, “Rabb kami adalah Rabb seluruh langit dan bumi; kami sekali-kali tidak menyeru Rabb selain Dia, sesungguhnya kami kalau demikian telah mengucapkan perkataan yang amat jauh dari kebenaran“.” (QS. Al-Kahfi: 14). Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim karya Ibnu Katsir, 5:140-141.
Pelajaran yang dapat diambil adalah para dai harus menjalin hubungan yang baik dengan sesama dai, saling tolong menolong dalam kebaikan.
Setelah pemuda dalam kisah ini saling kenal dan saling mengetahui rahasia masing-masing, dan menjadi jelas bahwa akidah mereka itu satu, tujuan mereka satu, dan dakwah mereka satu, maka mereka membangun tempat ibadah untuk beribadah kepada Allah. Mereka pun mengajak rajanya ketika berdialog untuk beribadah kepada Allah. Namun, dakwah para pemuda ini ditolak bahkan mendapatkan ancaman. Keterusterangan pemuda ini dalam menyatakan diri mereka beriman dan mendakwahkannya patut dicontoh.
Dari sini kita dapat ambil pelajaran, para dai harus berterusterang dalam menyampaikan kebenaran, mengumumkan dakwah mereka di hadapan para penguasa sombong dan zalim, agar mental mereka terhinakan, sebaliknya kekuatan kaum mukminin bertambah kuat, dan membuat mereka berani untuk berhadapan dengan orang-orang zalim dari para penguasa. Sikap para dai seperti yang kami sebutkan ini, jika mereka menyaksikan dengan mata kepala atau dengan indikasi bahwa keterusterangan mereka dalam menyampaikan kebenaran serta menghadapi para penguasa zalim dengan kebenaran dakwahnya, lebih baik daripada sikap diam di hadapan mereka atau daripada mereka memilih untuk mengambil keringanan (yaitu pura-pura). Sesungguhnya seorang mukmin melihat dengan cahaya Allah, dan seukuran iman dalam dirinya serta dalamnya iman tersebut dan keikhlasan kepada Rabbnya, maka demikianlah kekuatan cahaya seharusnya ia pilih. Sekalipun sikap itu akan menyebabkannya mati dibunuh secara syahid, karena dai itu adalah mujahid (pejuang). Jihad dalam dakwah ini adalah mempersembahkan jiwa raga di jalan Allah. Hal ini tidak termasuk melemparkan diri dalam kebinasaan, selama orang mukmin, dai, mengharapkan dari perbuatannya itu untuk merealisasikan maslahat syariyyah bagi dakwah dan kaum muslimin.
Namun, dianjurkan untuk tetap tinggal jika dipandang ada maslahat besar semisal untuk berdakwah.
Banyak dalil-dalil yang menganjurkan untuk ‘uzlah (mengasingkan diri) demi menyelamatkan diri atau menghindari masyarakat yang banyak terjadi maksiat, kebid’ahan, dan pelanggaran agama. Di antaranya sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
خَيْرُ الناسِ في الفِتَنِ رجلٌ آخِذٌ بِعِنانِ فَرَسِه أوْ قال بِرَسَنِ فَرَسِه خلفَ أَعْدَاءِ اللهِ يُخِيفُهُمْ و يُخِيفُونَهُ ، أوْ رجلٌ مُعْتَزِلٌ في بادِيَتِه ، يُؤَدِّي حقَّ اللهِ تَعالَى الذي عليهِ
“Sebaik-baik manusia ketika berhadapan dengan hal yang merusak (fitnah) adalah orang yang memegang tali kekang kudanya menghadapi musuh-musuh Allah. Ia menakuti-nakuti mereka, dan mereka pun menakut-nakutinya. Atau seseorang yang mengasingkan diri ke lereng-lereng gunung, demi menunaikan apa yang menjadi hak Allah.” (HR. Al-Hakim, 4: 446. Hadits ini disahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, no. 698).
Sebagaimana juga dalam hadits Abu Sa’id,
قَالَ رَجُلٌ أَىُّ النَّاسِ أَفْضَلُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ « مُؤْمِنٌ يُجَاهِدُ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فِى سَبِيلِ اللَّهِ ». قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ « ثُمَّ رَجُلٌ مُعْتَزِلٌ فِى شِعْبٍ مِنَ الشِّعَابِ يَعْبُدُ رَبَّهُ وَيَدَعُ النَّاسَ مِنْ شَرِّهِ ».
“Seseorang bertanya kepada Nabi, ‘Siapakan manusia yang paling afdal wahai Rasulullah?’ Nabi menjawab, ‘Orang yang berjihad dengan jiwanya dan hartanya di jalan Allah’. Lelaki tadi bertanya lagi, ‘Lalu siapa?’ Nabi menjawab, ‘Lalu orang yang mengasingkan diri di lembah-lembah demi untuk menyembah Rabb-nya dan menjauhkan diri dari kebobrokan masyarakat.’” (HR. Muslim, no. 1888).
Bahkan andai satu-satunya jalan supaya selamat dari kerusakan adalah dengan mengasingkan diri ke lembah-lembah dan puncak-puncak gunung, maka itu lebih baik daripada agama kita terancam hancur. Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
يُوشِكُ أَنْ يَكُونَ خَيْرَ مَالِ الْمُسْلِمِ غَنَمٌ يَتْبَعُ بِهَا شَعَفَ الْجِبَالِ وَمَوَاقِعَ الْقَطْرِ ، يَفِرُّ بِدِينِهِ مِنَ الْفِتَنِ
“Hampir-hampir harta seseorang yang paling baik adalah kambing yang ia pelihara di puncak gunung dan lembah, karena ia lari mengasingkan diri demi menyelamatkan agamanya dari kerusakan.” (HR. Bukhari, no. 19)
Sebagian dalil yang lain menganjurkan kita untuk bergaul di tengah masyarakat walaupun bobrok keadaannya, dalam rangka berdakwah dan amar makruf nahi munkar di dalamnya. Di antaranya firman Allah Ta’ala,
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (QS. Al-Maidah: 2).
Juga firman Allah Ta’ala,
وَالْعَصْرِ ﴿١﴾ إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ ﴿٢﴾ إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ ﴿٣﴾
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.” (QS. Al-‘Ashr: 1-3)
Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْمُؤْمِنُ الَّذِى يُخَالِطُ النَّاسَ وَيَصْبِرُ عَلَى أَذَاهُمْ أَعْظَمُ أَجْرًا مِنَ الْمُؤْمِنِ الَّذِى لاَ يُخَالِطُ النَّاسَ وَلاَ يَصْبِرُ عَلَى أَذَاهُمْ
“Seorang mukmin yang bergaul di tengah masyarakat dan bersabar terhadap gangguan mereka, itu lebih baik dari pada seorang mukmin yang tidak bergaul di tengah masyarakat dan tidak bersabar terhadap gangguan mereka.” (HR. Tirmidzi, no. 2507. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Juga dalilnya dari hadits tentang keutamaan ‘Ali bin Abi Thalib berikut. Dari Sahl bin Sa’ad, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda saat perang Khoibar,
لأُعْطِيَنَّ الرَّايَةَ غَدًا رَجُلاً يُفْتَحُ عَلَى يَدَيْهِ ، يُحِبُّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ ، وَيُحِبُّهُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ » .فَبَاتَ النَّاسُ لَيْلَتَهُمْ أَيُّهُمْ يُعْطَى فَغَدَوْا كُلُّهُمْ يَرْجُوهُ فَقَالَ « أَيْنَ عَلِىٌّ » . فَقِيلَ يَشْتَكِى عَيْنَيْهِ ، فَبَصَقَ فِى عَيْنَيْهِ وَدَعَا لَهُ ، فَبَرَأَ كَأَنْ لَمْ يَكُنْ بِهِ وَجَعٌ ، فَأَعْطَاهُ فَقَالَ أُقَاتِلُهُمْ حَتَّى يَكُونُوا مِثْلَنَا . فَقَالَ « انْفُذْ عَلَى رِسْلِكَ حَتَّى تَنْزِلَ بِسَاحَتِهِمْ ، ثُمَّ ادْعُهُمْ إِلَى الإِسْلاَمِ ، وَأَخْبِرْهُمْ بِمَا يَجِبُ عَلَيْهِمْ ، فَوَاللَّهِ لأَنْ يَهْدِىَ اللَّهُ بِكَ رَجُلاً خَيْرٌ لَكَ مِنْ أَنْ يَكُونَ لَكَ حُمْرُ النَّعَمِ
“Sungguh akan diberikan bendera (yang biasa dibawa oleh pemimpin pasukan, pen.) besok pada orang yang akan didatangkan kemenangan melalui tangannya di mana ia mencintai Allah dan Rasul-Nya, lalu Allah dan Rasul-Nya pun mencintai dirinya.” Lalu kemudian para sahabat bermalam dan mendiskusikan siapakah di antara mereka yang nanti akan diberi bendera tersebut. Tiba waktu pagi, mereka semua berharap-harap bisa mendapatkan bendera itu. Namun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam malah bertanya, “Di mana ‘Ali?” Ada yang menjawab bahwa ‘Ali sedang sakit mata. (Lalu ‘Ali dibawa ke hadapan Nabi, pen.), lantas beliau mengusap kedua matanya dan mendo’akan kebaikan untuknya. Lantas ia pun sembuh seakan-akan tidak pernah sakit sebelumnya. Lantas bendera tersebut diberikan kepada ‘Ali dan ia berkata, “Aku akan memerangi mereka hingga mereka bisa seperti kita.” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jalanlah perlahan-lahan ke depan hinggakalian sampai di tengah-tengah mereka. Kemudian dakwahilah mereka pada Islam dan kabari mereka tentang perkara-perkara yang wajib. Demi Allah, sungguh jika Allah memberi hidayah pada seseorang lewat perantaraanmu, maka itu lebih baik dari unta merah.” (HR. Bukhari, no. 3009 dan Muslim, no. 2407).
Dalam sebuah nasehat berharga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Abu Dzar disebutkan,
اتَّقِ اللَّهَ حَيْثُمَا كُنْتَ وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ
“Bertakwalah kepada Allah di mana saja engkau berada. Ikutilah kejelekan dengan kebaikan niscaya ia akan menghapuskan kejelekan tersebut dan berakhlaklah dengan manusia dengan akhlak yang baik.” (HR. Tirmidzi, no. 1987. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini sahih).
Pendapat yang paling tepat dalam hal ini seperti dinyatakan oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah, “Siapa yang mampu untuk bergaul dengan masyarakat dengan tetap melakukan pengingkaran pada kemungkaran, maka wajib baginya untuk bergaul, bisa jadi berlaku hukum baginya fardhu ‘ain atau fardhu kifayah sesuai dengan keadaan dan kemampuan. Ini juga berlaku bagi yang yakin dapat selamat dengan ia tetap melakukan amar ma’ruf nahi mungkar. Namun, jika terjadi kerusakan menimpa dirinya, maka baiknya ia melakukan ‘uzlah (mengasingkan diri) agar tidak terjatuh dalam keharaman. Dan ingat kerusakan itu bukan hanya menimpa mereka yang maksiat namun bisa menimpa secara umum, sebagaimana firman Allah Ta’ala,
وَاتَّقُوا فِتْنَةً لَا تُصِيبَنَّ الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْكُمْ خَاصَّةً
“Dan peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu.” (QS. Al-Anfaal: 25)
Baca juga: Faedah Sirah Nabi, Nabi Menyendiri
Penjelasan sebelumnya, bukan berarti kita tidak boleh bergaul. Namun, bergaul yang tepat adalah sesuai hajat atau kebutuhan.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
فُضُوْلُ المخَالَطَةِ فِيْهِ خَسَرَاةُ الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَإِنَّمَا لِلْعَبْدِ أَنْ يَأْخُذَ مِنَ المخَالَطَةِ بِمِقْدَارِ الحَاجَةِ
“Banyak bergaul itu dapat mendatangkan kerugian di dunia dan akhirat. Selaku hamba seharusnya bergaul sesuai kadar hajat saja.” (Badaai’ Al-Fawaid, 2:821)
Adapun bergaul ada beberapa bentuk menurut Ibnul Qayyim rahimahullah yaitu:
Lihat Badaa-i’ Al-Fawaid (2:821-823).
Baca juga: Langkah Setan dalam Menyesatkan Manusia, Banyak Bergaul
Jika memang bisa memberikan manfaat pada orang lain seperti orang berilmu, maka ia bergaul karena maksud baik tersebut.
Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْمُؤْمِنُ الَّذِى يُخَالِطُ النَّاسَ وَيَصْبِرُ عَلَى أَذَاهُمْ أَعْظَمُ أَجْرًا مِنَ الْمُؤْمِنِ الَّذِى لاَ يُخَالِطُ النَّاسَ وَلاَ يَصْبِرُ عَلَى أَذَاهُمْ
“Seorang mukmin yang bergaul di tengah masyarakat dan bersabar terhadap gangguan mereka, itu lebih baik dari pada seorang mukmin yang tidak bergaul di tengah masyarakat dan tidak bersabar terhadap gangguan mereka.” (HR. Tirmidzi, no. 2507. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini sahih).
Wahb bin Munabbih rahimahullah berkata,
الْمُؤْمِنُ يُخَالِطُ لِيَعْلَمَ، وَيَسْكُتُ لِيَسْلَمَ، وَيَتَكَلَّمُ لِيَفْهَمَ، وَيَخْلُو لِيَغْنَمَ
“Orang yang beriman itu bergaul untuk menambah ilmu, memilih untuk diam agar selamat dari dosa, berbicara untuk mendapat pemahaman, dan menyendiri agar mendapat keberuntungan.” (Disebutkan oleh Ibnu Abi Ad-Dunya dalam Al-‘Uzlah dan Al-Infirad)
Baca juga: Berilah Manfaat untuk Orang Banyak
Para dai harus mengambil manfaat dan belajar dari kisah ashabul kahfi mengenai pentingnya mengambil sebab-sebab yang diperintahkan (masyru’ah, disyariatkan), mereka harus tahu bahwa mengambil sebab tidak merusak iman dan membatalkan tawakal kepada Allah. Bukti bahwa pemuda Al-Kahfi mencari sebab:
– Para pemuda bersembunyi dalam gua, menjadikannya sebagai tempat berlindung dan bersembunyi dari kaumnya. Allah tidak mengingkari apa yang mereka lakukan ini dan apa yang mereka teguhkan niat untuk melakukannya.
وَإِذِ اعْتَزَلْتُمُوهُمْ وَمَا يَعْبُدُونَ إِلَّا اللَّهَ فَأْوُوا إِلَى الْكَهْفِ يَنْشُرْ لَكُمْ رَبُّكُمْ مِنْ رَحْمَتِهِ وَيُهَيِّئْ لَكُمْ مِنْ أَمْرِكُمْ مِرْفَقًا
“Dan apabila kamu meninggalkan mereka dan apa yang mereka sembah selain Allah, maka carilah tempat berlindung ke dalam gua itu, niscaya Rabbmu akan melimpahkan sebagian rahmat-Nya kepadamu dan menyediakan sesuatu yang berguna bagimu dalam urusan kamu.” (QS. Al-Kahfi: 16)
Pemuda-pemuda ini menyelematkan diri dari kaumnya yang kafir, dengan percaya serta tawakal kepada Allah. Mereka pun pergi ke gua dan bersembunyi di dalamnya.
– Allah menjadikan empat sebab agar mereka selamat dari panas matahari dan selamat dari hancur dimakan tanah dengan cara (1) cahaya matahari menjauh dari mereka; (2) badan mereka dibolak-balikkan ke kanan dan ke kiri. Di samping itu, (3) gua tersebut dalam keadaan luas sehingga bisa dibolak-balikkan ke kanan dan ke kiri, lalu (4) mata mereka dalam keadaan terbuka sehingga mata tersebut selama 309 tahun tidaklah rusak. Dalam ayat disebutkan,
وَتَرَى الشَّمْسَ إِذَا طَلَعَتْ تَزَاوَرُ عَنْ كَهْفِهِمْ ذَاتَ الْيَمِينِ وَإِذَا غَرَبَتْ تَقْرِضُهُمْ ذَاتَ الشِّمَالِ وَهُمْ فِي فَجْوَةٍ مِنْهُ ۚ ذَٰلِكَ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ ۗ مَنْ يَهْدِ اللَّهُ فَهُوَ الْمُهْتَدِ ۖ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَنْ تَجِدَ لَهُ وَلِيًّا مُرْشِدًا
“Dan kamu akan melihat matahari ketika terbit, condong dari gua mereka ke sebelah kanan, dan bila matahari terbenam menjauhi mereka ke sebelah kiri sedang mereka berada dalam tempat yang luas dalam gua itu. Itu adalah sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Allah. Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk; dan barang siapa yang disesatkan-Nya, maka kamu tidak akan mendapatkan seorang pemimpin pun yang dapat memberi petunjuk kepadanya.” (QS. Al-Kahfi: 17)
وَتَحْسَبُهُمْ أَيْقَاظًا وَهُمْ رُقُودٌ ۚ وَنُقَلِّبُهُمْ ذَاتَ الْيَمِينِ وَذَاتَ الشِّمَالِ ۖ وَكَلْبُهُمْ بَاسِطٌ ذِرَاعَيْهِ بِالْوَصِيدِ ۚ لَوِ اطَّلَعْتَ عَلَيْهِمْ لَوَلَّيْتَ مِنْهُمْ فِرَارًا وَلَمُلِئْتَ مِنْهُمْ رُعْبًا
“Dan kamu mengira mereka itu bangun, padahal mereka tidur; Dan kami balik-balikkan mereka ke kanan dan ke kiri, sedang anjing mereka mengunjurkan kedua lengannya di muka pintu gua. Dan jika kamu menyaksikan mereka tentulah kamu akan berpaling dari mereka dengan melarikan diri dan tentulah (hati) kamu akan dipenuhi oleh ketakutan terhadap mereka.” (QS. Al-Kahfi: 18)
– Uang dirham tetap dibawa untuk digunakan untuk keperluan serta bekal bagi mereka. Mereka bawa uang itu ketika masuk gua. Uang itu ternyata dibutuhkan ketika mereka mengutus salah satu dari mereka untuk membeli makanan dengan uang dirham tersebut di kota. Ini menunjukkan bahwa mereka melakukan sebab dengan membawa bekal berupa uang. Allah Ta’ala berfirman,
وَكَذَٰلِكَ بَعَثْنَاهُمْ لِيَتَسَاءَلُوا بَيْنَهُمْ ۚ قَالَ قَائِلٌ مِنْهُمْ كَمْ لَبِثْتُمْ ۖ قَالُوا لَبِثْنَا يَوْمًا أَوْ بَعْضَ يَوْمٍ ۚ قَالُوا رَبُّكُمْ أَعْلَمُ بِمَا لَبِثْتُمْ فَابْعَثُوا أَحَدَكُمْ بِوَرِقِكُمْ هَٰذِهِ إِلَى الْمَدِينَةِ فَلْيَنْظُرْ أَيُّهَا أَزْكَىٰ طَعَامًا فَلْيَأْتِكُمْ بِرِزْقٍ مِنْهُ وَلْيَتَلَطَّفْ وَلَا يُشْعِرَنَّ بِكُمْ أَحَدًا
“Dan demikianlah Kami bangunkan mereka agar mereka saling bertanya di antara mereka sendiri. Berkatalah salah seorang di antara mereka: Sudah berapa lamakah kamu berada (di sini?)”. Mereka menjawab: “Kita berada (di sini) sehari atau setengah hari”. Berkata (yang lain lagi): “Rabb kamu lebih mengetahui berapa lamanya kamu berada (di sini). Maka suruhlah salah seorang di antara kamu untuk pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah dia lihat manakah makanan yang lebih baik, maka hendaklah ia membawa makanan itu untukmu, dan hendaklah ia berlaku lemah-lembut dan janganlah sekali-kali menceritakan halmu kepada seorang pun.” (QS. Al-Kahfi: 19)
Pelajaran ini diambil dari ayat 19 di atas,
وَلْيَتَلَطَّفْ
“dan hendaklah ia berlaku lemah-lembut”, yaitu ketika keluar, pergi, membeli makanan, kemudian kembali, mereka mengatakan, rahasiakan segala sesuatu yang mungkin. Demikian yang disebutkan oleh Ibnu Katsir rahimahullah dalam Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim.
Para pemuda ini telah mengambil sebab untuk waspada. Pemuda yang diutus untuk membeli makanan diminta agar waspada dengan cara bersembunyi sebisa mungkin hingga tidak dikenal. Karena jika dikenal, maka kaumnya nantinya mengetahui keberadaan mereka, lalu mereka akan dibunuh dengan cara dilempari batu, atau dipaksa untuk kembali kepada agama mereka. Kalau sampai murtad, tentu pemuda-pemuda ini tidak akan beruntung selamanya. Ingat, orang beriman itu memiliki sifat selalu berhati-hati, tidak tergesa-gesa.
Ketika mereka bangun, pemuda-pemuda ini saling bertanya berapa lama mereka tinggal di dalam gua. Ada yang menjawab sehari atau setengah hari. Lalu ada yang mengatakan,
رَبُّكُمْ أَعْلَمُ بِمَا لَبِثْتُمْ
“Rabb kamu lebih mengetahui berapa lamanya kamu berada (di sini).”
Daripada lama berdebat yang tak manfaat, maka diperintahkan untuk mencari makan.
فَابْعَثُوا أَحَدَكُمْ بِوَرِقِكُمْ هَٰذِهِ إِلَى الْمَدِينَةِ فَلْيَنْظُرْ أَيُّهَا أَزْكَىٰ طَعَامًا
“Maka suruhlah salah seorang di antara kamu untuk pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah dia lihat manakah makanan yang lebih baik.” Ini namanya beralih dari debat ke hal yang lebih penting yaitu butuh pada makanan.
Sebagian dai kadang terjerumus dalam debat kusir yang tidak manfaat, baiknya beralih kepada hal manfaat dan membicarakan seputar dakwah.
Dalam ayat disebutkan,
وَلَا يُشْعِرَنَّ بِكُمْ أَحَدًا
“dan janganlah sekali-kali menceritakan halmu kepada seorang pun.” (QS. Al-Kahfi: 19)
Maksud ayat ini adalah janganlah membuka rahasia.
Baca juga: Kenapa Kita Harus Menjaga Rahasia?
Dalam ayat disebutkan,
فَلْيَنْظُرْ أَيُّهَا أَزْكَىٰ طَعَامًا
“Dan hendaklah dia lihat manakah makanan yang lebih baik.” (QS. Al-Kahfi: 19). Mereka makan yang enak-enak karena mereka adalah anak tokoh (raja) yang sudah terbiasa makan enak. Demikian kata Syaikh As-Sa’di dalam Tafsir As-Sa’di, hlm. 496.
Tiga belas faedah ini diambil dari Al-Mustafad min Qashash Al-Qur’an li Ad-Da’wah wa Ad-Du’aa’, hlm. 380-388 dan Tafsir As-Sa’di, hlm. 496.
Allah Ta’ala berfirman,
أَمْ حَسِبْتَ أَنَّ أَصْحَابَ الْكَهْفِ وَالرَّقِيمِ كَانُوا مِنْ آيَاتِنَا عَجَبًا
“Atau kamu mengira bahwa orang-orang yang mendiami gua dan (yang mempunyai) raqim itu, mereka termasuk tanda-tanda kekuasaan Kami yang mengherankan?” (QS. Al-Kahfi: 9)
Mereka adalah salah satu dari sekian ayat-ayat Allah yang luar biasa.
Al-Kahfi adalah gua di gunung. Nama gua tersebut adalah Hizam (Haizam). Sedangkan Ar-Raqiim adalah papan yang tertulis nama-nama Ashabul Kahfi dan kejadian yang mereka alami, ditulis setelah masa mereka. Versi lain, Ar-Raqiim adalah nama gunung yang terdapat gua. Ada yang berpendapat, itu adalah nama lembah yang terdapat padanya sebuah gua.
Nama anjing mereka adalah Humron.
Kisah Ashabul Kahfi itu setelah masanya Nabi Isa Al-Masih. Mereka itu Nashrani. Kaum mereka itu adalah orang-orang musyrik yang menyembah berhala.
Ashabul Kahfi itu di masa raja Diqyaanus. Ashabul Kahfi itu sendiri adalah pemuda-pemuda yang merupakan putra dari para raja (tokoh). Lihat Al-Bidayah wa An-Nihayah, 2:563.
Para ulama juga berselisih pendapat mengenai letak gua ini. Ada yang berkata di negeri Aylah. Ada yang berpendapat di negeri Niinawa. Ada yang mengatakan di Balqa’. Ada juga yang berpendapat di negeri Ar-Ruum (Romawi). Lihat Al-Bidayah wa An-Nihayah, 2:566.
Allah Ta’ala berfirman,
إِذْ أَوَى الْفِتْيَةُ إِلَى الْكَهْفِ فَقَالُوا رَبَّنَا آتِنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً وَهَيِّئْ لَنَا مِنْ أَمْرِنَا رَشَدًا
“(Ingatlah) tatkala para pemuda itu mencari tempat berlindung ke dalam gua, lalu mereka berdoa: “Wahai Rabb kami, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini)”.” (QS. Al-Kahfi: 10)
Allah Ta’ala memberitakan tentang para pemuda yang melarikan diri menyelamatkan agama mereka dari kaum mereka, agar tidak terfitnah, mereka menjauh dari kaumnya dan menuju sebuah gua di gunung bersembunyi dari kejaran kaumnya. Mereka mengatakan ketika memasuki gua seraya memohon kepada Allah rahmat dan kelembutan-Nya kepada mereka, “Wahai Rabb kami, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu”, yaitu berikan kepada kami rahmat dari sisi-Mu, dengan mengasihani kami dan melindungi kami dari kaum kami. “Dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini)”, yaitu jadikan petunjuk sebagai hasil akhir bagi kami. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits dari Husain bin Arthah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa,
اللهمّ أحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِ
“ALLOHUMMA AHSIN ‘AAQIBATANAA FIL UMUURI KULLIHAA, WA AJIRNAA MIN KHIZYID DUNYAA WA ‘ADZAABIL AAKHIROH. (artinya: Ya Allah, baguskanlah setiap akhir urusan kami, dan selamatkanlah dari kebinasaan di dunia dan dari siksa akhirat).” (HR. Ahmad, 4:181. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth berkata bahwa periwayat hadits ini tsiqqah atau terpercaya kecuali Ayyub bin Maysaroh. Hadits ini juga dikeluarkan oleh Al-Hakim dan ia mensahihkannya, begitu pula Imam Adz-Dzahabi. Lihat Al-Mustadrak, 3:591. Al-Haitsami dalam Majma’ Az-Zawaid, 10:181, menyatakan bahwa perawinya tsiqqah. Lihat catatan kaki Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 5:139).
Baca juga: Doa Agar Baik dalam Urusan
Allah Ta’ala berfirman,
فَضَرَبْنَا عَلَىٰ آذَانِهِمْ فِي الْكَهْفِ سِنِينَ عَدَدًا
“Maka Kami tutup telinga mereka beberapa tahun dalam gua itu.” (QS. Al-Kahfi: 11)
Maksudnya, Allah jadikan telinga mereka tabir yang menghalangi mereka dari mendengar, yaitu, Kami tidurkan mereka dengan tidur yang sangat pulas yang tidak bisa dibangunkan oleh suara-suara, seperti yang terjadi pada orang yang sangat kantuk dan lelap dalam tidurnya, sekalipun diterikai di telinganya, ia tidak mendengar dan tidak terbangun. “beberapa tahun” artinya tahun-tahun yang berbilang, banyak, dan lama.
Baca juga: Mesti Fokus dan Mendengarkan dalam Belajar
Allah Ta’ala berfirman,
ثُمَّ بَعَثْنَاهُمْ لِنَعْلَمَ أَيُّ الْحِزْبَيْنِ أَحْصَىٰ لِمَا لَبِثُوا أَمَدًا
“Kemudian Kami bangunkan mereka, agar Kami mengetahui manakah di antara kedua golongan itu yang lebih tepat dalam menghitung berapa lama mereka tinggal (dalam gua itu).” (QS. Al-Kahfi: 12)
Kemudian Allah bangunkan mereka dari tidur seperti membangkitkan orang mati dari kubur mereka, agar diketahui dua golongan yang berselisih pendapat mengenai berapa lama mereka tertidur di dalam gua. Dengan perhitungan yang sangat teliti, yaitu lebih meliputi berapa lama mereka tinggal dalam gua, sehingga mereka akan mengetahui selang waktu yang Allah menjaga mereka di dalam gua tanpa makan dan minum, serta memberikan mereka rasa aman dari musuh, dengan begitu sempurnalah petunjuk mereka untuk bersyukur kepada Allah, dan hal itu menjadi tanda kekuasaan bagi mereka yang akan membuat mereka giat untuk beribadah kepada Allah.
Allah Ta’ala berfirman,
نَحْنُ نَقُصُّ عَلَيْكَ نَبَأَهُمْ بِالْحَقِّ ۚ إِنَّهُمْ فِتْيَةٌ آمَنُوا بِرَبِّهِمْ وَزِدْنَاهُمْ هُدًى
“Kami kisahkan kepadamu (Muhammad) cerita ini dengan benar. Sesungguhnya mereka adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Rabb mereka, dan Kami tambah pula untuk mereka petunjuk.” (QS. Al-Kahfi: 13)
Ayat ini merupakan permulaan rincian kisah dan keterangannya. “Sesungguhnya mereka adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Rabb mereka” yakni mengakui keesaan Allah dan mempersaksikan bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah. “dan Kami tambah pula untuk mereka petunjuk”, maksudnya adalah dengan taufik (hidayah) dan tatsbit (pemantapan dan keteguhan).
Baca juga: Empat Tingkatan Hidayah Menurut Ibnul Qayyim
Allah Ta’ala berfirman,
وَرَبَطْنَا عَلَىٰ قُلُوبِهِمْ إِذْ قَامُوا فَقَالُوا رَبُّنَا رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ لَنْ نَدْعُوَ مِنْ دُونِهِ إِلَٰهًا ۖ لَقَدْ قُلْنَا إِذًا شَطَطًا
“Dan Kami meneguhkan hati mereka di waktu mereka berdiri, lalu mereka pun berkata, “Rabb kami adalah Rabb seluruh langit dan bumi; kami sekali-kali tidak menyeru Rabb selain Dia, sesungguhnya kami kalau demikian telah mengucapkan perkataan yang amat jauh dari kebenaran“.” (QS. Al-Kahfi: 14)
Maksudnya adalah mereka dikuatkan dengan kesabaran, mereka meninggalkan kampung halaman mereka serta meninggalkan berbagai kenikmatan demi menyelamatkan agama mereka. Mereka berdiri di hadapan raja mereka dan menyatakan kebenaran dengan tegas di hadapannya ketika kabar mereka terdengar oleh raja dan mereka diminta hadir menghadap raja. Raja bertanya kepada mereka tentang agama dan keyakinan yang mereka Yakini, maka mereka menjawab dengan benar dan bahkan mengajak raja tersebut kepada Allah Ta’ala. Karena itulah dalam ayat disebutkan, “Dan Kami meneguhkan hati mereka di waktu mereka berdiri, lalu mereka pun berkata, “Rabb kami adalah Rabb seluruh langit dan bumi.” Mereka tidak menyembah Rabb selain Allah. Sebab jika mereka berbuat demikian, berarti mereka telah berbuat kebatilan, kedustaan, dan kebohongan.
Allah Ta’ala berfirman,
هَٰؤُلَاءِ قَوْمُنَا اتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ آلِهَةً ۖ لَوْلَا يَأْتُونَ عَلَيْهِمْ بِسُلْطَانٍ بَيِّنٍ ۖ فَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرَىٰ عَلَى اللَّهِ كَذِبًا
“Kaum kami ini telah menjadikan selain Dia sebagai tuhan-tuhan (untuk disembah). Mengapa mereka tidak mengemukakan alasan yang terang (tentang kepercayaan mereka)? Siapakah yang lebih zalim daripada orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah?” (QS. Al-Kahfi: 15)
Hal ini adalah isyarat bahwa orang kafir itu tidak mampu mendatangkan bukti atas apa yang mereka lakukan, yaitu beribadah kepada selain Allah, berbuat syirik. Jadi, mereka itulah orang-orang yang zalim yang menzalimi hak Allah karena mereka berdusta dan berbohong terhadap Allah. Kalau memang Allah itu Mahatinggi, maka tidak pantas bagi selain Allah punya kedudukan tinggi yang sama.
Allah Ta’ala berfirman,
وَإِذِ اعْتَزَلْتُمُوهُمْ وَمَا يَعْبُدُونَ إِلَّا اللَّهَ فَأْوُوا إِلَى الْكَهْفِ يَنْشُرْ لَكُمْ رَبُّكُمْ مِنْ رَحْمَتِهِ وَيُهَيِّئْ لَكُمْ مِنْ أَمْرِكُمْ مِرْفَقًا
“Dan apabila kamu meninggalkan mereka dan apa yang mereka sembah selain Allah, maka carilah tempat berlindung ke dalam gua itu, niscaya Rabbmu akan melimpahkan sebagian rahmat-Nya kepadamu dan menyediakan sesuatu yang berguna bagimu dalam urusan kamu.” (QS. Al-Kahfi: 16)
Yakni, jika kamu semua menyelisihi mereka denagn agama kalian, karena mereka menyembah selain Allah, maka selisihi pula (berpisahlah, tinggalkanlah mereka) dengan badan kalian. “maka carilah tempat berlindung ke dalam gua itu, niscaya Rabbmu akan melimpahkan sebagian rahmat-Nya kepadamu”, yakni, Allah akan membentangkan rahmat-Nya kepada kalian yang menutupi kalian dari kaum kalian yang kafir. “dan menyediakan sesuatu yang berguna bagimu dalam urusan kamu” yang sedang kalian hadapi. Pada saat itulah, mereka keluar menghindar dari kaum mereka menuju sebuah gua kemudian tinggal di dalamnya.
Allah Ta’ala berfirman,
وَتَرَى الشَّمْسَ إِذَا طَلَعَتْ تَزَاوَرُ عَنْ كَهْفِهِمْ ذَاتَ الْيَمِينِ وَإِذَا غَرَبَتْ تَقْرِضُهُمْ ذَاتَ الشِّمَالِ وَهُمْ فِي فَجْوَةٍ مِنْهُ ۚ ذَٰلِكَ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ ۗ مَنْ يَهْدِ اللَّهُ فَهُوَ الْمُهْتَدِ ۖ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَنْ تَجِدَ لَهُ وَلِيًّا مُرْشِدًا
“Dan kamu akan melihat matahari ketika terbit, condong dari gua mereka ke sebelah kanan, dan bila matahari terbenam menjauhi mereka ke sebelah kiri sedang mereka berada dalam tempat yang luas dalam gua itu. Itu adalah sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Allah. Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk; dan barang siapa yang disesatkan-Nya, maka kamu tidak akan mendapatkan seorang pemimpin pun yang dapat memberi petunjuk kepadanya.” (QS. Al-Kahfi: 17)
Yakni, jika matahari meninggi di tempat terbitnya, maka ia condong dari gua (sinar matahari tidak mengenai mereka), yaitu dari pintu gua sebelah kanan. Jika matahari terbenam, maka ia melewati mereka di sebelah kiri, yakni tidak mendekati mereka tetapi melewati.
“Sedang mereka berada dalam tempat yang luas dalam gua itu”, kata fajwah artinya tempat yang luas dan lega dalam gua, sehingga cukup tersedia udara yang datang dari segala penjuru tanpa tersengat matahari.
“Itu adalah sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Allah“, yakni urusan mereka dan petunjuk Allah kepada mereka hingga ke gua tersebut dengan menjadikan mereka tetap hidup, serta apa yang Allah perbuat kepada mereka dari mulai matahari yang condong dan tidak mendekat sejak terbit hingga terbenam, semua itu merupakan tanda-tanda kebesaran Allah yang menunjukkan perhatian dan penjagaan Allah kepada mereka, serta petunjuk Allah kepada hamba-hamba-Nya yang beriman.
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Mereka berada dalam gua bertahun-tahun dan tetap seperti itu, mereka tidak makan, tidak minum, tidak ada asupan makanan yang masuk dalam waktu yang sangat lama, itulah yang menunjukkan tanda kebesaran dan kekuasaan Allah.” (Al-Bidayah wa An-Nihayah, 2:565)
“Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk”, yakni siapa yang ditunjukkan kepada kebenaran oleh Allah, maka ialah orang yang mendapat hidayah. Dalam hal ini terdapat pujian bagi para pemuda mukmin tersebut, yang telah berjihad di jalan Allah, kemudian menyerahkan diri mereka kepada-Nya, sehingga Allah bersikap lembut dan menolong mereka, menunjuki mereka untuk mencapai kemuliaan dan kekhususan dengan ayat-ayat yang luar biasa. Sesungguhnya setiap orang yang menempuh jalan orang-orang yang mendapatkan petunjuk, maka ia akan mendapatkan keberuntungan.
“Dan barang siapa yang disesatkan-Nya, maka kamu tidak akan mendapatkan seorang pemimpin pun yang dapat memberi petunjuk kepadanya”, yakni siapa yang disesatkan oleh Allah, maka pasti kamu tidak akan mendapatkan penolong baginya yang menjaganya dari kesesatan, atau memberi petunjuk kepada jalan kebenaran dan keberuntungan.
Catatan:
Hikmah masuknya matahari dalam gua pada beberapa keadaan adalah agar udara di dalam gua itu tetap baik. Demikian dikatakan oleh Ibnu Katsir rahimahullah dalam Al-Bidayah wa An-Nihayah, 2:565.
Allah Ta’ala berfirman,
وَتَحْسَبُهُمْ أَيْقَاظًا وَهُمْ رُقُودٌ ۚ وَنُقَلِّبُهُمْ ذَاتَ الْيَمِينِ وَذَاتَ الشِّمَالِ ۖ وَكَلْبُهُمْ بَاسِطٌ ذِرَاعَيْهِ بِالْوَصِيدِ ۚ لَوِ اطَّلَعْتَ عَلَيْهِمْ لَوَلَّيْتَ مِنْهُمْ فِرَارًا وَلَمُلِئْتَ مِنْهُمْ رُعْبًا
“Dan kamu mengira mereka itu bangun, padahal mereka tidur; Dan kami balik-balikkan mereka ke kanan dan ke kiri, sedang anjing mereka mengunjurkan kedua lengannya di muka pintu gua. Dan jika kamu menyaksikan mereka tentulah kamu akan berpaling dari mereka dengan melarikan diri dan tentulah (hati) kamu akan dipenuhi oleh ketakutan terhadap mereka.” (QS. Al-Kahfi: 18)
“Dan kamu mengira mereka itu” adalah pembicaraan untuk setiap orang, maksudnya, kamu mengira “mereka itu bangun” karena mata mereka terbuka.
Karena kalau tidur dalam keadaan mata mereka tertutup lama itu akan berdampak jelek. Demikian kata Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wa An-Nihayah, 2:565.
“Padahal mereka tidur” sangat lelap dan pulas dalam tidurnya hingga tidak ada suara yang bisa membangunkan mereka, “dan Kami bolak-balikkan mereka” yakni dalam tidur mereka “ke kanan dan ke kiri” agar tanah tidak merusak badan mereka, “sedang anjing mereka membentangkan kedua lengannya di muka pintu gua” yakni di halaman gua atau pintu gua.
Ibnu Katsir menjelaskan bahwa anjing tersebut tidak masuk dalam gua, hanya meletakkan kakinya di pintu gua. Inilah bentuk adab dari anjing tersebut. Para pemuda kahfi juga sangat memuliakan anjing tersebut.
Anjing itu tidak berada dalam gua sebab malaikat tidak mau masuk dalam rumah yang ada anjing di dalamnya. Demikian dijelaskan oleh Ibnu Katsir rahimahullah dalam Al-Bidayah wa An-Nihayah, 2:566.
Keberkahan pemuda mukmin ini melingkupi hingga anjing mereka, ia juga mengalami seperti yang mereka alami, yaitu tidur panjang dalam keadaan seperti itu.
Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Ini adalah manfaat dari menemani orang-orang baik. Lihatlah hingga anjing ini pun selalu diingat dan memiliki kedudukan tersendiri. Karena siapa saja yang mencintai suatu kaum, ia akan bahagia bersama mereka. Kalau pada anjing saja bisa seperti itu, maka pasti berlaku pula bagi siapa saja yang mengikuti orang yang berbuat baik yang pantas dimuliakan.” (Al-Bidayah wa An-Nihayah, 2:566)
“Dan jika kamu menyaksikan mereka tentulah kamu akan berpaling dari mereka dengan melarikan diri dan tentulah (hati) kamu akan dipenuhi oleh ketakutan terhadap mereka”, yakni jika kamu melihat mereka sekalipun begitu kuatnya kamu dalam melawan agar tidak lari, pasti kamu akan kalah dan lari dengan penuh ketakutan, yaitu hatimu dipenuhi rasa takut karena merkea para pemuda itu dilingkupi aura kewibawaan, sehingga tidak ada seorang pun yang melihat mereka kecuali akan ketakutan kemudian berpaling dan melarikan diri menjauh. Ini seperti yang dikatakan oleh Ibnu Katsir rahimahullah, “Agar tidak ada seorang pun yang mendekati atau menyentuh mereka hingga ketentuan itu sampai pada masanya, masa tidur mereka habis sesuai kehendak Allah Ta’ala, mengingat hal ini mengandung hikmah, hujjah yang kuat, dan rahmat yang luas.”
Pelajaran penting dari ayat “Dan jika kamu menyaksikan mereka tentulah kamu akan berpaling dari mereka dengan melarikan diri dan tentulah (hati) kamu akan dipenuhi oleh ketakutan terhadap mereka”.
Ibnu Katsir rahimahullah lantas berkata,
ِأَنَّ الخَبَرَ لَيْسَ كَالمُعَايَنَة
“Berita itu tidak sama dengan melihat langsung.” (Al-Bidayah wa An-Nihayah, 2:567)
Allah Ta’ala berfirman,
وَكَذَٰلِكَ بَعَثْنَاهُمْ لِيَتَسَاءَلُوا بَيْنَهُمْ ۚ قَالَ قَائِلٌ مِنْهُمْ كَمْ لَبِثْتُمْ ۖ قَالُوا لَبِثْنَا يَوْمًا أَوْ بَعْضَ يَوْمٍ ۚ قَالُوا رَبُّكُمْ أَعْلَمُ بِمَا لَبِثْتُمْ فَابْعَثُوا أَحَدَكُمْ بِوَرِقِكُمْ هَٰذِهِ إِلَى الْمَدِينَةِ فَلْيَنْظُرْ أَيُّهَا أَزْكَىٰ طَعَامًا فَلْيَأْتِكُمْ بِرِزْقٍ مِنْهُ وَلْيَتَلَطَّفْ وَلَا يُشْعِرَنَّ بِكُمْ أَحَدًا
“Dan demikianlah Kami bangunkan mereka agar mereka saling bertanya di antara mereka sendiri. Berkatalah salah seorang di antara mereka: Sudah berapa lamakah kamu berada (di sini?)”. Mereka menjawab: “Kita berada (di sini) sehari atau setengah hari”. Berkata (yang lain lagi): “Rabb kamu lebih mengetahui berapa lamanya kamu berada (di sini). Maka suruhlah salah seorang di antara kamu untuk pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah dia lihat manakah makanan yang lebih baik, maka hendaklah ia membawa makanan itu untukmu, dan hendaklah ia berlaku lemah-lembut dan janganlah sekali-kali menceritakan halmu kepada seorang pun.” (QS. Al-Kahfi: 19)
Yakni, sebagaimana kami tidurkan mereka dengan tidur yang sangat panjang, maka kami bangunkan mereka denagn keadaan segar bugar tubuh mereka, sehat, begitu pula dengan rambut dan kulit mereka tidak ada yang berubah dari keadaan dan bentuk mereka. Hal ini sebagai pengingat akan kemahakuasaan Allah untuk menidurkan dan mematikan serta membangkitkan kembali.
Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Mereka bangun setelah 309 tahun.” (Al-Bidayah wa An-Nihayah, 2:567)
“Agar mereka saling bertanya di antara mereka sendiri” yakni, agar sebagian bertanya kepada yang lain dan mengetahui keadaan mereka serta apa yang diperbuat Allah terhadap mereka, sehingga mereka bisa mengambil pelajaran lalu berhujjah dengan itu untuk menunjukkan kekuasaan Allah Ta’ala, maka bertambah yakin dan bersyukur kepada Allah atas nikmat yang diberikan kepada mereka.
“Berkatalah salah seorang di antara mereka: Sudah berapa lamakah kamu berada (di sini?)” yakni berapa lama kamu tidur di sini. “Mereka menjawab: “Kita berada (di sini) sehari atau setengah hari”, karena saat mereka masuk gua waktu itu di permulaan siang (pagi), dan Allah bangunkan mereka di akhir sore. Karena itulah mereka mengatakan sebagian hari.
“Berkata (yang lain lagi): “Rabb kamu lebih mengetahui berapa lamanya kamu berada (di sini)” yakni, Allah yang Maha Mengetahui urusan kalian. Sepertinya muncul keraguan pada mereka dalam hal lama tidaknya tertidur, kemudian dalam diri mereka ada bisikan (ilham) dari Allah, atau dengan indikasi-indikasi yang mereka saksikan dari keadaan mereka yang menunjukkan bahwa mereka tertidur panjang, dan berapa lamanya tidak diketahui, maka mereka serahkan kebenarannya kepada Allah. Mereka berkata, “Rabb kalian lebih mengetahui berapa lama kalian di sini.” Setelah itu mereka kembali kepada yang paling penting dalam urusan mereka, yaitu kebutuhan mereka kepada makanan dan minuman. Mereka berkata, “Suruhlah salah seorang di antara kamu untuk pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini” yakni ke kota tempat mereka keluar darinya, “dan hendaklah dia lihat manakah makanan yang lebih baik” yakni yang paling enak.
“Dan hendaklah ia berlaku lemah-lembut” yakni dalam keluar dan membeli makanan serta saat kembali, maksudnya hendaknya merahasiakan dirinya sebisa mungkin, “dan janganlah sekali-kali menceritakan halmu kepada seorang pun” yakni, jangan melakukan tanpa ia sadari, apa yang bisa membuka rahasia dan keberadaan kita.
Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّهُمْ إِنْ يَظْهَرُوا عَلَيْكُمْ يَرْجُمُوكُمْ أَوْ يُعِيدُوكُمْ فِي مِلَّتِهِمْ وَلَنْ تُفْلِحُوا إِذًا أَبَدًا
“Sesungguhnya jika mereka dapat mengetahui tempatmu, niscaya mereka akan melempar kamu dengan batu, atau memaksamu kembali kepada agama mereka, dan jika demikian niscaya kamu tidak akan beruntung selama lamanya”.” (QS. Al-Kahfi: 20). Jika kalian kembali kepada agama mereka, maka pasti kalian tidak akan beruntung selamanya.
Catatan:
Mereka menyangka bahwa mereka hanya tidur sehari atau sebagian hari atau lebih dari itu. Padahal mereka telah tidur lebih dari 300 tahun. Selama itu telah berganti pemerintahan dan negeri sudah berubah. Orang-orang yang dulu sudah tiada dan berganti. Mereka menjadi terasing karena keadaan mereka berbeda dengan penduduk saat mereka bangun dan mata uang dirham yang dibawa pun berbeda. Lihat Al-Bidayah wa An-Nihayah, 2:568.
Lamanya ashabul kahfi tertidur dalam gua disebutkan dalam ayat,
وَلَبِثُوا فِي كَهْفِهِمْ ثَلَاثَ مِائَةٍ سِنِينَ وَازْدَادُوا تِسْعًا
“Dan mereka tinggal dalam gua mereka tiga ratus tahun dan ditambah sembilan tahun (lagi).” (QS. Al-Kahfi: 25). Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Mengenai begitu lamanya pemuda ashabul kahfi tertidur dalam gua ada faedah yang besar.” (Al-Bidayah wa An-Nihayah, 2:571)
Allah Ta’ala berfirman,
وَكَذَٰلِكَ أَعْثَرْنَا عَلَيْهِمْ لِيَعْلَمُوا أَنَّ وَعْدَ اللَّهِ حَقٌّ وَأَنَّ السَّاعَةَ لَا رَيْبَ فِيهَا إِذْ يَتَنَازَعُونَ بَيْنَهُمْ أَمْرَهُمْ ۖ فَقَالُوا ابْنُوا عَلَيْهِمْ بُنْيَانًا ۖ رَبُّهُمْ أَعْلَمُ بِهِمْ ۚ قَالَ الَّذِينَ غَلَبُوا عَلَىٰ أَمْرِهِمْ لَنَتَّخِذَنَّ عَلَيْهِمْ مَسْجِدًا
“Dan demikian (pula) Kami mempertemukan (manusia) dengan mereka, agar manusia itu mengetahui, bahwa janji Allah itu benar, dan bahwa kedatangan hari kiamat tidak ada keraguan padanya. Ketika orang-orang itu berselisih tentang urusan mereka, orang-orang itu berkata: “Dirikan sebuah bangunan di atas (gua) mereka, Rabb mereka lebih mengetahui tentang mereka”. Orang-orang yang berkuasa atas urusan mereka berkata: “Sesungguhnya kami akan mendirikan sebuah rumah peribadatan di atasnya”.” (QS. Al-Kahfi: 21)
“Demikian (pula) Kami mempertemukan (manusia) dengan mereka” yakni, sebagaimana Kami tidurkan mereka kemudian kami bangunkan dalam keadaan dan bentuk semula, begitu pula Kami perlihatkan kepada mereka manusia di waktu itu, “agar manusia itu mengetahui, bahwa janji Allah itu benar, dan bahwa kedatangan hari kiamat tidak ada keraguan padanya” yakni, orang-orang yang Kami berikan kesempatan melihat mereka (ashabul kahfi) yang Kami bangunkan kembali keadaan mereka sebelumnya (tidak ada yang berubah), agar mereka mengetahui bahwa janji Allah dengan hari kebangkitan setelah kematian itu benar adanya, karena keadaan para pemuda dalam tidur panjang mereka dan keadaan mereka saat terjaga, keadaan mereka tidak ubahnya adalah keadaan orang yang mati kemudian dibangkitkan lagi.
“Ketika orang-orang itu berselisih tentang urusan mereka” yakni, Kami pertemukan manusia di zaman itu dengan para pemuda Al-Kahfi, ketika mereka berselisih di antara mereka tentang urusan agama mereka, dan berbeda pendapat dalam hal kebangkitan, sebagian ada yang mengatakan, “Yang dibangkitkan hanyalah ruh, bukan jasad.” Sebagian lagi mengatakan, “Yang dibangkitkan adalah jasad dan ruh sekaligus. Maka Allah membangkitkan ashabul kahfi dari tidur mereka, sebagai bukti bahwa Allah membangkitkan orang-orang mati dengan jasad dan ruh mereka sekaligus.
“Orang-orang itu berkata” yakni, manusia setelah melihat ashabul kahfi, mereka berbicara kepada para pemuda itu dan mereka pun menceritakan keadaan mereka yang tertidur. Setelah menceritakan itu, para pemuda ashabul kahfi itu pun meninggal dunia.
“Dirikankah sebuah bangunan di atas gua mereka” yakni, di atas pintu gua, maksudnya tutuplah pintu gua itu dan biarkanlah mereka seperti keadaan semula.
“Rabb mereka lebih mengetahui tentang mereka” sebuah ungkapan dari orang-orang yang tadi berselisih pendapat, seakan-akan mereka ingat urusan mereka (para pemuda), kemudian saling menyampaikan tentang nasab dan hal ihwal mereka serta lamanya mereka tinggal di dalam gua. Ketika mereka tidak bisa mengetahui hakikat sebenarnya, mereka mengatakan, “Rabb mereka lebih mengetahui urusan mereka”. Atau kemungkinan ini merupakan pernyataan Allah untuk membantah orang-orang yang terlalu jauh dalam membicarakan urusan pemuda ini, dari mereka yang berselisih pendapat.
“Orang-orang yang berkuasa atas urusan mereka berkata: “Sesungguhnya kami akan mendirikan sebuah rumah peribadatan di atasnya” yakni, mereka yang menang ketika berselisih pendapat itu, dan mereka adalah orang-orang kuat dan berpengaruh, kami akan mendirikan rumah ibadah, yakni kami akan shalat di sana untuk mendapatkan keberkahan dari para pemuda dan kedudukan mereka. Inilah syariat sebelum syariat Nabi Muhammad. Adapun pada syariat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
لَعَنَ اللَّهُ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ
“Allah melaknat Yahudi dan Nashrani, mereka menjadikan kubur para nabi dan orang saleh dari mereka sebagai masjid.” (HR. Bukhari, no. 1390 dan Muslim, no. 529)
Di sini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan yang mereka lakukan. Oleh karena itu, tidak boleh membangun masjid di atas kuburan berdasarkan larangan yang sangat jelas yang ada dalam masalah ini.
Allah Ta’ala berfirman,
سَيَقُولُونَ ثَلَاثَةٌ رَابِعُهُمْ كَلْبُهُمْ وَيَقُولُونَ خَمْسَةٌ سَادِسُهُمْ كَلْبُهُمْ رَجْمًا بِالْغَيْبِ ۖ وَيَقُولُونَ سَبْعَةٌ وَثَامِنُهُمْ كَلْبُهُمْ ۚ قُلْ رَبِّي أَعْلَمُ بِعِدَّتِهِمْ مَا يَعْلَمُهُمْ إِلَّا قَلِيلٌ ۗ فَلَا تُمَارِ فِيهِمْ إِلَّا مِرَاءً ظَاهِرًا وَلَا تَسْتَفْتِ فِيهِمْ مِنْهُمْ أَحَدًا
“Nanti (ada orang yang akan) mengatakan (jumlah mereka) adalah tiga orang yang keempat adalah anjingnya, dan (yang lain) mengatakan: “(jumlah mereka) adalah lima orang yang keenam adalah anjing nya”, sebagai terkaan terhadap barang yang gaib; dan (yang lain lagi) mengatakan: “(jumlah mereka) tujuh orang, yang ke delapan adalah anjingnya”. Katakanlah: “Rabbku lebih mengetahui jumlah mereka; tidak ada orang yang mengetahui (bilangan) mereka kecuali sedikit”. Karena itu janganlah kamu (Muhammad) bertengkar tentang hal mereka, kecuali pertengkaran lahir saja dan jangan kamu menanyakan tentang mereka (pemuda-pemuda itu) kepada seorang pun di antara mereka.” (QS. Al-Kahfi: 22)
Allah menyebutkan tiga pendapat mengenai berapakah jumlah para pemuda penghuni gua tersebut. Allah menyebutkan pendapat ketiga lalu mendiamkannya. Hal itu menunjukkan bahwa pendapat ketiga itu yang benar.
Pendapat pertama: tiga orang, yang keempat adalah anjingnya.
Pendapat kedua: lima orang, yang keenam adalah anjingnya.
Pendapat ketiga: tujuh orang, yang kedelapan adalah anjingnya.
Pendapat pertama dan kedua disebutkan selanjutnya “sebagai terkaan terhadap barang yang gaib” menunjukkan bahwa pendapat ini tidak berdasar pada ilmu. Kemudian Allah memberikan petunjuk bahwa mengetahui jumlah mereka tidak ada manfaatnya, sehingga dalam masalah ini hendaklah kita berkata, “Rabbku lebih mengetahui jumlah mereka; tidak ada orang yang mengetahui (bilangan) mereka kecuali sedikit“, yakni tidak ada yang mengetahui jumlah para pemuda penghuni gua kecuali sedikit orang yang diberitahukan oleh Allah.
“Karena itu janganlah kamu (Muhammad) bertengkar tentang hal mereka, kecuali pertengkaran lahir saja” yakni, jangan mendebat ahli kitab tentang ashabul kahfi kecuali perdebatan seperlunya yang tidak terlalu jauh dalam mempermasalahkannya, yaitu kisahkan saja kepada mereka apa yang Allah wahyukan kepadamu, cukup seperti itu, jangan kau tambah.
“Dan jangan kamu menanyakan tentang mereka (pemuda-pemuda itu) kepada seorang pun di antara mereka” yakni jangan bertanya kepada seorang pun dari mereka (ahli kitab) tentang kisah mereka, pertanyaan yang mengandung pengingkaran, hingga mengatakan sesuatu kemudian kamu bantah dan kamu palsukan apa yang ada padanya. Tidak pula pertanyaan orang yang minta petunjuk karena Allah telah memberikan petunjuk kepadamu dengan menurunkan wahyu kepadamu tentang kisah mereka dan apa yang berhubungan dengan jumlah serta urusan mereka. Hal ini sudah cukup bagi orang yang hendak mengetahui perihal para pemuda penghuni gua, serta mengambil pelajaran dan nasihat dari kisah mereka.
Allah Ta’ala berfirman mengisahkan Ashabul Kahfi,
نَحْنُ نَقُصُّ عَلَيْكَ نَبَأَهُمْ بِالْحَقِّ ۚ إِنَّهُمْ فِتْيَةٌ آمَنُوا بِرَبِّهِمْ وَزِدْنَاهُمْ هُدًى
“Kami kisahkan kepadamu (Muhammad) cerita ini dengan benar. Sesungguhnya mereka adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Rabb mereka, dan Kami tambah pula untuk mereka petunjuk.” (QS. Al-Kahfi: 13)
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Allah menyebutkan bahwa mereka penghuni gua adalah para pemuda. Mereka adalah orang yang paling cepat menerima kebenaran, paling lurus dalam menempuh jalan, dibanding para sepuh yang telah banyak salah dan jauh terjerumus dalam agama yang batil. Oleh karena itu, kebanyakan yang menerima dakwah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah para pemuda. Adapun para sepuh dari Quraisy, pada umumnya tetap dalam agama nenek moyang dan tidak mau masuk Islam kecuali sedikit. Demikianlah Allah memberitahukan kepada kita tentang ashabul kahfi, bahwa mereka itu adalah anak-anak muda.” (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 5:140)
Maka para dai harus memperbanyak cara dan pendekatan kepada para pemuda agar dakwah sampai kepada mereka. Para pemuda itu memiliki kekuatan, semangat, hati yang bening, dan memiliki sesuatu yang sangat diperlukan dalam dakwah. Para pemuda bisa dimotivasi dengan kisah-kisah, termasuk kisah agar para pemuda jauh dari maksiat seperti kisah Nabi Yusuf ‘alaihis salam.
Dalilnya adalah,
نَحْنُ نَقُصُّ عَلَيْكَ نَبَأَهُمْ بِالْحَقِّ ۚ إِنَّهُمْ فِتْيَةٌ آمَنُوا بِرَبِّهِمْ وَزِدْنَاهُمْ هُدًى
“Kami kisahkan kepadamu (Muhammad) cerita ini dengan benar. Sesungguhnya mereka adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Rabb mereka, dan Kami tambah pula untuk mereka petunjuk.” (QS. Al-Kahfi: 13)
Dalil lainnya yang menunjukkan iman itu bisa bertambah adalah:
وَالَّذِينَ اهْتَدَوْا زَادَهُمْ هُدًى وَآتَاهُمْ تَقْوَاهُمْ
“Dan orang-orang yang mau menerima petunjuk, Allah menambah petunjuk kepada mereka dan memberikan balasan ketakwaannya.” (QS. Muhammad: 17)
وَإِذَا مَا أُنْزِلَتْ سُورَةٌ فَمِنْهُمْ مَنْ يَقُولُ أَيُّكُمْ زَادَتْهُ هَٰذِهِ إِيمَانًا ۚ فَأَمَّا الَّذِينَ آمَنُوا فَزَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَهُمْ يَسْتَبْشِرُونَ
“Dan apabila diturunkan suatu surat, maka di antara mereka (orang-orang munafik) ada yang berkata: “Siapakah di antara kamu yang bertambah imannya dengan (turannya) surat ini?” Adapun orang-orang yang beriman, maka surat ini menambah imannya, dan mereka merasa gembira.” (QS. At-Taubah: 124)
هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ السَّكِينَةَ فِي قُلُوبِ الْمُؤْمِنِينَ لِيَزْدَادُوا إِيمَانًا مَعَ إِيمَانِهِمْ ۗ وَلِلَّهِ جُنُودُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۚ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا
“Dialah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada). Dan kepunyaan Allah-lah tentara langit dan bumi dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Fath: 4)
Iman itu bisa bertambah dengan ketaatan kepada Allah, beramal saleh, dan yang paling utama adalah beriman kepada Allah dan jihad fii sabilillah. Yang termasuk jihad di jalan Allah adalah berdakwah dengan ucapan, tulisan, dan berbagai sarana dakwah.
Dari Abu Dzarr radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
قُلْتُ يَا رَسُوْلَ اللَّهِ، أيُّ الأعْمَالِ أَفْضَلُ ؟ قال : « الإِيْمَانُ بِاللَّهِ ، وَالجِهَادُ فِي سَبِيلِهِ »
“Aku bertanya, “Wahai Rasulullah, amalan apakah yang paling utama?” Beliau menjawab, “Iman kepada Allah dan jihad di jalan Allah.” (HR. Muslim, no. 84)
Baca juga:
Termasuk kisah para pemuda penghuni gua seperti yang dijelaskan oleh ulama tafsir bahwa para pemuda itu adalah putra dan anak-anak pembesar kaumnya, mereka keluar suatu hari pada hari raya kaumnya. Kaum mereka punya acara pertemuan besar dalam setahun. Kaum tersebut bertemu di pusat kota, menyembah shonam (patung yang memiliki bentuk seperti makhluk) yang telah disiapkan, menyembelih qurban untuk patung-patung tersebut. Kaum tersebut dipimpin oleh seorang raja yang kafir yang bengis (yaitu Diqyanus) yang memerintahkan manusia untuk melakukan kesyirikan dan mengajak kaumnya bersama-sama melakukan itu.
Ketika para pemuda ini hendak bertemu dalam majelis mereka, para pemuda ini keluar bersama orang tua dan kaum mereka, kemudian para pemuda ini melihat perbuatan kaumnya dengan mata kepala mereka sendiri. Para pemuda ini mengetahui perbuatan kaumnya, mulai dari sujud dan menyembelih kepada shonam. Padahal hal ini adalah ibadah yang hanya boleh ditujukan kepada Allah Yang Menciptakan langit dan bumi.
Para pemuda ini berlepas diri dari kaumnya, berpisah, dan duduk jauh dari mereka. Yang pertama kali duduk dan menjauh adalah satu dari pemuda tersebut, ia duduk berteduh di bawah pohon, lalu datang pemuda lain, terus berdatangan, dan akhirnya mereka berkumpul. Yang menyatukan mereka di bawah pohon adalah hati mereka yang beriman kepada Allah.
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الأَرْوَاحُ جُنُودٌ مُجَنَّدَةٌ فَمَا تَعَارَفَ مِنْهَا ائْتَلَفَ وَمَا تَنَاكَرَ مِنْهَا اخْتَلَفَ
“Arwah itu adalah bala tentara yang berlimpah dan bermacam (masing-masing ada kesesuaian dalam hal kebaikan dan keburukan). Yang sudah saling kenal (cocok), maka akan menyatu. Yang tidak saling kenal (tidak cocok), pasti akan berpisah.” (HR. Bukhari, no. 3158 dan Muslim, no. 2638). Imam Nawawi rahimahullah mengatakan tentang hadits ini,
فَيَمِيل الْأَخْيَار إِلَى الْأَخْيَار ، وَالْأَشْرَار إِلَى الْأَشْرَار
“Orang baik akan cenderung berkumpul dengan orang baik. Orang jelek pun demikian akan berkumpul dengan orang jelek.” (Syarh Shahih Muslim, 16:185)
Masing-masing dari pemuda itu merahasiakan apa yang ada dalam hatinya, karena takut kepada yang lainnya, mereka tidak tahu bahwa mereka sama-sama beriman. Mereka kemudian saling mengungkapkan pendapat mereka. Mereka semua ternyata sama-sama sepakat untuk mengingkari perbuatan kaumnya. Mereka sama-sama meyakini bahwa Allah satu-satunya yang berhak disembah. Lalu mereka sama-sama beribadah kepada Allah di suatu tempat. Keadaan para pemuda ini pun diketahui oleh kaumnya dan dilaporkan kepada raja mereka. Para pemuda ini pun dipanggil oleh raja dan ditanya, lantas mereka mengungkapkan kebenaran yang mereka yakini di hadapan raja. Dalam ayat disebutkan,
وَرَبَطْنَا عَلَىٰ قُلُوبِهِمْ إِذْ قَامُوا فَقَالُوا رَبُّنَا رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ لَنْ نَدْعُوَ مِنْ دُونِهِ إِلَٰهًا ۖ لَقَدْ قُلْنَا إِذًا شَطَطًا
“Dan Kami meneguhkan hati mereka di waktu mereka berdiri, lalu mereka pun berkata, “Rabb kami adalah Rabb seluruh langit dan bumi; kami sekali-kali tidak menyeru Rabb selain Dia, sesungguhnya kami kalau demikian telah mengucapkan perkataan yang amat jauh dari kebenaran“.” (QS. Al-Kahfi: 14). Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim karya Ibnu Katsir, 5:140-141.
Pelajaran yang dapat diambil adalah para dai harus menjalin hubungan yang baik dengan sesama dai, saling tolong menolong dalam kebaikan.
Setelah pemuda dalam kisah ini saling kenal dan saling mengetahui rahasia masing-masing, dan menjadi jelas bahwa akidah mereka itu satu, tujuan mereka satu, dan dakwah mereka satu, maka mereka membangun tempat ibadah untuk beribadah kepada Allah. Mereka pun mengajak rajanya ketika berdialog untuk beribadah kepada Allah. Namun, dakwah para pemuda ini ditolak bahkan mendapatkan ancaman. Keterusterangan pemuda ini dalam menyatakan diri mereka beriman dan mendakwahkannya patut dicontoh.
Dari sini kita dapat ambil pelajaran, para dai harus berterusterang dalam menyampaikan kebenaran, mengumumkan dakwah mereka di hadapan para penguasa sombong dan zalim, agar mental mereka terhinakan, sebaliknya kekuatan kaum mukminin bertambah kuat, dan membuat mereka berani untuk berhadapan dengan orang-orang zalim dari para penguasa. Sikap para dai seperti yang kami sebutkan ini, jika mereka menyaksikan dengan mata kepala atau dengan indikasi bahwa keterusterangan mereka dalam menyampaikan kebenaran serta menghadapi para penguasa zalim dengan kebenaran dakwahnya, lebih baik daripada sikap diam di hadapan mereka atau daripada mereka memilih untuk mengambil keringanan (yaitu pura-pura). Sesungguhnya seorang mukmin melihat dengan cahaya Allah, dan seukuran iman dalam dirinya serta dalamnya iman tersebut dan keikhlasan kepada Rabbnya, maka demikianlah kekuatan cahaya seharusnya ia pilih. Sekalipun sikap itu akan menyebabkannya mati dibunuh secara syahid, karena dai itu adalah mujahid (pejuang). Jihad dalam dakwah ini adalah mempersembahkan jiwa raga di jalan Allah. Hal ini tidak termasuk melemparkan diri dalam kebinasaan, selama orang mukmin, dai, mengharapkan dari perbuatannya itu untuk merealisasikan maslahat syariyyah bagi dakwah dan kaum muslimin.
Namun, dianjurkan untuk tetap tinggal jika dipandang ada maslahat besar semisal untuk berdakwah.
Banyak dalil-dalil yang menganjurkan untuk ‘uzlah (mengasingkan diri) demi menyelamatkan diri atau menghindari masyarakat yang banyak terjadi maksiat, kebid’ahan, dan pelanggaran agama. Di antaranya sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
خَيْرُ الناسِ في الفِتَنِ رجلٌ آخِذٌ بِعِنانِ فَرَسِه أوْ قال بِرَسَنِ فَرَسِه خلفَ أَعْدَاءِ اللهِ يُخِيفُهُمْ و يُخِيفُونَهُ ، أوْ رجلٌ مُعْتَزِلٌ في بادِيَتِه ، يُؤَدِّي حقَّ اللهِ تَعالَى الذي عليهِ
“Sebaik-baik manusia ketika berhadapan dengan hal yang merusak (fitnah) adalah orang yang memegang tali kekang kudanya menghadapi musuh-musuh Allah. Ia menakuti-nakuti mereka, dan mereka pun menakut-nakutinya. Atau seseorang yang mengasingkan diri ke lereng-lereng gunung, demi menunaikan apa yang menjadi hak Allah.” (HR. Al-Hakim, 4: 446. Hadits ini disahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, no. 698).
Sebagaimana juga dalam hadits Abu Sa’id,
قَالَ رَجُلٌ أَىُّ النَّاسِ أَفْضَلُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ « مُؤْمِنٌ يُجَاهِدُ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فِى سَبِيلِ اللَّهِ ». قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ « ثُمَّ رَجُلٌ مُعْتَزِلٌ فِى شِعْبٍ مِنَ الشِّعَابِ يَعْبُدُ رَبَّهُ وَيَدَعُ النَّاسَ مِنْ شَرِّهِ ».
“Seseorang bertanya kepada Nabi, ‘Siapakan manusia yang paling afdal wahai Rasulullah?’ Nabi menjawab, ‘Orang yang berjihad dengan jiwanya dan hartanya di jalan Allah’. Lelaki tadi bertanya lagi, ‘Lalu siapa?’ Nabi menjawab, ‘Lalu orang yang mengasingkan diri di lembah-lembah demi untuk menyembah Rabb-nya dan menjauhkan diri dari kebobrokan masyarakat.’” (HR. Muslim, no. 1888).
Bahkan andai satu-satunya jalan supaya selamat dari kerusakan adalah dengan mengasingkan diri ke lembah-lembah dan puncak-puncak gunung, maka itu lebih baik daripada agama kita terancam hancur. Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
يُوشِكُ أَنْ يَكُونَ خَيْرَ مَالِ الْمُسْلِمِ غَنَمٌ يَتْبَعُ بِهَا شَعَفَ الْجِبَالِ وَمَوَاقِعَ الْقَطْرِ ، يَفِرُّ بِدِينِهِ مِنَ الْفِتَنِ
“Hampir-hampir harta seseorang yang paling baik adalah kambing yang ia pelihara di puncak gunung dan lembah, karena ia lari mengasingkan diri demi menyelamatkan agamanya dari kerusakan.” (HR. Bukhari, no. 19)
Sebagian dalil yang lain menganjurkan kita untuk bergaul di tengah masyarakat walaupun bobrok keadaannya, dalam rangka berdakwah dan amar makruf nahi munkar di dalamnya. Di antaranya firman Allah Ta’ala,
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (QS. Al-Maidah: 2).
Juga firman Allah Ta’ala,
وَالْعَصْرِ ﴿١﴾ إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ ﴿٢﴾ إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ ﴿٣﴾
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.” (QS. Al-‘Ashr: 1-3)
Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْمُؤْمِنُ الَّذِى يُخَالِطُ النَّاسَ وَيَصْبِرُ عَلَى أَذَاهُمْ أَعْظَمُ أَجْرًا مِنَ الْمُؤْمِنِ الَّذِى لاَ يُخَالِطُ النَّاسَ وَلاَ يَصْبِرُ عَلَى أَذَاهُمْ
“Seorang mukmin yang bergaul di tengah masyarakat dan bersabar terhadap gangguan mereka, itu lebih baik dari pada seorang mukmin yang tidak bergaul di tengah masyarakat dan tidak bersabar terhadap gangguan mereka.” (HR. Tirmidzi, no. 2507. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Juga dalilnya dari hadits tentang keutamaan ‘Ali bin Abi Thalib berikut. Dari Sahl bin Sa’ad, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda saat perang Khoibar,
لأُعْطِيَنَّ الرَّايَةَ غَدًا رَجُلاً يُفْتَحُ عَلَى يَدَيْهِ ، يُحِبُّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ ، وَيُحِبُّهُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ » .فَبَاتَ النَّاسُ لَيْلَتَهُمْ أَيُّهُمْ يُعْطَى فَغَدَوْا كُلُّهُمْ يَرْجُوهُ فَقَالَ « أَيْنَ عَلِىٌّ » . فَقِيلَ يَشْتَكِى عَيْنَيْهِ ، فَبَصَقَ فِى عَيْنَيْهِ وَدَعَا لَهُ ، فَبَرَأَ كَأَنْ لَمْ يَكُنْ بِهِ وَجَعٌ ، فَأَعْطَاهُ فَقَالَ أُقَاتِلُهُمْ حَتَّى يَكُونُوا مِثْلَنَا . فَقَالَ « انْفُذْ عَلَى رِسْلِكَ حَتَّى تَنْزِلَ بِسَاحَتِهِمْ ، ثُمَّ ادْعُهُمْ إِلَى الإِسْلاَمِ ، وَأَخْبِرْهُمْ بِمَا يَجِبُ عَلَيْهِمْ ، فَوَاللَّهِ لأَنْ يَهْدِىَ اللَّهُ بِكَ رَجُلاً خَيْرٌ لَكَ مِنْ أَنْ يَكُونَ لَكَ حُمْرُ النَّعَمِ
“Sungguh akan diberikan bendera (yang biasa dibawa oleh pemimpin pasukan, pen.) besok pada orang yang akan didatangkan kemenangan melalui tangannya di mana ia mencintai Allah dan Rasul-Nya, lalu Allah dan Rasul-Nya pun mencintai dirinya.” Lalu kemudian para sahabat bermalam dan mendiskusikan siapakah di antara mereka yang nanti akan diberi bendera tersebut. Tiba waktu pagi, mereka semua berharap-harap bisa mendapatkan bendera itu. Namun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam malah bertanya, “Di mana ‘Ali?” Ada yang menjawab bahwa ‘Ali sedang sakit mata. (Lalu ‘Ali dibawa ke hadapan Nabi, pen.), lantas beliau mengusap kedua matanya dan mendo’akan kebaikan untuknya. Lantas ia pun sembuh seakan-akan tidak pernah sakit sebelumnya. Lantas bendera tersebut diberikan kepada ‘Ali dan ia berkata, “Aku akan memerangi mereka hingga mereka bisa seperti kita.” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jalanlah perlahan-lahan ke depan hinggakalian sampai di tengah-tengah mereka. Kemudian dakwahilah mereka pada Islam dan kabari mereka tentang perkara-perkara yang wajib. Demi Allah, sungguh jika Allah memberi hidayah pada seseorang lewat perantaraanmu, maka itu lebih baik dari unta merah.” (HR. Bukhari, no. 3009 dan Muslim, no. 2407).
Dalam sebuah nasehat berharga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Abu Dzar disebutkan,
اتَّقِ اللَّهَ حَيْثُمَا كُنْتَ وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ
“Bertakwalah kepada Allah di mana saja engkau berada. Ikutilah kejelekan dengan kebaikan niscaya ia akan menghapuskan kejelekan tersebut dan berakhlaklah dengan manusia dengan akhlak yang baik.” (HR. Tirmidzi, no. 1987. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini sahih).
Pendapat yang paling tepat dalam hal ini seperti dinyatakan oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah, “Siapa yang mampu untuk bergaul dengan masyarakat dengan tetap melakukan pengingkaran pada kemungkaran, maka wajib baginya untuk bergaul, bisa jadi berlaku hukum baginya fardhu ‘ain atau fardhu kifayah sesuai dengan keadaan dan kemampuan. Ini juga berlaku bagi yang yakin dapat selamat dengan ia tetap melakukan amar ma’ruf nahi mungkar. Namun, jika terjadi kerusakan menimpa dirinya, maka baiknya ia melakukan ‘uzlah (mengasingkan diri) agar tidak terjatuh dalam keharaman. Dan ingat kerusakan itu bukan hanya menimpa mereka yang maksiat namun bisa menimpa secara umum, sebagaimana firman Allah Ta’ala,
وَاتَّقُوا فِتْنَةً لَا تُصِيبَنَّ الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْكُمْ خَاصَّةً
“Dan peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu.” (QS. Al-Anfaal: 25)
Baca juga: Faedah Sirah Nabi, Nabi Menyendiri
Penjelasan sebelumnya, bukan berarti kita tidak boleh bergaul. Namun, bergaul yang tepat adalah sesuai hajat atau kebutuhan.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
فُضُوْلُ المخَالَطَةِ فِيْهِ خَسَرَاةُ الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَإِنَّمَا لِلْعَبْدِ أَنْ يَأْخُذَ مِنَ المخَالَطَةِ بِمِقْدَارِ الحَاجَةِ
“Banyak bergaul itu dapat mendatangkan kerugian di dunia dan akhirat. Selaku hamba seharusnya bergaul sesuai kadar hajat saja.” (Badaai’ Al-Fawaid, 2:821)
Adapun bergaul ada beberapa bentuk menurut Ibnul Qayyim rahimahullah yaitu:
Lihat Badaa-i’ Al-Fawaid (2:821-823).
Baca juga: Langkah Setan dalam Menyesatkan Manusia, Banyak Bergaul
Jika memang bisa memberikan manfaat pada orang lain seperti orang berilmu, maka ia bergaul karena maksud baik tersebut.
Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْمُؤْمِنُ الَّذِى يُخَالِطُ النَّاسَ وَيَصْبِرُ عَلَى أَذَاهُمْ أَعْظَمُ أَجْرًا مِنَ الْمُؤْمِنِ الَّذِى لاَ يُخَالِطُ النَّاسَ وَلاَ يَصْبِرُ عَلَى أَذَاهُمْ
“Seorang mukmin yang bergaul di tengah masyarakat dan bersabar terhadap gangguan mereka, itu lebih baik dari pada seorang mukmin yang tidak bergaul di tengah masyarakat dan tidak bersabar terhadap gangguan mereka.” (HR. Tirmidzi, no. 2507. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini sahih).
Wahb bin Munabbih rahimahullah berkata,
الْمُؤْمِنُ يُخَالِطُ لِيَعْلَمَ، وَيَسْكُتُ لِيَسْلَمَ، وَيَتَكَلَّمُ لِيَفْهَمَ، وَيَخْلُو لِيَغْنَمَ
“Orang yang beriman itu bergaul untuk menambah ilmu, memilih untuk diam agar selamat dari dosa, berbicara untuk mendapat pemahaman, dan menyendiri agar mendapat keberuntungan.” (Disebutkan oleh Ibnu Abi Ad-Dunya dalam Al-‘Uzlah dan Al-Infirad)
Baca juga: Berilah Manfaat untuk Orang Banyak
Para dai harus mengambil manfaat dan belajar dari kisah ashabul kahfi mengenai pentingnya mengambil sebab-sebab yang diperintahkan (masyru’ah, disyariatkan), mereka harus tahu bahwa mengambil sebab tidak merusak iman dan membatalkan tawakal kepada Allah. Bukti bahwa pemuda Al-Kahfi mencari sebab:
– Para pemuda bersembunyi dalam gua, menjadikannya sebagai tempat berlindung dan bersembunyi dari kaumnya. Allah tidak mengingkari apa yang mereka lakukan ini dan apa yang mereka teguhkan niat untuk melakukannya.
وَإِذِ اعْتَزَلْتُمُوهُمْ وَمَا يَعْبُدُونَ إِلَّا اللَّهَ فَأْوُوا إِلَى الْكَهْفِ يَنْشُرْ لَكُمْ رَبُّكُمْ مِنْ رَحْمَتِهِ وَيُهَيِّئْ لَكُمْ مِنْ أَمْرِكُمْ مِرْفَقًا
“Dan apabila kamu meninggalkan mereka dan apa yang mereka sembah selain Allah, maka carilah tempat berlindung ke dalam gua itu, niscaya Rabbmu akan melimpahkan sebagian rahmat-Nya kepadamu dan menyediakan sesuatu yang berguna bagimu dalam urusan kamu.” (QS. Al-Kahfi: 16)
Pemuda-pemuda ini menyelematkan diri dari kaumnya yang kafir, dengan percaya serta tawakal kepada Allah. Mereka pun pergi ke gua dan bersembunyi di dalamnya.
– Allah menjadikan empat sebab agar mereka selamat dari panas matahari dan selamat dari hancur dimakan tanah dengan cara (1) cahaya matahari menjauh dari mereka; (2) badan mereka dibolak-balikkan ke kanan dan ke kiri. Di samping itu, (3) gua tersebut dalam keadaan luas sehingga bisa dibolak-balikkan ke kanan dan ke kiri, lalu (4) mata mereka dalam keadaan terbuka sehingga mata tersebut selama 309 tahun tidaklah rusak. Dalam ayat disebutkan,
وَتَرَى الشَّمْسَ إِذَا طَلَعَتْ تَزَاوَرُ عَنْ كَهْفِهِمْ ذَاتَ الْيَمِينِ وَإِذَا غَرَبَتْ تَقْرِضُهُمْ ذَاتَ الشِّمَالِ وَهُمْ فِي فَجْوَةٍ مِنْهُ ۚ ذَٰلِكَ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ ۗ مَنْ يَهْدِ اللَّهُ فَهُوَ الْمُهْتَدِ ۖ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَنْ تَجِدَ لَهُ وَلِيًّا مُرْشِدًا
“Dan kamu akan melihat matahari ketika terbit, condong dari gua mereka ke sebelah kanan, dan bila matahari terbenam menjauhi mereka ke sebelah kiri sedang mereka berada dalam tempat yang luas dalam gua itu. Itu adalah sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Allah. Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk; dan barang siapa yang disesatkan-Nya, maka kamu tidak akan mendapatkan seorang pemimpin pun yang dapat memberi petunjuk kepadanya.” (QS. Al-Kahfi: 17)
وَتَحْسَبُهُمْ أَيْقَاظًا وَهُمْ رُقُودٌ ۚ وَنُقَلِّبُهُمْ ذَاتَ الْيَمِينِ وَذَاتَ الشِّمَالِ ۖ وَكَلْبُهُمْ بَاسِطٌ ذِرَاعَيْهِ بِالْوَصِيدِ ۚ لَوِ اطَّلَعْتَ عَلَيْهِمْ لَوَلَّيْتَ مِنْهُمْ فِرَارًا وَلَمُلِئْتَ مِنْهُمْ رُعْبًا
“Dan kamu mengira mereka itu bangun, padahal mereka tidur; Dan kami balik-balikkan mereka ke kanan dan ke kiri, sedang anjing mereka mengunjurkan kedua lengannya di muka pintu gua. Dan jika kamu menyaksikan mereka tentulah kamu akan berpaling dari mereka dengan melarikan diri dan tentulah (hati) kamu akan dipenuhi oleh ketakutan terhadap mereka.” (QS. Al-Kahfi: 18)
– Uang dirham tetap dibawa untuk digunakan untuk keperluan serta bekal bagi mereka. Mereka bawa uang itu ketika masuk gua. Uang itu ternyata dibutuhkan ketika mereka mengutus salah satu dari mereka untuk membeli makanan dengan uang dirham tersebut di kota. Ini menunjukkan bahwa mereka melakukan sebab dengan membawa bekal berupa uang. Allah Ta’ala berfirman,
وَكَذَٰلِكَ بَعَثْنَاهُمْ لِيَتَسَاءَلُوا بَيْنَهُمْ ۚ قَالَ قَائِلٌ مِنْهُمْ كَمْ لَبِثْتُمْ ۖ قَالُوا لَبِثْنَا يَوْمًا أَوْ بَعْضَ يَوْمٍ ۚ قَالُوا رَبُّكُمْ أَعْلَمُ بِمَا لَبِثْتُمْ فَابْعَثُوا أَحَدَكُمْ بِوَرِقِكُمْ هَٰذِهِ إِلَى الْمَدِينَةِ فَلْيَنْظُرْ أَيُّهَا أَزْكَىٰ طَعَامًا فَلْيَأْتِكُمْ بِرِزْقٍ مِنْهُ وَلْيَتَلَطَّفْ وَلَا يُشْعِرَنَّ بِكُمْ أَحَدًا
“Dan demikianlah Kami bangunkan mereka agar mereka saling bertanya di antara mereka sendiri. Berkatalah salah seorang di antara mereka: Sudah berapa lamakah kamu berada (di sini?)”. Mereka menjawab: “Kita berada (di sini) sehari atau setengah hari”. Berkata (yang lain lagi): “Rabb kamu lebih mengetahui berapa lamanya kamu berada (di sini). Maka suruhlah salah seorang di antara kamu untuk pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah dia lihat manakah makanan yang lebih baik, maka hendaklah ia membawa makanan itu untukmu, dan hendaklah ia berlaku lemah-lembut dan janganlah sekali-kali menceritakan halmu kepada seorang pun.” (QS. Al-Kahfi: 19)
Pelajaran ini diambil dari ayat 19 di atas,
وَلْيَتَلَطَّفْ
“dan hendaklah ia berlaku lemah-lembut”, yaitu ketika keluar, pergi, membeli makanan, kemudian kembali, mereka mengatakan, rahasiakan segala sesuatu yang mungkin. Demikian yang disebutkan oleh Ibnu Katsir rahimahullah dalam Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim.
Para pemuda ini telah mengambil sebab untuk waspada. Pemuda yang diutus untuk membeli makanan diminta agar waspada dengan cara bersembunyi sebisa mungkin hingga tidak dikenal. Karena jika dikenal, maka kaumnya nantinya mengetahui keberadaan mereka, lalu mereka akan dibunuh dengan cara dilempari batu, atau dipaksa untuk kembali kepada agama mereka. Kalau sampai murtad, tentu pemuda-pemuda ini tidak akan beruntung selamanya. Ingat, orang beriman itu memiliki sifat selalu berhati-hati, tidak tergesa-gesa.
Ketika mereka bangun, pemuda-pemuda ini saling bertanya berapa lama mereka tinggal di dalam gua. Ada yang menjawab sehari atau setengah hari. Lalu ada yang mengatakan,
رَبُّكُمْ أَعْلَمُ بِمَا لَبِثْتُمْ
“Rabb kamu lebih mengetahui berapa lamanya kamu berada (di sini).”
Daripada lama berdebat yang tak manfaat, maka diperintahkan untuk mencari makan.
فَابْعَثُوا أَحَدَكُمْ بِوَرِقِكُمْ هَٰذِهِ إِلَى الْمَدِينَةِ فَلْيَنْظُرْ أَيُّهَا أَزْكَىٰ طَعَامًا
“Maka suruhlah salah seorang di antara kamu untuk pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah dia lihat manakah makanan yang lebih baik.” Ini namanya beralih dari debat ke hal yang lebih penting yaitu butuh pada makanan.
Sebagian dai kadang terjerumus dalam debat kusir yang tidak manfaat, baiknya beralih kepada hal manfaat dan membicarakan seputar dakwah.
Dalam ayat disebutkan,
وَلَا يُشْعِرَنَّ بِكُمْ أَحَدًا
“dan janganlah sekali-kali menceritakan halmu kepada seorang pun.” (QS. Al-Kahfi: 19)
Maksud ayat ini adalah janganlah membuka rahasia.
Baca juga: Kenapa Kita Harus Menjaga Rahasia?
Dalam ayat disebutkan,
فَلْيَنْظُرْ أَيُّهَا أَزْكَىٰ طَعَامًا
“Dan hendaklah dia lihat manakah makanan yang lebih baik.” (QS. Al-Kahfi: 19). Mereka makan yang enak-enak karena mereka adalah anak tokoh (raja) yang sudah terbiasa makan enak. Demikian kata Syaikh As-Sa’di dalam Tafsir As-Sa’di, hlm. 496.
Tiga belas faedah ini diambil dari Al-Mustafad min Qashash Al-Qur’an li Ad-Da’wah wa Ad-Du’aa’, hlm. 380-388 dan Tafsir As-Sa’di, hlm. 496.
Semoga bermanfaat dan mendapatkan berkah dari kisah pemuda Al-Kahfi ini.
Kisah yang penuh pelajaran dari Salman Al-Farisi, ketika ia masuk Islam. Inilah yang menjadi contoh follower sejati.
Dari ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Salman Al-Farisi menceritakan biografinya kepadaku dari mulutnya sendiri. Dia berkata,
( كُنْتُ رَجُلا فَارِسِيًّا مِنْ أَهْلِ أَصْبَهَانَ ، مِنْ أَهْلِ قَرْيَةٍ مِنْهَا يُقَالُ لَهَا جَيٌّ ، وَكَانَ أَبِي دِهْقَانَ قَرْيَتِهِ ( أي رئيسها ) ، وَكُنْتُ أَحَبَّ خَلْقِ اللَّهِ إِلَيْهِ ، فَلَمْ يَزَلْ بِهِ حُبُّهُ إِيَّايَ حَتَّى حَبَسَنِي فِي بَيْتِهِ ، أَيْ مُلازِمَ النَّارِ ، كَمَا تُحْبَسُ الْجَارِيَةُ ، وَأَجْهَدْتُ فِي الْمَجُوسِيَّةِ حَتَّى كُنْتُ قَطَنَ النَّارِ ( أي خادمها ) الَّذِي يُوقِدُهَا لا يَتْرُكُهَا تَخْبُو سَاعَةً ، قَالَ وَكَانَتْ لأَبِي ضَيْعَةٌ ( أي بستان ) عَظِيمَةٌ ، قَالَ فَشُغِلَ فِي بُنْيَانٍ لَهُ يَوْمًا فَقَالَ لِي : يَا بُنَيَّ ، إِنِّي قَدْ شُغِلْتُ فِي بُنْيَانٍ هَذَا الْيَوْمَ عَنْ ضَيْعَتِي فَاذْهَبْ فَاطَّلِعْهَا ، وَأَمَرَنِي فِيهَا بِبَعْضِ مَا يُرِيدُ ، فَخَرَجْتُ أُرِيدُ ضَيْعَتَهُ ، فَمَرَرْتُ بِكَنِيسَةٍ مِنْ كَنَائِسِ النَّصَارَى ، فَسَمِعْتُ أَصْوَاتَهُمْ فِيهَا وَهُمْ يُصَلُّونَ ، وَكُنْتُ لا أَدْرِي مَا أَمْرُ النَّاسِ لِحَبْسِ أَبِي إِيَّايَ فِي بَيْتِهِ ، فَلَمَّا مَرَرْتُ بِهِمْ وَسَمِعْتُ أَصْوَاتَهُمْ دَخَلْتُ عَلَيْهِمْ أَنْظُرُ مَا يَصْنَعُونَ ، قَالَ : فَلَمَّا رَأَيْتُهُمْ أَعْجَبَنِي صَلَاتُهُمْ وَرَغِبْتُ فِي أَمْرِهِمْ ، وَقُلْتُ هَذَا وَاللَّهِ خَيْرٌ مِنْ الدِّينِ الَّذِي نَحْنُ عَلَيْهِ ، فَوَاللَّهِ مَا تَرَكْتُهُمْ حَتَّى غَرَبَتْ الشَّمْسُ ، وَتَرَكْتُ ضَيْعَةَ أَبِي وَلَمْ آتِهَا ، فَقُلْتُ لَهُمْ : أَيْنَ أَصْلُ هَذَا الدِّينِ ؟ قَالُوا : بِالشَّامِ . قَالَ ثُمَّ رَجَعْتُ إِلَى أَبِي وَقَدْ بَعَثَ فِي طَلَبِي وَشَغَلْتُهُ عَنْ عَمَلِهِ كُلِّهِ ، قَالَ فَلَمَّا جِئْتُهُ قَالَ : أَيْ بُنَيَّ ! أَيْنَ كُنْتَ ؟ أَلَمْ أَكُنْ عَهِدْتُ إِلَيْكَ مَا عَهِدْتُ ؟ قَالَ قُلْتُ : يَا أَبَتِ ! مَرَرْتُ بِنَاسٍ يُصَلُّونَ فِي كَنِيسَةٍ لَهُمْ ، فَأَعْجَبَنِي مَا رَأَيْتُ مِنْ دِينِهِمْ ، فَوَاللَّهِ مَازِلْتُ عِنْدَهُمْ حَتَّى غَرَبَتْ الشَّمْس ، قَالَ : أَيْ بُنَيَّ ! لَيْسَ فِي ذَلِكَ الدِّينِ خَيْرٌ ، دِينُكَ وَدِينُ آبَائِكَ خَيْرٌ مِنْهُ ، قَالَ قُلْتُ : كَلا وَاللَّهِ إِنَّهُ خَيْرٌ مِنْ دِينِنَا . قَالَ : فَخَافَنِي ، فَجَعَلَ فِي رِجْلَيَّ قَيْدًا ، ثُمَّ حَبَسَنِي فِي بَيْتِهِ ، قَالَ وَبَعثَتُ إِلَى النَّصَارَى فَقُلْتُ لَهُمْ : إِذَا قَدِمَ عَلَيْكُمْ رَكْبٌ مِنْ الشَّامِ تُجَّارٌ مِنْ النَّصَارَى فَأَخْبِرُونِي بِهِمْ . قَالَ : فَقَدِمَ عَلَيْهِمْ رَكْبٌ مِنْ الشَّامِ تُجَّارٌ مِنْ النَّصَارَى ، قَالَ فَأَخْبَرُونِي بِهِمْ ، قَالَ فَقُلْتُ لَهُمْ : إِذَا قَضَوْا حَوَائِجَهُمْ وَأَرَادُوا الرَّجْعَةَ إِلَى بِلادِهِمْ فَآذِنُونِي بِهِمْ ، قَالَ فَلَمَّا أَرَادُوا الرَّجْعَةَ إِلَى بِلَادِهِمْ أَخْبَرُونِي بِهِمْ ، فَأَلْقَيْتُ الْحَدِيدَ مِنْ رِجْلَيَّ ثُمَّ خَرَجْتُ مَعَهُمْ حَتَّى قَدِمْتُ الشَّامَ ، فَلَمَّا قَدِمْتُهَا قُلْتُ : مَنْ أَفْضَلُ أَهْلِ هَذَا الدِّينِ ؟ قَالُوا : الأَسْقُفُّ فِي الْكَنِيسَةِ . قَالَ فَجِئْتُهُ فَقُلْتُ : إِنِّي قَدْ رَغِبْتُ فِي هَذَا الدِّينِ ، وَأَحْبَبْتُ أَنْ أَكُونَ مَعَكَ أَخْدُمُكَ فِي كَنِيسَتِكَ وَأَتَعَلَّمُ مِنْكَ وَأُصَلِّي مَعَكَ ، قَالَ : فَادْخُلْ . فَدَخَلْتُ مَعَهُ ، قَالَ فَكَانَ رَجُلَ سَوْءٍ ، يَأْمُرُهُمْ بِالصَّدَقَةِ وَيُرَغِّبُهُمْ فِيهَا فَإِذَا جَمَعُوا إِلَيْهِ مِنْهَا أَشْيَاءَ اكْتَنَزَهُ لِنَفْسِهِ وَلَمْ يُعْطِهِ الْمَسَاكِينَ ، حَتَّى جَمَعَ سَبْعَ قِلالٍ مِنْ ذَهَبٍ وَوَرِقٍ ، قَالَ وَأَبْغَضْتُهُ بُغْضًا شَدِيدًا لِمَا رَأَيْتُهُ يَصْنَعُ ، ثُمَّ مَاتَ فَاجْتَمَعَتْ إِلَيْهِ النَّصَارَى لِيَدْفِنُوهُ ، فَقُلْتُ لَهُمْ : إِنَّ هَذَا كَانَ رَجُلَ سَوْءٍ ، يَأْمُرُكُمْ بِالصَّدَقَةِ وَيُرَغِّبُكُمْ فِيهَا فَإِذَا جِئْتُمُوهُ بِهَا اكْتَنَزَهَا لِنَفْسِهِ وَلَمْ يُعْطِ الْمَسَاكِينَ مِنْهَا شَيْئًا . قَالُوا : وَمَا عِلْمُكَ بِذَلِكَ ؟ قَالَ قُلْتُ : أَنَا أَدُلُّكُمْ عَلَى كَنْزِهِ . قَالُوا : فَدُلَّنَا عَلَيْهِ . قَالَ فَأَرَيْتُهُمْ مَوْضِعَهُ ، قَالَ فَاسْتَخْرَجُوا مِنْهُ سَبْعَ قِلَالٍ مَمْلُوءَةٍ ذَهَبًا وَوَرِقًا ، قَالَ فَلَمَّا رَأَوْهَا قَالُوا : وَاللَّهِ لا نَدْفِنُهُ أَبَدًا . فَصَلَبُوهُ ثُمَّ رَجَمُوهُ بِالْحِجَارَةِ ، ثُمَّ جَاءُوا بِرَجُلٍ آخَرَ فَجَعَلُوهُ بِمَكَانِهِ ، قَالَ يَقُولُ سَلْمَانُ : فَمَا رَأَيْتُ رَجُلا لا يُصَلِّي الْخَمْسَ أَرَى أَنَّهُ أَفْضَلُ مِنْهُ أَزْهَدُ فِي الدُّنْيَا وَلا أَرْغَبُ فِي الآخِرَةِ وَلا أَدْأَبُ لَيْلا وَنَهَارًا مِنْهُ . قَالَ فَأَحْبَبْتُهُ حُبًّا لَمْ أُحِبَّهُ مَنْ قَبْلَهُ ، وَأَقَمْتُ مَعَهُ زَمَانًا ، ثُمَّ حَضَرَتْهُ الْوَفَاةُ فَقُلْتُ لَهُ : يَا فُلَانُ ! إِنِّي كُنْتُ مَعَكَ ، وَأَحْبَبْتُكَ حُبًّا لَمْ أُحِبَّهُ مَنْ قَبْلَكَ ، وَقَدْ حَضَرَكَ مَا تَرَى مِنْ أَمْرِ اللَّهِ ، فَإِلَى مَنْ تُوصِي بِي ؟ وَمَا تَأْمُرُنِي ؟ قَالَ : أَيْ بُنَيَّ ! وَاللَّهِ مَا أَعْلَمُ أَحَدًا الْيَوْمَ عَلَى مَا كُنْتُ عَلَيْهِ ، لَقَدْ هَلَكَ النَّاسُ وَبَدَّلُوا وَتَرَكُوا أَكْثَرَ مَا كَانُوا عَلَيْهِ إِلا رَجُلا بِالْمَوْصِلِ وَهُوَ فُلانٌ ، فَهُوَ عَلَى مَا كُنْتُ عَلَيْهِ ، فَالْحَقْ بِهِ .قَالَ فَلَمَّا مَاتَ وَغَيَّبَ لَحِقْتُ بِصَاحِبِ الْمَوْصِلِ ، فَقُلْتُ لَهُ : يَا فُلانُ ! إِنَّ فُلانًا أَوْصَانِي عِنْدَ مَوْتِهِ أَنْ أَلْحَقَ بِكَ ، وَأَخْبَرَنِي أَنَّكَ عَلَى أَمْرِهِ . قَالَ فَقَالَ لِي : أَقِمْ عِنْدِي . فَأَقَمْتُ عِنْدَهُ ، فَوَجَدْتُهُ خَيْرَ رَجُلٍ عَلَى أَمْرِ صَاحِبِهِ ، فَلَمْ يَلْبَثْ أَنْ مَاتَ ، فَلَمَّا حَضَرَتْهُ الْوَفَاةُ قُلْتُ لَهُ : يَا فُلانُ ! إِنَّ فُلانًا أَوْصَى بِي إِلَيْكَ وَأَمَرَنِي بِاللُّحُوقِ بِكَ ، وَقَدْ حَضَرَكَ مِنْ اللَّهِ مَا تَرَى ، فَإِلَى مَنْ تُوصِي بِي ؟ وَمَا تَأْمُرُنِي ؟ قَالَ : أَيْ بُنَيَّ ! وَاللَّهِ مَا أَعْلَمُ رَجُلًا عَلَى مِثْلِ مَا كُنَّا عَلَيْهِ إِلا بِنَصِيْبِينَ ، وَهُوَ فُلَانٌ ، فَالْحَقْ بِهِ . وَقَالَ فَلَمَّا مَاتَ وَغَيَّبَ لَحِقْتُ بِصَاحِبِ نَصِيْبِينَ ، فَجِئْتُهُ ، فَأَخْبَرْتُهُ بِخَبَرِي وَمَا أَمَرَنِي بِهِ صَاحِبِي ، قَالَ : فَأَقِمْ عِنْدِي . فَأَقَمْتُ عِنْدَهُ ، فَوَجَدْتُهُ عَلَى أَمْرِ صَاحِبَيْهِ ، فَأَقَمْتُ مَعَ خَيْرِ رَجُلٍ ، فَوَاللَّهِ مَا لَبِثَ أَنْ نَزَلَ بِهِ الْمَوْتُ ، فَلَمَّا حَضَرَ قُلْتُ لَهُ : يَا فُلَانُ ! إِنَّ فُلانًا كَانَ أَوْصَى بِي إِلَى فُلانٍ ، ثُمَّ أَوْصَى بِي فُلَانٌ إِلَيْكَ ، فَإِلَى مَنْ تُوصِي بِي وَمَا تَأْمُرُنِي ؟ قَالَ : أَيْ بُنَيَّ ! وَاللَّهِ مَا نَعْلَمُ أَحَدًا بَقِيَ عَلَى أَمْرِنَا آمُرُكَ أَنْ تَأْتِيَهُ إِلا رَجُلا بِعَمُّورِيَّةَ ، فَإِنَّهُ بِمِثْلِ مَا نَحْنُ عَلَيْهِ ، فَإِنْ أَحْبَبْتَ فَأْتِهِ قَالَ فَإِنَّهُ عَلَى أَمْرِنَا ، قَالَ فَلَمَّا مَاتَ وَغَيَّبَ لَحِقْتُ بِصَاحِبِ عَمُّورِيَّةَ وَأَخْبَرْتُهُ خَبَرِي ، فَقَالَ : أَقِمْ عِنْدِي . فَأَقَمْتُ مَعَ رَجُلٍ عَلَى هَدْيِ أَصْحَابِهِ وَأَمْرِهِمْ ، قَالَ وَاكْتَسَبْتُ حَتَّى كَانَ لِي بَقَرَاتٌ وَغُنَيْمَةٌ ، قَالَ ثُمَّ نَزَلَ بِهِ أَمْرُ اللَّهِ فَلَمَّا حَضَرَ قُلْتُ لَهُ : يَا فُلانُ ! إِنِّي كُنْتُ مَعَ فُلانٍ ، فَأَوْصَى بِي فُلانٌ إِلَى فُلانٍ ، وَأَوْصَى بِي فُلانٌ إِلَى فُلانٍ ، ثُمَّ أَوْصَى بِي فُلَانٌ إِلَيْكَ ، فَإِلَى مَنْ تُوصِي بِي وَمَا تَأْمُرُنِي ؟ قَالَ : أَيْ بُنَيَّ ! وَاللَّهِ مَا أَعْلَمُهُ أَصْبَحَ عَلَى مَا كُنَّا عَلَيْهِ أَحَدٌ مِنْ النَّاسِ آمُرُكَ أَنْ تَأْتِيَهُ ، وَلَكِنَّهُ قَدْ أَظَلَّكَ زَمَانُ نَبِيٍّ ، هُوَ مَبْعُوثٌ بِدِينِ إِبْرَاهِيمَ ، يَخْرُجُ بِأَرْضِ الْعَرَبِ مُهَاجِرًا إِلَى أَرْضٍ بَيْنَ حَرَّتَيْنِ ( الحرة : الأرض ذات الحجارة السود ) ، بَيْنَهُمَا نَخْلٌ ، بِهِ عَلامَاتٌ لا تَخْفَى : يَأْكُلُ الْهَدِيَّةَ وَلا يَأْكُلُ الصَّدَقَةَ ، بَيْنَ كَتِفَيْهِ خَاتَمُ النُّبُوَّةِ ، فَإِنْ استَطَعْتَ أَنْ تَلْحَقَ بِتِلْكَ الْبِلادِ فَافْعَلْ . قَالَ ثُمَّ مَاتَ وَغَيَّبَ ، فَمَكَثْتُ بِعَمُّورِيَّةَ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ أَمْكُثَ ، ثُمَّ مَرَّ بِي نَفَرٌ مِنْ كَلْبٍ تُجَّارًا ، فَقُلْتُ لَهُمْ : تَحْمِلُونِي إِلَى أَرْضِ الْعَرَبِ وَأُعْطِيكُمْ بَقَرَاتِي هَذِهِ وَغُنَيْمَتِي هَذِهِ ؟ قَالُوا : نَعَمْ . فَأَعْطَيْتُهُمُوهَا وَحَمَلُونِي ، حَتَّى إِذَا قَدِمُوا بِي وَادِي الْقُرَى ظَلَمُونِي فَبَاعُونِي مِنْ رَجُلٍ مِنْ يَهُودَ عَبْدًا ، فَكُنْتُ عِنْدَهُ ، وَرَأَيْتُ النَّخْلَ ، وَرَجَوْتُ أَنْ تَكُونَ الْبَلَدَ الَّذِي وَصَفَ لِي صَاحِبِي ، وَلَمْ يَحِقْ لِي فِي نَفْسِي ، فَبَيْنَمَا أَنَا عِنْدَهُ قَدِمَ عَلَيْهِ ابْنُ عَمٍّ لَهُ مِنْ الْمَدِينَةِ مِنْ بَنِي قُرَيْظَةَ ، فَابْتَاعَنِي مِنْهُ ، فَاحْتَمَلَنِي إِلَى الْمَدِينَةِ ، فَوَاللَّهِ مَا هُوَ إِلا أَنْ رَأَيْتُهَا فَعَرَفْتُهَا بِصِفَةِ صَاحِبِي ، فَأَقَمْتُ بِهَا ، وَبَعَثَ اللَّهُ رَسُولَهُ فَأَقَامَ بِمَكَّةَ مَا أَقَامَ ، لا أَسْمَعُ لَهُ بِذِكْرٍ مَعَ مَا أَنَا فِيهِ مِنْ شُغْلِ الرِّقِّ ، ثُمَّ هَاجَرَ إِلَى الْمَدِينَةِ ، فَوَاللَّهِ إِنِّي لَفِي رَأْسِ عَذْقٍ لِسَيِّدِي أَعْمَلُ فِيهِ بَعْضَ الْعَمَلِ وَسَيِّدِي جَالِسٌ إِذْ أَقْبَلَ ابْنُ عَمٍّ لَهُ حَتَّى وَقَفَ عَلَيْهِ ، فَقَالَ فُلانُ : قَاتَلَ اللَّهُ بَنِي قَيْلَةَ ، وَاللَّهِ إِنَّهُمْ الآنَ لَمُجْتَمِعُونَ بِقُبَاءَ عَلَى رَجُلٍ قَدِمَ عَلَيْهِمْ مِنْ مَكَّةَ الْيَوْمَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُ نَبِيٌّ ، قَالَ فَلَمَّا سَمِعْتُهَا أَخَذَتْنِي الْعُرَوَاءُ ( برد الحمى ) حَتَّى ظَنَنْتُ سَأَسْقُطُ عَلَى سَيِّدِي ، قَالَ : وَنَزَلْتُ عَنْ النَّخْلَةِ فَجَعَلْتُ أَقُولُ لابْنِ عَمِّهِ ذَلِكَ : مَاذَا تَقُولُ مَاذَا تَقُولُ ؟ قَالَ فَغَضِبَ سَيِّدِي فَلَكَمَنِي لَكْمَةً شَدِيدَةً ثُمَّ قَالَ : مَا لَكَ وَلِهَذَا ؟! أَقْبِلْ عَلَى عَمَلِكَ . قَالَ قُلْتُ : لا شَيْءَ ، إِنَّمَا أَرَدْتُ أَنْ أَسْتَثْبِتَ عَمَّا قَالَ . وَقَدْ كَانَ عِنْدِي شَيْءٌ قَدْ جَمَعْتُهُ ، فَلَمَّا أَمْسَيْتُ أَخَذْتُهُ ثُمَّ ذَهَبْتُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ بِقُبَاءَ ، فَدَخَلْتُ عَلَيْهِ فَقُلْتُ لَهُ : إِنَّهُ قَدْ بَلَغَنِي أَنَّكَ رَجُلٌ صَالِحٌ وَمَعَكَ أَصْحَابٌ لَكَ غُرَبَاءُ ذَوُو حَاجَةٍ ، وَهَذَا شَيْءٌ كَانَ عِنْدِي لِلصَّدَقَةِ ، فَرَأَيْتُكُمْ أَحَقَّ بِهِ مِنْ غَيْرِكُمْ ، قَالَ فَقَرَّبْتُهُ إِلَيْهِ ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّه صلى الله عليه وسلم لِأَصْحَابِهِ : كُلُوا . وَأَمْسَكَ يَدَهُ فَلَمْ يَأْكُلْ ، قَالَ فَقُلْتُ فِي نَفْسِي هَذِهِ وَاحِدَةٌ ، ثُمَّ انْصَرَفْتُ عَنْهُ فَجَمَعْتُ شَيْئًا ، وَتَحَوَّلَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم إِلَى الْمَدِينَةِ ، ثُمَّ جِئْتُ بِهِ ، فَقُلْتُ إِنِّي رَأَيْتُكَ لا تَأْكُلُ الصَّدَقَةَ وَهَذِهِ هَدِيَّةٌ أَكْرَمْتُكَ بِهَا ، قَالَ فَأَكَلَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم مِنْهَا ، وَأَمَرَ أَصْحَابَهُ فَأَكَلُوا مَعَهُ ، قَالَ فَقُلْتُ فِي نَفْسِي هَاتَانِ اثْنَتَانِ ، ثُمَّ جِئْتُ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَهُوَ بِبَقِيعِ الْغَرْقَدِ ، قَالَ : وَقَدْ تَبِعَ جَنَازَةً مِنْ أَصْحَابِهِ عَلَيْهِ شَمْلَتَانِ لَهُ ، وَهُوَ جَالِسٌ فِي أَصْحَابِهِ ، فَسَلَّمْتُ عَلَيْهِ ثُمَّ اسْتَدَرْتُ أَنْظُرُ إِلَى ظَهْرِهِ هَلْ أَرَى الْخَاتَمَ الَّذِي وَصَفَ لِي صَاحِبِي ، فَلَمَّا رَآنِي رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم اسْتَدَرْتُهُ عَرَفَ أَنِّي أَسْتَثْبِتُ فِي شَيْءٍ وُصِفَ لِي ، قَالَ فَأَلْقَى رِدَاءَهُ عَنْ ظَهْرِهِ ، فَنَظَرْتُ إِلَى الْخَاتَمِ فَعَرَفْتُهُ فَانْكَبَبْتُ عَلَيْهِ أُقَبِّلُهُ وَأَبْكِي ، فَقَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم : تَحَوَّلْ . فَتَحَوَّلْتُ فَقَصَصْتُ عَلَيْهِ حَدِيثِي كَمَا حَدَّثْتُكَ يَا ابْنَ عَبَّاسٍ ، قَالَ فَأَعْجَبَ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم أَنْ يَسْمَعَ ذَلِكَ أَصْحَابُهُ ، ثُمَّ شَغَلَ سَلْمَانَ الرِّقُّ حَتَّى فَاتَهُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم بَدْرٌ وَأُحُدٌ ، قَالَ ثُمَّ قَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم : كَاتِبْ يَا سَلْمَانُ . فَكَاتَبْتُ صَاحِبِي عَلَى ثَلاثِ مِائَةِ نَخْلَةٍ أُحْيِيهَا لَهُ بِالْفَقِيرِ ( حفرة الفسيلة التي تغرس فيها ) وَبِأَرْبَعِينَ أُوقِيَّةً ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم لأَصْحَابِهِ : أَعِينُوا أَخَاكُمْ . فَأَعَانُونِي بِالنَّخْلِ ، الرَّجُلُ بِثَلاثِينَ وَدِيَّةً ( أي صغار النخل ) ، وَالرَّجُلُ بِعِشْرِينَ ، وَالرَّجُلُ بِخَمْسَ عَشْرَةَ ، وَالرَّجُلُ بِعَشْرٍ ، يَعْنِي الرَّجُلُ بِقَدْرِ مَا عِنْدَهُ ، حَتَّى اجْتَمَعَتْ لِي ثَلاثُ مِائَةِ وَدِيَّةٍ ، فَقَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم : اذْهَبْ يَا سَلْمَانُ فَفَقِّرْ لَهَا ( أي احفر لها موضع غرسها ) ، فَإِذَا فَرَغْتَ فَأْتِنِي أَكُونُ أَنَا أَضَعُهَا بِيَدَيَّ ، فَفَقَّرْتُ لَهَا وَأَعَانَنِي أَصْحَابِي حَتَّى إِذَا فَرَغْتُ مِنْهَا جِئْتُهُ فَأَخْبَرْتُهُ ، فَخَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم مَعِي إِلَيْهَا : فَجَعَلْنَا نُقَرِّبُ لَهُ الْوَدِيَّ ، وَيَضَعُهُ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم بِيَدِهِ ، فَوَالَّذِي نَفْسُ سَلْمَانَ بِيَدِهِ مَا مَاتَتْ مِنْهَا وَدِيَّةٌ وَاحِدَةٌ ، فَأَدَّيْتُ النَّخْلَ وَبَقِيَ عَلَيَّ الْمَالُ ، فَأُتِيَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم بِمِثْلِ بَيْضَةِ الدَّجَاجَةِ مِنْ ذَهَبٍ ، مِنْ بَعْضِ الْمَغَازِي ، فَقَالَ : مَا فَعَلَ الْفَارِسِيُّ الْمُكَاتَبُ ؟ قَالَ فَدُعِيتُ لَهُ فَقَالَ : خُذْ هَذِهِ فَأَدِّ بِهَا مَا عَلَيْكَ يَا سَلْمَانُ . فَقُلْتُ : وَأَيْنَ تَقَعُ هَذِهِ يَا رَسُولَ اللَّهِ مِمَّا عَلَيَّ . قَالَ : خُذْهَا فَإِنَّ اللَّهَ سَيُؤَدِّي بِهَا عَنْكَ . قَالَ فَأَخَذْتُهَا فَوَزَنْتُ لَهُمْ مِنْهَا ، وَالَّذِي نَفْسُ سَلْمَانَ بِيَدِهِ أَرْبَعِينَ أُوقِيَّةً ، فَأَوْفَيْتُهُمْ حَقَّهُمْ ، وَعُتِقْتُ ، فَشَهِدْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم الْخَنْدَقَ ، ثُمَّ لَمْ يَفُتْنِي مَعَهُ مَشْهَدٌ)
‘Aku seorang lelaki Persia dari Asbahan, warga suatu desa bernama Jayy. Ayahku adalah seorang tokoh masyarakat yang mengerti pertanian. Aku sendiri yang paling disayangi ayahku dari semua makhluk Allah. Karena sangat sayangnya aku tidak diperbolehkan keluar rumahnya, aku diminta senantiasa berada di samping perapian. Aku layaknya tawanan budak saja.
Aku dilahirkan dan membaktikan diri di lingkungan Majusi, sehingga aku sebagai penjaga api yang bertanggung jawab atas nyalanya api dan tidak membiarkannya padam.
Ayahku memiliki tanah perahan yang luas. Pada suatu hari beliau sibuk mengurus bangunan. Beliau berkata kepadaku, ‘Wahai anakku, hari ini aku sibuk di bangunan, aku tidak sempat mengurus tanah, cobalah engkau pergi ke sana!’ Beliau menyuruhku melakukan beberapa pekerjaan yang harus diselesaikan.
Aku keluar menuju tanah ayahku. Dalam perjalanan aku melewati salah satu gereja Nasrani. Aku mendengar suara mereka yang sedang sembahyang. Aku sendiri tidak mengerti mengapa ayahku mengharuskan aku tinggal di dalam rumah saja (melarang aku keluar rumah).
Tatkala aku melewati gereja mereka, dan aku mendengar suara mereka sedang shalat maka aku masuk ke dalam gereja itu untuk mengetahui apa yang sedang mereka lakukan?
Begitu aku melihat mereka, aku kagum dengan sembahyang mereka, dan aku ingin mengetahui peribadatan mereka. Aku berkata dalam hati, ‘Demi Allah, ini lebih baik dari agama yang kita anut selama ini.’
Demi Allah, aku tidak beranjak dari mereka sampai matahari terbenam. Aku tidak jadi pergi ke tanah milik ayahku. Aku bertanya kepada mereka, ‘Dari mana asal usul agama ini?’ Mereka menjawab, ‘Dari Syam (Syiria).’
Kemudian aku pulang ke rumah ayahku. Padahal ayahku telah mengutus seseorang untuk mencariku. Sementara aku tidak mengerjakan tugas dari ayahku sama sekali. Maka ketika aku telah bertemu ayahku, beliau bertanya, ‘Anakku, ke mana saja kamu pergi?
Bukankah aku telah berpesan kepadamu untuk mengerjakan apa yang aku perintahkan itu?’ Aku menjawab, ‘Ayah, aku lewat pada suatu kaum yang sedang sembahyang di dalam gereja, ketika aku melihat ajaran agama mereka aku kagum. Demi Allah, aku tidak beranjak dari tempat itu sampai matahari terbenam.’
Ayahku menjawab, ‘Wahai anakku, tidak ada kebaikan sedikitpun dalam agama itu. Agamamu dan agama ayahmu lebih bagus dari agama itu.’ Aku membantah, ‘Demi Allah, sekali-kali tidak! Agama itu lebih bagus dari agama kita.’ Kemudian ayahku khawatir dengan diriku, sehingga beliau merantai kakiku, dan aku dipenjara di dalam rumahnya.
Suatu hari ada serombongan orang dari agama Nasrani diutus menemuiku, maka aku sampaikan kepada mereka, ‘Jika ada rombongan dari Syam terdiri dari para pedagang Nasrani, maka supaya aku diberitahu.’ Aku juga meminta agar apabila para pedagang itu telah selesai urusannya dan akan kembali ke negrinya, memberiku izin bisa menemui mereka.
Ketika para pedagang itu hendak kembali ke negrinya, mereka memberitahu kepadaku. Kemudian rantai besi yang mengikat kakiku aku lepas, lantas aku pergi bersama mereka sehingga aku tiba di Syam.
Sesampainya aku di Syam, aku bertanya, ‘Siapakah orang yang ahli agama di sini?’ Mereka menjawab, ‘Uskup (pendeta) yang tinggal di gereja.’ Kemudian aku menemuinya. Kemudian aku berkata kepada pendeta itu, ‘Aku sangat mencintai agama ini, dan aku ingin tinggal bersamamu, aku akan membantumu di gerejamu, agar aku dapat belajar denganmu dan sembahyang bersama-sama kamu.’ Pendeta itu menjawab, ‘Silakan.’
Maka aku pun tinggal bersamanya.
Ternyata pendeta itu seorang yang jahat, dia menyuruh dan menganjurkan umat untuk bersedekah, namun setelah sedekah itu terkumpul dan diserahkan kepadanya, ia menyimpan sedekah tersebut untuk dirinya sendiri, tidak diberikan kepada orang-orang miskin, sehingga terkumpullah tujuh peti emas dan perak.
Aku sangat benci perbuatan pendeta itu. Kemudian dia meninggal. Orang-orang Nasrani pun berkumpul untuk mengebumikannya. Ketika itu aku sampaikan kepada khalayak, ‘Sebenarnya, pendeta ini adalah seorang yang berperangai buruk, menyuruh, dan menganjurkan kalian untuk bersedekah. Tetapi jika sedekah itu telah terkumpul, dia menyimpannya untuk dirinya sendiri, tidak memberikannya kepada orang-orang miskin barang sedikitpun.’
Mereka pun mempertanyakan apa yang aku sampaikan, ‘Apa buktinya bahwa kamu mengetahui akan hal itu?’ Aku menjawab, ‘Marilah aku tunjukkan kepada kalian simpanannya itu.’ Mereka berkata, ‘Baik, tunjukkan simpanan tersebut kepada kami.’
Lalu aku memperlihatkan tempat penyimpanan sedekah itu. Kemudian mereka mengeluarkan sebanyak tujuh peti yang penuh berisi emas dan perak. Setelah mereka menyaksikan betapa banyaknya simpanan pendeta itu, mereka berkata, ‘Demi Allah, selamanya kami tidak akan menguburnya.’ Kemudian mereka menyalib pendeta itu pada tiang dan melempari jasadnya dengan batu.
Kemudian mereka mengangkat orang lain sebagai penggantinya. Aku tidak pernah melihat seseorang yang tidak mengerjakan sembahyang lima waktu (bukan seorang muslim) yang lebih bagus dari dia, dia sangat zuhud, sangat mencintai akhirat, dan selalu beribadah siang malam. Maka aku pun sangat mencintainya dengan cinta yang tidak pernah aku berikan kepada selainnya. Aku tinggal bersamanya beberapa waktu.
Kemudian ketika kematiannya menjelang, aku berkata kepadanya, ‘Wahai Fulan, selama ini aku hidup bersamamu, dan aku sangat mencintaimu, belum pernah ada seorangpun yang aku cintai seperti cintaku kepadamu, padahal sebagaimana kamu lihat, telah menghampirimu saat berlakunya takdir Allah, kepada siapakah aku ini engkau wasiatkan, apa yang engkau perintahkan kepadaku?’
Orang itu berkata, ‘Wahai anakku, demi Allah, sekarang ini aku sudah tidak tahu lagi siapa yang mempunyai keyakinan seperti aku.
Orang-orang yang aku kenal telah mati, dan masyarakat pun mengganti ajaran yang benar dan meninggalkannya sebagiannya, kecuali seorang yang tinggal di Mosul (kota di Irak), yakni Fulan, dia memegang keyakinan seperti aku ini, temuilah ia di sana!’
Lalu tatkala ia telah wafat, aku berangkat untuk menemui seseorang di Mosul. Aku berkata, ‘Wahai Fulan, sesungguhnya si Fulan telah mewasiatkan kepadaku menjelang kematiannya agar aku menemuimu, dia memberitahuku bahwa engkau memiliki keyakinan sebagaimana dia.’
Kemudian orang yang kutemui itu berkata, ‘Silakan tinggal bersamaku.” Aku pun hidup bersamanya.’ Aku dapati ia sangat baik sebagaimana yang diterangkan Si Fulan kepadaku. Namun ia pun dihampiri kematian. Dan ketika kematian menjelang, aku bertanya kepadanya, ‘Wahai Fulan, ketika itu si Fulan mewasiatkan aku kepadamu dan agar aku menemuimu, kini takdir Allah akan berlaku atasmu sebagaimana engkau maklumi, oleh karena itu kepada siapakah aku ini hendak engkau wasiatkan? Dan apa yang engkau perintahkan kepadaku?’
Orang itu berkata, ‘Wahai anakku, Demi Allah, tak ada seorangpun sepengetahuanku yang seperti aku kecuali seorang di Nashibin (dekat Turki), yakni Fulan. Temuilah ia!’
Maka setelah beliau wafat, aku menemui seseorang yang di Nashibin itu. Setelah aku bertemu dengannya, aku menceritakan keadaanku dan apa yang di perintahkan si Fulan kepadaku.
Orang itu berkata, ‘Silakan tinggal bersamaku.’ Sekarang aku mulai hidup bersamanya. Aku dapati ia benar-benar seperti si Fulan yang aku pernah hidup bersamanya. Aku tinggal bersama seseorang yang sangat baik.
Namun, kematian hampir datang menjemputnya. Dan di ambang kematiannya aku berkata, ‘Wahai Fulan, Ketika itu si Fulan mewasiatkan aku kepada Fulan, dan kemarin Fulan mewasiatkan aku kepadamu? Sepeninggalmu nanti, kepada siapakah aku akan engkau wasiatkan? Dan apa yang akan engkau perintahkan kepadaku?’
Orang itu berkata, ‘Wahai anakku, Demi Allah, tidak ada seorangpun yang aku kenal sehingga aku perintahkan kamu untuk mendatanginya kecuali seseorang yang tinggal di Amuria (kota di Romawi). Orang itu menganut keyakinan sebagaimana yang kita anut, jika kamu berkenan, silakan mendatanginya. Dia pun menganut sebagaimana yang selama ini kami pegang.’
Setelah seseorang yang baik itu meninggal dunia, aku pergi menuju Amuria. Aku menceritakan perihal keadaanku kepadanya. Dia berkata, ‘Silakan tinggal bersamaku.’
Aku pun hidup bersama seseorang yang ditunjuk oleh kawannya yang sekeyakinan.
Di tempat orang itu, aku bekerja, sehingga aku memiliki beberapa ekor sapi dan kambing. Kemudian takdir Allah pun berlaku untuknya. Ketika itu aku berkata, ‘Wahai Fulan, selama ini aku hidup bersama si Fulan, kemudian dia mewasiatkan aku untuk menemui Si Fulan, kemudian Si Fulan juga mewasiatkan aku agar menemui Fulan, kemudian Fulan mewasiatkan aku untuk menemuimu, sekarang kepada siapakah aku ini akan engkau wasiatkan? Dan apa yang akan engkau perintahkan kepadaku?’
Orang itu berkata, ‘Wahai anakku, demi Allah, aku tidak mengetahui seorangpun yang akan aku perintahkan kamu untuk mendatanginya. Akan tetapi telah hampir tiba waktu munculnya seorang nabi, dia diutus dengan membawa ajaran Nabi Ibrahim. Nabi itu akan keluar diusir dari suatu tempat di Arab kemudian berhijrah menuju daerah antara dua perbukitan. Di antara dua bukit itu tumbuh pohon-pohon kurma. Pada diri nabi itu terdapat tanda-tanda yang tidak dapat disembunyikan, dia mau makan hadiah tetapi tidak mau menerima sedekah, di antara kedua bahunya terdapat tanda khatam nubuwwah (cap kenabian). Jika engkau bisa menuju daerah itu, berangkatlah ke sana!’
Kemudian orang ini pun meninggal dunia. Dan sepeninggalnya, aku masih tinggal di Amuria sesuai dengan yang dikehendaki Allah.
Pada suatu hari, lewat di hadapanku serombongan orang dari Kalb, mereka adalah pedagang. Aku berkata kepada para pedagang itu, ‘Bisakah kalian membawaku menuju tanah Arab dengan imbalan sapi dan kambing-kambingku?’ Mereka menjawab, ‘Ya.’ Lalu aku memberikan ternakku kepada mereka.
Baca Juga: Paman Nabi Hamzah bin Abdul Muththalib Masuk Islam
Mereka membawaku, namun ketika tiba di Wadil Qura, mereka menzalimiku, dengan menjualku sebagai budak ke tangan seorang Yahudi.
Kini aku tinggal di tempat seorang Yahudi. Aku melihat pohon-pohon kurma, aku berharap, mudah-mudahan ini adalah daerah sebagaimana yang disebutkan si Fulan kepadaku. Aku tidak bisa hidup bebas.
Ketika aku berada di samping orang Yahudi itu, keponakannya datang dari Madinah dari Bani Quraidzah. Ia membeliku darinya. Kemudian membawaku ke Madinah. Begitu aku tiba di Madinah aku segera tahu berdasarkan apa yang disebutkan si Fulan kepadaku. Sekarang aku tinggal di Madinah.
Allah mengutus seorang Rasul-Nya, dia telah tinggal di Makkah beberapa lama, yang aku sendiri tidak pernah mendengar ceritanya karena kesibukanku sebagai seorang budak. Kemudian Rasul itu berhijrah ke Madinah. Demi Allah, ketika aku berada di puncak pohon kurma majikanku karena aku bekerja di perkebunan, sementara majikanku duduk, tiba-tiba salah seorang keponakannya datang menghampiri, kemudian berkata, ‘Fulan,
Celakalah Bani Qailah (suku Aus dan Khazraj). Mereka kini sedang berkumpul di Quba’ menyambut seseorang yang datang dari Makkah pada hari ini. Mereka percaya bahwa orang itu Nabi.’
Tatkala aku mendengar pembicaraannya, aku gemetar sehingga aku khawatir jatuh menimpa majikanku. Kemudian aku turun dari pohon, dan bertanya kepada keponakan majikanku, ‘Apa tadi yang engkau katakan? Apa tadi yang engkau katakan?’ Majikanku sangat marah, dia memukulku dengan pukulan keras. Kemudian berkata, ‘Apa urusanmu menanyakan hal ini, lanjutkan pekerjaanmu.’
Aku menjawab, ‘Tidak ada maksud apa-apa, aku hanya ingin mencari kejelasan terhadap apa yang dikatakan. Padahal sebenarnya saya telah memiliki beberapa informasi mengenai akan diutusnya seorang nabi itu.’
Pada sore hari, aku mengambil sejumlah bekal kemudian aku menuju Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ketika itu beliau sedang berada di Quba, lalu aku menemui beliau. Aku berkata, ‘Telah sampai kepadaku kabar bahwasanya engkau adalah seorang yang saleh, engkau memiliki beberapa orang sahabat yang dianggap asing dan miskin. Aku membawa sedikit sedekah, dan menurutku kalian lebih berhak menerima sedekahku ini daripada orang lain.’
Aku pun menyerahkan sedekah tersebut kepada beliau, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada para sahabat, ‘Silakan kalian makan, sementara beliau tidak menyentuh sedekah itu dan tidak memakannya. Aku berkata, ‘Ini satu tanda kenabiannya.’
Aku pulang meninggalkan beliau untuk mengumpulkan sesuatu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berpindah ke Madinah. Kemudian pada suatu hari, aku mendatangi beliau sambil berkata, ‘Aku memperhatikanmu tidak memakan pemberian berupa sedekah, sedangkan ini merupakan hadiah sebagai penghormatanku kepada engkau.’
Kemudian Rasulullah makan sebagian dari hadiah pemberianku dan memerintahkan para sahabat untuk memakannya, mereka pun makan hadiahku itu. Aku berkata dalam hati, ‘Inilah tanda kenabian yang kedua.’
Selanjutnya aku menemui beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam saat beliau berada di kuburan Baqi’ Al-Gharqad, beliau sedang mengantarkan jenazah salah seorang sahabat, beliau mengenakan dua lembar kain, ketika itu beliau sedang duduk di antara para sahabat, aku mengucapkan salam kepada beliau. Kemudian aku berputar memperhatikan punggung beliau, adakah aku akan melihat khatam nubuwwah yang disebutkan Si Fulan kepadaku.
Pada saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatku sedang memperhatikan beliau, beliau mengetahui bahwa aku sedang mencari kejelasan tentang sesuatu ciri kenabian yang disebutkan salah seorang kawanku. Kemudian beliau melepas kain selendang beliau dari punggung, aku berhasil melihat tanda khatam nubuwwah dan aku yakin bahwa beliau adalah seorang Nabi. Maka aku telungkup di hadapan beliau dan memeluknya seraya menangis.
Rasulullah bersabda kepadaku, ‘Pindahlah kemari,’ maka aku pun berpindah dan menceritakan perihal keadaanku sebagaimana yang aku ceritakan kepadamu ini wahai Ibnu Abbas. Kemudian para sahabat takjub kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mendengar cerita perjalanan hidupku itu.”
Salman sibuk bekerja sebagai budak. Dan perbudakan inilah yang menyebabkan Salman terhalang mengikuti perang Badar dan Uhud. “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam suatu hari bersabda kepadaku, ‘Mintalah kepada majikanmu untuk bebas, wahai Salman!’ Maka majikanku membebaskan aku dengan tebusan 300 pohon kurma yang harus aku tanam untuknya dan 40 uqiyah.
Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumpulkan para sahabat dan bersabda, ‘Berilah bantuan kepada saudara kalian ini.’ Mereka pun membantuku dengan memberi pohon (tunas) kurma. Seorang sahabat ada yang memberiku 30 pohon, atau 20 pohon, ada yang 15 pohon, dan ada yang 10 pohon, masing-masing sahabat memberiku pohon kurma sesuai dengan kadar kemampuan mereka, sehingga terkumpul benar-benar 300 pohon.
Setelah terkumpul Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadaku, ‘Berangkatlah wahai Salman dan tanamlah pohon kurma itu untuk majikanmu, jika telah selesai datanglah kemari aku akan meletakkannya di tanganku.’ Aku pun menanamnya dengan dibantu para sahabat. Setelah selesai aku menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan memberitahukan perihalku. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar bersamaku menuju kebun yang aku tanami itu. Kami dekatkan pohon (tunas) kurma itu kepada beliau dan Rasulullah pun meletakkannya di tangan beliau. Maka, demi jiwa Salman yang berada di Tangan-Nya, tidak ada sebatang pohon pun yang mati.
Untuk tebusan pohon kurma sudah terpenuhi, aku masih mempunyai tanggungan uang sebesar 40 uqiyah. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membawa emas sebesar telur ayam hasil dari rampasan perang. Lantas beliau bersabda, ‘Apa yang telah dilakukan Salman Al-Farisi?’ Kemudian aku dipanggil beliau, lalu beliau bersabda, ‘Ambillah emas ini, silakan manfaatkan untuk melengkapi tebusanmu wahai Salman!’
Wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bagaimana status emas ini bagiku? Rasulullah menjawab, ‘Ambil saja! Insya Allah, Allah subhanahu wa Ta’ala akan memberi kebaikan kepadanya.’ Kemudian aku menimbang emas itu. Demi jiwa Salman yang berada di Tangan-Nya, berat ukuran emas itu 40 uqiyah. Kemudian aku penuhi tebusan yang harus aku serahkan kepada majikanku, dan aku dimerdekakan.
Setelah itu aku turut serta bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam perang Khandaq, dan sejak itu tidak ada satu peperangan yang tidak aku ikuti.” (HR. Ahmad, 5:441. Syaikh Syuaib Al-Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan).
Sedekah itu diberikan kepada orang fakir dan mereka yang membutuhkan untuk memenuhi hajat mereka dan dimaksudkan untuk mengharapkan wajah Allah, bukan ditujukan pada orang tertentu, namun ditujukan pada orang fakir atau miskin mana pun.
Adapun hadiah tidak disyaratkan pada fakir, bahkan diberikan kepada orang fakir, kepada orang kaya. Maksud hadiah adalah untuk menjalin kasih sayang antara orang yang memberi dan yang diberi, juga tujuannya untuk memuliakan.
Ada seorang ibu seorang sahabat mulia yaitu Sa’ad bin Abi Waqqash yang mengajak anaknya berbuat syirik. Kisahnya adalah sebab turunnya surah Lukman ayat berikut ini,
Allah Ta’ala berfirman,
وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلَى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan” (QS. Lukman: 15)
Lihatlah kisah teladan berikut ini sebagaimana dikeluarkan oleh Imam Muslim dalam kitab sahihnya dari Mush’ab bin Sa’ad dari ayahnya (yaitu Sa’ad) bahwa beberapa ayat Al-Qur’an turun padanya. Dia berkata,
حَلَفَتْ أُمُّ سَعْدٍ أَنْ لاَ تُكَلِّمَهُ أَبَدًا حَتَّى يَكْفُرَ بِدِينِهِ وَلاَ تَأْكُلَ وَلاَ تَشْرَبَ. قَالَتْ زَعَمْتَ أَنَّ اللَّهَ وَصَّاكَ بِوَالِدَيْكَ وَأَنَا أُمُّكَ وَأَنَا آمُرُكَ بِهَذَا. قَالَ مَكَثَتْ ثَلاَثًا حَتَّى غُشِىَ عَلَيْهَا مِنَ الْجَهْدِ فَقَامَ ابْنٌ لَهَا يُقَالُ لَهُ عُمَارَةُ فَسَقَاهَا فَجَعَلَتْ تَدْعُو عَلَى سَعْدٍ فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ فِى الْقُرْآنِ هَذِهِ الآيَةَ (وَوَصَّيْنَا الإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حُسْنًا) (وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلَى أَنْ تُشْرِكَ بِى) وَفِيهَا (وَصَاحِبْهُمَا فِى الدُّنْيَا مَعْرُوفًا)
Ummu Sa’ad (Ibunya Sa’ad) bersumpah tidak akan mengajaknya bicara selamanya sampai dia kafir (murtad) dari agamanya, dan dia juga tidak akan makan dan minum. Ibunya mengatakan, ‘Sesungguhnya Allah mewasiatkan padamu untuk berbakti pada kedua orang tuamu, dan aku adalah ibumu. Saya perintahkan padamu untuk berbuat itu (memerintahkan untuk murtad, pen)’.
Sa’ad mengatakan, “Lalu Ummu Sa’ad diam selama tiga hari kemudian jatuh pingsan karena kecapekan. Kemudian datanglah anaknya yang bernama ‘Umarah, lantas memberi minum padanya, tetapi ibunya lantas mendoakan (kejelekan) pada Sa’ad. Lalu Allah menurunkan ayat,
وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حُسْنًا
“Dan Kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada dua orang ibu-bapaknya.” (QS. Al-‘Ankabut: 8). Dan juga ayat,
وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلَى أَنْ تُشْرِكَ بِي
“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku.” (QS. Lukman: 15), yang di dalamnya terdapat firman Allah,
وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا
“Dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik.” (QS. Lukman: 15). Lalu beliau menyebutkan lanjutan hadits. (HR. Muslim, no. 1748)
Karenanya, tidak ada ketaatan kepada kedua orang tua dan selainnya dalam melakukan kesyirikan, kemungkaran, bid’ah, kesesatan, dan maksiat. Allah Ta’ala berfirman,
وَلَا تُطِيعُوا أَمْرَ الْمُسْرِفِينَ , الَّذِينَ يُفْسِدُونَ فِي الْأَرْضِ وَلَا يُصْلِحُونَ
“Dan janganlah kamu mentaati perintah orang-orang yang melewati batas, yang membuat kerusakan di muka bumi dan tidak mengadakan perbaikan.” (QS. Asy-Syu’ara: 151-152).
وَلَا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا
“Dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.” (QS. Al-Kahfi: 28).
Juga dalam hadits disebutkan,
لاَ طَاعَةَ فِى مَعْصِيَةٍ ، إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِى الْمَعْرُوفِ
“Tidak ada kewajiban ta’at dalam rangka bermaksiat (kepada Allah). Ketaatan hanyalah dalam perkara yang ma’ruf (bukan maksiat).” (HR. Bukhari, no. 7257)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ ، فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ ، مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ ، فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ
“Seorang muslim wajib mendengar dan taat dalam perkara yang dia sukai atau benci selama tidak diperintahkan untuk bermaksiat. Apabila diperintahkan untuk bermaksiat, maka tidak ada kewajiban mendengar dan taat.” (HR. Bukhari, no. 7144).
Meski menghadapi tekanan yang dilancarkan oleh sang ibu kepada putranya, di samping bahwa ia sangat berbakti kepada ibunya, tetapi ia tetap lebih memilih kebenaran dan akidah yang benar daripada kebatilan yang dianut oleh keluarga dan kaumnya. Dengan demikian keislamannya merupakan keislaman yang didasari keyakinan yang mantap. Maka dari itu beberapa ayat mengukuhkan sikapnya, dan menjelaskan bahwa tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam kedurhakaan kepada Pencipta.
Berikut kisah tersebut -semoga kita bisa mengambil ibroh-.
An Nawawi dalam Syarh Shohih Muslim mengatakan, ”Perkataan ‘Tidaklah ada yang menghalanginya kecuali rasa sombong’, ini bukan berarti dia adalah munafik. Karena semata-mata ada rasa sombong dan menyelisihi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidaklah mengharuskan adanya nifak dan kekufuran dalam diri seseorang. Akan tetapi perbuatan ini adalah maksiat, mengingat perintah itu adalah perintah yang harus diperhatikan.” Inilah akibat dari orang yang meremehkan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mudah-mudahan kita tidak tergolong orang-orang semacam ini.
Ada sepuluh orang yang dijamin masuk surga? Siapakah mereka?
Imam Al-Muzani rahimahullah berkata,
ثُمَّ البَاقِيْنَ مِنَ العَشَرَةِ الَّذِيْنَ أَوْجَبَ لَهُمْ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الجَنَّةَ , وَنُخْلِصُ لِكُلِّ رَجُلٍ مِنْهُمْ مِنَ المحَبَّةِ بِقَدْرِ الَّذِي أَوْجَبَ لَهُمْ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنَ التَّفْضِيْلِ , ثُمَّ لِسَائِرِ أَصْحَابِ مِنْ بَعْدِهِمْ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ أَجْمَعِيْنَ
وَيُقَالُ بِفَضْلِهِمْ وَيُذْكَرُوْنَ بِمَحَاسِنِ أَفْعَالِهِمْ , وَنُمْسِكُ عَنِ الخَوْضِ فِيْمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ , فَهُمْ خِيَارُ أَهْلِ الأَرْضِ بَعْدَ نَبِيِّهِمْ اِرْتَضَاهُمُ اللهُ لِنَبِيِّهِ وَجَعَلَهُمْ أَنْصَارًا لِدِيْنِهِ فَهُمْ أَئِمَّةُ الدِّيْنِ وَأَعْلاَمُ المسْلِمِيْنَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ أَجْمَعِيْنَ
Kemudian sepuluh sahabat lainnya yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam katakana tentang mereka bahwa mereka dijamin masuk surga. Kita pun diperintahkan untuk mencintai mereka dengan kadar yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tetapkan karena keutamaan yang ada pada mereka. Kemudian sahabat yang lain selain itu. Semoga Allah meridai mereka semua.
Keutamaan dan kebaikan perbuatan mereka disebut-sebut. Kita tahan diri dari membicarakan perselisihan di antara mereka. Karena mereka adalah sebaik-baik manusia di muka bumi sepeninggal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah rida kepada mereka karena nabi-Nya. Allah menjadikan mereka penolong untuk agama ini. Mereka adalah para imam dalam agama ini. Mereka yang paling berilmu di antara kaum muslimin. Semoga Allah meridai mereka semuanya.
Dari Sa’id bin Zaid radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
عَشَرَةٌ فِى الْجَنَّةِ أَبُو بَكْرٍ فِى الْجَنَّةِ وَعُمَرُ فِى الْجَنَّةِ وَعُثْمَانُ وَعَلِىٌّ وَالزُّبَيْرُ وَطَلْحَةُ وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ وَأَبُو عُبَيْدَةَ وَسَعْدُ بْنُ أَبِى وَقَّاصٍ
“Ada sepuluh orang yang dijamin masuk surga: Abu Bakar di surga, Umar di surga, Utsman, ‘Ali, Az-Zubair, Thalhah, ‘Abdurrahman (bin ‘Auf), Abu Ubaidah (bin Al-Jarrah), dan Sa’ad (bin Abi Waqqash).”
قَالَ فَعَدَّ هَؤُلاَءِ التِّسْعَةَ وَسَكَتَ عَنِ الْعَاشِرِ فَقَالَ الْقَوْمُ نَنْشُدُكَ اللَّهَ يَا أَبَا الأَعْوَرِ مَنِ الْعَاشِرُ قَالَ نَشَدْتُمُونِى بِاللَّهِ أَبُو الأَعْوَرِ فِى الْجَنَّةِ. قَالَ أَبُو عِيسَى أَبُو الأَعْوَرِ هُوَ سَعِيدُ بْنُ زَيْدِ بْنِ عَمْرِو بْنِ نُفَيْلٍ. وَسَمِعْتُ مُحَمَّدًا يَقُولُ هُوَ أَصَحُّ مِنَ الْحَدِيثِ الأَوَّلِ.
Anak Sa’id berkata, “Kalau dihitung mereka tadi ada sembilan, lantas tidak disebutkan yang kesepuluh.” Orang-orang berkata, “Kami berdoa kepada Allah, wahai Abul A’war siapakah yang termasuk yang kesepuluh.” Sa’id (bin Zaid) berkata, “Kalian mohon berdoa kepada Allah untukku semoga termasuk yang kesepuluh tersebut yang berada di surga.” Abu ‘Isa berkata, “Abul A’war itu adalah Sa’id bin Zaid bin ‘Amr bin Nufail. Aku mendengar Muhammad sedang berkata bahwa hadits ini lebih sahih dari hadits pertama.” (HR. Tirmidzi, no. 3748. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini sahih).
Dari ‘Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَبُو بَكْرٍ فِى الْجَنَّةِ وَعُمَرُ فِى الْجَنَّةِ وَعُثْمَانُ فِى الْجَنَّةِ وَعَلِىٌّ فِى الْجَنَّةِ وَطَلْحَةُ فِى الْجَنَّةِ وَالزُّبَيْرُ فِى الْجَنَّةِ وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ فِى الْجَنَّةِ وَسَعْدٌ فِى الْجَنَّةِ وَسَعِيدٌ فِى الْجَنَّةِ وَأَبُو عُبَيْدَةَ بْنُ الْجَرَّاحِ فِى الْجَنَّةِ
“Abu Bakar di surga, ‘Umar di surga, ‘Utsman di surga, ‘Ali di surga, Thalhah di surga, Az-Zubair di surga, ‘Abdurrahman bin ‘Auf di surga, Sa’ad (bin Abi Waqqash) di surga, Sa’id (bin Zaid) di surga, Abu ‘Ubaidah bin Al-Jarrah di surga.” (HR. Tirmidzi, no. 3747 dan Ahmad, 1:193. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini sahih).
Sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga yang disebut dalam satu hadits sekaligus adalah:
Sa’id bin Zaid adalah salah satu sahabat dari sepuluh orang yang dijamin masuk surga dan ia memiliki keutamaan dengan doanya yang mudah terkabul.
Nama beliau adalah Sa’id bin Zaid bin Amr bin Nufail ‘Abdul ‘Uzza bin Rayyah bin ‘Abdillah bin Qurth bin Razah bin Adi bin Ka’ab bin Lu’ay, Al-Qurasyi Al-Adawi. Julukannya Abul A’war.
Ibunya bernama Fathimah binti Ba’jah bin Malih Al-Khuzaiyah. Ayahnya bernama Zaid bin Amr bin Nufail.
Pada masa jahiliyah sebelum kenabian, ia dikenal sebagai orang yang lurus dalam mengikuti agama Ibrahim, tidak sujud kepada berhala, tidak pula menyantap sembelihan atas nama berhala.
Sa’id adalah putra paman Umar bin Al-Khatthab dan iparnya, karena ia beristrikan Fathimah binti Khatthab yang merupakan saudara perempuan Umar bin Khatthab, sementara saudara perempuan Sa’id yang bernama Atikah binti Zaid bin Amr bin Nufail diperistri oleh Umar bin Al-Khatthab.
Sa’id bin Zaid lahir sekitar lima belas tahun sebelum masa kenabian.
Ada riwayat dalam Shahih Muslim sebagai berikut ini.
عَنْ سَعِيدِ بْنِ زَيْدِ بْنِ عَمْرِو بْنِ نُفَيْلٍ أَنَّ أَرْوَى خَاصَمَتْهُ فِى بَعْضِ دَارِهِ فَقَالَ دَعُوهَا وَإِيَّاهَا فَإِنِّى سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « مَنْ أَخَذَ شِبْرًا مِنَ الأَرْضِ بِغَيْرِ حَقِّهِ طُوِّقَهُ فِى سَبْعِ أَرَضِينَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ». اللَّهُمَّ إِنْ كَانَتْ كَاذِبَةً فَأَعْمِ بَصَرَهَا وَاجْعَلْ قَبْرَهَا فِى دَارِهَا. قَالَ فَرَأَيْتُهَا عَمْيَاءَ تَلْتَمِسُ الْجُدُرَ تَقُولُ أَصَابَتْنِى دَعْوَةُ سَعِيدِ بْنِ زَيْدٍ. فَبَيْنَمَا هِىَ تَمْشِى فِى الدَّارِ مَرَّتْ عَلَى بِئْرٍ فِى الدَّارِ فَوَقَعَتْ فِيهَا فَكَانَتْ قَبْرَهَا.
Dari Said bin Zaid bin ‘Amr bin Nufail, bahwa Arwa memperkarakannya terkait sebuah rumahnya. Said pun berkata, “Biarkan dia, karena aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Siapa yang mengambil sejengkal tanah yang bukan haknya, maka tanah itu dikalungkan padanya dalam tujuh bumi pada hari kiamat.‘ Ya Allah, jika ia dusta maka butakan penglihatannya dan jadikan kuburnya di rumahnya.”
Perawi mengatakan, “Aku melihat wanita itu dalam kondisi buta, ia meraba-raba dinding sambil berkata, ‘Aku terkena doa jelek dari Sa’id bin Zaid.’ Saat berjalan di dalam rumah, ia melewati sumur yang berada di dalam rumah lantas ia terjatuh ke dalam sumur. Sumur inilah yang menjadi kuburnya.” (HR. Muslim, no. 1610)
Baca juga: Karamah Said bin Zaid
Sa’id bin Zaid meninggal dunia pada tahun 51 H di Madinah. Begitu mendengar kematian Sa’id, Ibnu Umar yang saat itu bertepatan dengan waktu Jumat langsung bergegas ke tempat Said dan meninggalkan shalat Jumat. Pada hari wafatnya, Sa’id bin Zaid berusia tujuh puluh tahun lebih.
Sa’id bin Zaid menikah dengan sembilan istri, ia memiliki 13 putra dan 20 putri.